“Ketika engkau mengatakan Ushalli dalam niat shalat, namun engkau tidak menyertakan Allah bersamamu, dan menuju kepada Allah jua maka sesungguhnya kemusyrikan itu telah terjadi.”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Bermulanya ushul ma’rifat ini ialah untuk men-ta’rîf-kan hal keadaan kita ketika beramal. Sesudah kita paham di atas semua rukun dan jalan-jalan di dalam hal keadaan agama Islam, barulah kita memulai segala amalan.
KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Ãlim wal Muta’allim menegaskan seyogyanya pelajar (sãlik) mengambil ilmu dari level pemula (Mubtadi’) dulu, kemudian pertengahan (Mutawassith), lalu ke jenjang yang lebih tinggi (Muntahî). Menurutnya, hal tersebut bagian dari adab menuntut ilmu.
Berkaitan dengan hal itu, tingkatan ibadah shalat juga terbagi menjadi tiga tingkatan. Para ulama tasawwuf mengatakan: “Bermula orang yang shalat itu terbagi menjadi tiga tingkatan:
1. Shalat orang-orang Mubtadi’
Yakni semata-mata diperbuat untuk menutup fitnah dunia. Dan sekadar mengetahui akan segala rukun-rukun dan waktu serta berpakaian bersih dan mengetahui wajib dan sunat semata-mata, tujuannya hanya untuk mendapat pahala semata. Maka amalan ini syirik semata-mata.
2. Shalat orang-orang Mutawassith
Dia telah menyempurnakan perintah Allah semata-mata dan hatinya berhadapan dengan Allah. Tiada lagi dia memikirkan dosa dan pahala. Semata-mata ia berserah kepada Allah. Maka di atas amalan ini adalah lebih baik daripada yang pertama itu, tidaklah ia terkena syirik.
3. Shalat orang-orang Muntahî
Dia yang melakukan shalat dengan sebenar-benarnya tiada lain di hatinya melainkan karena Allah, sebab dia melihat dirinya adalah golongan dha’if, faqir, hina dan lemah.
Semata-mata pandangan di dalam shalat itu tiada dengan kehendak-nya melainkan Allah.”
- Lã maujûda bilã haqîqatin illallãh (“Tiada maujud bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã hayya bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang hidup bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã ‘ãlima bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang mengetahui bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã qadîra bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang berkuasa bagi hakikat ku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã murîda bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang berkehendak bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã samî’a bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang mendengar bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã bashîra bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang melihat bagi hakikat ku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
- Lã mutakallima bilã haqîqatin illallãh (“Tiada yang berkata-kata bagi hakikatku dengan sebenar-benarnya melainkan Allah”).
Maka inilah yang sesungguhnya shalat sejati sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”. Hal ini bermakna:
- “Takbirlah kamu seperti Rasulullah SAW takbir”.
- “Qiamlah kamu seperti Rasulullah SAW qiam”.
- “Ruku’lah kamu seperti Rasulullah SAW ruku'”.
- “Sujudlah kamu seperti Rasulullah SAW sujud”.
- “Tahiyyatlah kamu seperti Rasulullah SAW tahiyyat”.
- “Salamlah kamu seperti Rasulullah SAW salam”.
Begitulah seterusnya di dalam amalan. Janganlah sekali-kali kita berbuat tanpa mempelajari terlebih dahulu, agar tiadalah sia-sia amalan kita itu. Bak kata pepatah “Kalau berdayung biarlah di air. Lambat laun kita akan sampai jua”.
Maka sesudah kita mengetahui akan segala rukunnya, maka wajiblah kita mengetahui akan segala bermula niat terlebih dahulu. Sebabnya niat itu bukannya mudah untuk kita memahaminya. Karena yang dikatakan “niat itu ialah tiada berhuruf, tiada berupa dan tiada bersuara” (bilã harfin walã shûratin walã shautin).
Mana boleh dikatakan niat, jikalau ada huruf maka dapatlah ia dibaca, jikalau ada suara maka dapatlah ia didengar, jikalau ada rupa dapatlah ia dipandang. Niat menjadi hilang apabila ia nyata di atas huruf, rupa dan ada suara, dan itu bukannya niat lagi.
Seperti yang ditentukan oleh para fuqaha, bahwa pengertian niat secara syar’an (isthilãhan) adalah:
قَصْدُ شَيْءٍ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ
“Qashdu syai-in muqtarinan bi fi’lihi”, yang artinya, “Menyengaja sesuatu hal keadaan disertai (berbarengan) dengan perbuatan”.
