Mengenal apa pengertian era post-truth, contoh-contohnya, hingga sejarah kemunculannya di Indonesia. Simak selengkapnya di sini, ya!
Hari gini, siapa sih yang nggak kenal sama yang namanya “Medsos”, atau media sosial?
Menurut laporan dari Statista (2021), yang merupakan lembaga statistik global, pada awal tahun 2021 saja, pengguna aktif media sosial sudah melebihi setengah dari populasi orang Indonesia, lho Sobat.
Saat ini, seseorang bisa menggunakan medsos dari hanya sekedar menanyakan kabar, mempromosikan produk, hingga kampanye elektabilitas politik. Jadi, informasi yang diperoleh pun bisa beragam banget.
Sayangnya, seperti yang elo tahu, berita bohong dan hoax beredar dengan sangat mudah melalui media-media sosial.
Secara nggak sadar, saat ini kita sebenarnya lagi hidup di era marak-maraknya hoax, yaitu era post-truth atau pasca-kebenaran, Sobat. Nah, di artikel ini gue akan bahas nih tentang apa itu era post-truth, contohnya, dan sejarah kemunculannya yang berkaitan dengan media sosial dan maraknya hoax.
Biar nggak ketinggalan informasinya, yuk lanjutin baca!
Ilustrasi data dari Statista (Arsip Zenius) |
Apa Arti Post-Truth?
Sebenernya, kata post-truth ini lebih cenderung digunakan dalam dunia politik, Sobat. Peningkatan drastis penggunaan kata ini saja terjadi ketika topik politik tentang keanggotaan Uni Eropa di United Kingdom dan pemilihan presiden Donald Trump di Amerika Serikat sedang hangat-hangatnya pada tahun 2016.
Seperti yang dilaporkan oleh The Guardian (2016), dengan peningkatan penggunaannya itulah akhirnya kata post-truth terpilih sebagai “Word of the Year” versi Oxford Dictionary, kamus online terbesar dan terpercaya Bahasa Inggris Amerika dan British.
Lalu apa sih sebenarnya arti dari kata post-truth itu?
Kalau diartikan hanya berdasarkan masing-masing arti kata penyusunnya, post-truth artinya masa setelah kebenaran. “Post”artinya setelah dan “truth” artinya kebenaran. Namun, kata ini spesial karena dalam pengertiannya perlu diperhatikan situasi yang digambarkan setiap kali digunakan.
Steve Tesich, penulis untuk majalah The Nation dilaporkan oleh Pikiran Rakyat (2021) sebagai orang pertama yang menggunakan kata post-truth pada tahun 1992, Sobat. Berdasarkan penggunaannya, post-truth merupakan keadaan di mana masyarakat tidak terlalu peduli lagi dengan kebenaran.
Lebih detailnya lagi, menurut Oxford Dictionary, post-truth adalah kata sifat yang menggambarkan keadaan di mana fakta objektif tidak dianggap terlalu penting dalam membentuk sebuah opini. Terus yang dianggap penting apa dong? Emosi, perasaan, dan kepercayaan masing-masing individu lah yang lebih dipentingkan dalam keadaan itu, Sobat.
Ilustrasi meme tidak mementingkan fakta (Arsip Zenius) |
Padahal nih, kalau di sekolah kan kita sering banget tuh dikasih nasehat sama bapak dan ibu guru untuk mencari informasi yang terpercaya dan didukung dengan fakta. Nah, di post-truth ini justru fakta dikesampingkan, Sobat. Jadi, sebenarnya sulit untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Contoh fenomena yang menunjukan era post-truth adalah hal-hal yang berkaitan dengan tindakan mempercayai berita atau informasi yang tidak berdasarkan fakta yang objektif atau terbukti kebenarannya, Sobat.
Semenjak tahun 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah memberitakan maraknya hoax di era post-truth ini dengan contoh beredarnya foto-foto yang tidak akurat hingga penuduhan tindakan pelecehan kepada calon presiden Hillary Clinton yang mengakibatkan beberapa orang siap melakukan tindakan kekerasan.
Ilustrasi hoax (Arsip Zenius) |
Sejarah Kemunculan Era Post-Truth di Indonesia
Seperti apa yang sudah gue bagikan tentang awal maraknya penggunaan katanya, asal era post-truth adalah suasana politik yang mendukung seseorang untuk mengesampingkan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran yang sebenarnya, Sobat.
Seorang filsuf Inggris, Anthony Clifford Grayling juga menyampaikan pada BBC News (2017), bahwa era post-truth bermula dari krisis ekonomi global yang buruk pada tahun 2008 yang memunculkan rasa benci ditengah masyarakat. Orang-orang jadi sensitif alias sensi kalau membahas soal ekonomi dan politik.
Nah, adanya situasi itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pihak politik untuk memprovokasi isu-isu politik.
Tapi, kok bisa ya seseorang jadi lebih mempercayai berita bohong? Joseph Kahne dan Benjamin Bowyer (2017) menjelaskan dalam jurnal mereka bahwa ada dua tipe motivasi yang mempengaruhi cara seseorang memproses informasi, yaitu directional motivation dan accuracy motivation.
Dengan accuracy motivation, seseorang akan menjadi lebih hati-hati dalam menerima setiap informasi. Ia akan menggali dan mengkritik suatu informasi lebih dalam.
Sedangkan dengan directional motivation, seseorang cenderung menerima dengan baik informasi-informasi yang sejalan saja dengan apa yang ia sudah ketahui atau percaya sebelumnya. Kalau nggak sejalan justru nggak disukai.
Ilustrasi motivasi directional dan accuracy (Arsip Zenius) |
Nah, pasti elo bisa nebak kan, motivasi mana yang mendorong adanya era post-truth? Yak, benar! Kebanyakan orang memang lebih cenderung memiliki directional motivation terutama saat menanggapi topik-topik politik, Sobat.
Oleh karena itu, penilaian mereka pun bias atau bisa dibilang nggak tepat karena dipicu oleh perasaan pribadi. Bahkan, seseorang yang dinilai memiliki pengetahuan luas malah justru bisa membutuhkan waktu lebih lama untuk menyadari kebenaran yang sebenarnya kalau memiliki directional motivation.
Kacaunya, adanya media sosial saat ini sangat mendukung era ini untuk terus berkembang, Sobat.
Seorang doktor ilmu filsafat, Fahruddin Faiz (dalam Arifin & Fuad, 2020) menyampaikan kalau banyak media yang suka memviralkan berita-berita sensasional demi follower dan keuntungan.
Padahal saat ini banyak banget orang yang memakai media sosial sebagai sumber berita. Seperti melansir laporan Sindo News (2020), menurut hasil survei Maverick, dari 453 responden masyarakat Jabodetabek dan Bandung yang berusia 18-32, 81%-nya mengakses berita melalui media sosial.
Ilustrasi Followers (Arsip Zenius) |
Jadi, ibarat bara yang disiram minyak tanah, seseorang yang sudah memiliki sentimen terhadap isu-isu tertentu kalau disediakan informasi yang menyulut dari media sosial ya akan makin menjadi-jadi. Alhasil, opini akan kebenaran jadi berbeda-beda di tengah masyarakat.
Hal itu juga bisa berefek buruk kepada Indonesia yang merupakan negara demokratis. Hal itu karena jika kebanyakan orang tidak mementingkan fakta kebenaran dan terbawa sentimen pribadi maupun kelompok, maka keputusan-keputusan yang diambil secara bersama pun bisa-bisa nggak tepat untuk kebaikan bersama.
Ilustrasi terbawa sentimen (Arsip Zenius) |
Dengan terjadinya fenomena-fenomena pengesampingan kebenaran di masyarakat itu lah kemudian muncul istilah era post-truth. Nah, saat ini nih bisa dibilang kita masih di dalam era ini, karena masih banyak orang yang lebih percaya pada berita-berita yang tidak benar baik tentang politik, kesehatan, alam, maupun topik-topik lainnya.
Gencarnya era post-truth ini juga tidak terlepas dari pendekatan politik populisme yang menggunakan kepentingan orang banyak untuk meningkatkan elektabilitas seseorang, Sobat.
Nah, elo bisa tonton video keren Zenius di bawah ini nih untuk tahu hubungan pendekatan politik populisme dengan era post-truth dan dapat tips-tips cara menghadapi era post-truth biar nggak kemakan kebohongan yang nampak benar.
Penutup
Nah, pasti setelah membaca artikel ini elo jadi lebih mengenal apa itu era post-truth dan sejarah kemunculannya, bukan?
Kalau kata WHO nih, kita nggak hanya sedang dalam situasi pandemic tapi juga infodemic, dimana terlalu banyak informasi yang salah dan menyesatkan beredar di media digital. Jadi, harapannya setelah mengetahui tentang era post-truth ini elo bisa semakin waspada ya dalam menerima maupun membagikan informasi ataupun berita-berita di media sosial.
Sekian dari gue, see you in the next article!
Referensi
Dampak Post-Truth di Media Sosial – Nuhdi Futuhal Arifin & A. Jauhar Fuad (2020)
The Development of Fake News in the Post-Truth Age – Munadhil Abdul Muqsith & Rizky Ridho Pratomo (2021)
Educating for Democracy in a Partisan Age: Confronting the Challenges of Motivated Reasoning and Misinformation – Joseph Kahne & Benjamin Bowyer (2017)
Post-Truth Adalah Gejala yang Hadir Bersama Hoaks, Pertempuran Opini Melawan Fakta – Pikiran Rakyat (2021)
‘Post-truth’ named word of the year by Oxford Dictionaries – The Guardian (2016)
Survei Macverick: Media Online dan Medsos Jadi Andalan Anak Muda – Sindo News (2020)
Word of the Year 2016 – Oxford Languages (2016)
_________
- Oleh: Hana Lintang
- Source: Zenius