Para fuqaha mengatakan:
اَلنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ بِلَا صَوْتٍ وَلَا حَرْفٍ
“An-niyyatu bil-qalbi bilã shautin walã harfin” (Bahwasanya niat itu di dalam hati, tiada suara dan tiada berhuruf).
Jikalau niat itu kita kata di dalam hati, umpamanya tatkala mengatakan “Allãhu Akbar”: “Aku shalat fardhu Zhuhur atau fardhu ‘Ashar…”, umpamanya di antara huruf yang dua puluh delapan itu, maka ini dinamakan dia niat secara harfiyah. Inilah niat bagi kedudukan orang-orang awam yakni di atas mereka baru menuntut ilmu.
Adapun yang dikatakan niat itu terbagi menjadi tiga:
- Al-Qashdu: Menyatakan pada “ushalli fardhu“, yakni menandakan ada waktu pada hamba yang taat.
- At-Ta’rrudh: Menyatakan pada “arba’a raka’ãtin“, yakni menandakan ada rukun, bermakna bersedia hamba untuk menunaikan.
- At-Ta’yîn: Menyatakan pada “Lillãhi Ta’ãlã“, yakni menandakan suruhan Allah, atau bermakna menghadapi kiblat hati.
Maka sesudah menyatakan Al-Qashdu, At-Ta’rrudh, dan At-Ta’yîn, berarti telah nyatalah kiblat dada kepada Baitullah, kiblat hati kepada nyawa, zat memandang zat dan sifat memandang sifat, barulah kita mengatakan “Allãhu Akbar”.
Serta hadir mata hati musyahãdah kepada Zat Allah Ta’ala semata-mata. Maka inilah yang dinamakan niat. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Gahazali r.a. Katanya, “Adapun kedudukan ushalli, fardhu, raka’at, lillah ta’ala, Allahu Akbar.”
1. Ushalli, maksudnya amanah Allah terhadap hamba, maka tatkala hambaNya telah menerima syariatNya, maka wajiblah kembalikan kepadaNya dengan keadaan yang sempurna.
2. Raka’at, menyatakan hal perbuatanNya, maka hilangkanlah kehendakmu di dalam halNya dan hapuskanlah fi’iel (perbuatan)-mu di dalam perbuatanNya, barulah sah amalannya.
3. Lillãhi Ta’ãlã, menyatakan sirNya (rahasia), maka fana’lah sirr, i’tikad cinta rasa dan birahimu di dalam sir Allah. Barulah nyata ada kiblat bagi kamu.
4. Allãhu Akbar, menyatakan Sifat Kemaha Besaran Allah terhadap hamba. Karena hamba sampai kepada seruan Allah Ta’ala disebabkan Allah Ta’ala itu Esa, Muhammad yatim, hamba dhoif. Tiap-tiap yang datang mesti akan kembali. Maka kembali sekalian hamba-hamba itu di dalam seruan Allãhu Akbar. Maka bergemalah suara-suara hamba Allah yang taat itu mengatakan dan memuji akan nama Allãhu Akbar dan terlintaslah suara mu’minnya terus tujuh petala langit dan terus tujuh petala bumi. Maka bersahut-sahut akan roh-roh Anbia’ dan Aulia’ serta Malaikat dengan katanya, “Sejahteralah umat-umatmu ya Muhammad!“.
5. Fardhu, menyatakan sah dan nyata. Bersifat di atasnya hamba. Maka tiap-tiap yang bersifat hamba mestilah ada yang empunya hak. Maka kembalilah sifat-sifatmu kepada yang berhak. Cara mengembalikan kepada yang berhak itulah yang diwajibkan kepada fardhu. Tiap-tiap perbuatan ataupun amalan adalah dengan fardhu. Tanpa dengan niat fardhu perbuatan itu sia-sia saja. Maka tidak berartilah kamu beramal. Karena fardhu itu berpandukan kepada sifat Wahdaniah. Umpamanya kita mesti ketahui mana dia yang dikatakan “fardhu sebelum fardhu” dan mana yang dinamai “fardhu di dalam fardhu” dan di mana terletaknya “fardhu di akhir fardhu“. Oleh karena itu, kita seharusnya mencari kesimpulan ini jika kita berkehendak menyempurnakan amalan kita.
Inilah jalan terbaik menuju Allah, inilah tarekatnya para Aulia Allah. Wahai saudaraku maka seyogyanya engkau mencari inti dari pengajaran ini. Dan bertanyalah kepada golongan Guru Mursyid yang mengerti hakikat lagi ma’rifat. In Syã Allãh!
Wallãhu Ta’ãlã A’lamu bish-Shawãb
_________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita