Home / Agama / Improvisasi Salik / Isra Mi’raj; Antara Indera, Akal dan Rasa

Isra Mi’raj; Antara Indera, Akal dan Rasa

“Rasulullah SAW sampai pada suatu kedudukan yang malaikat muqarrabin pun tidak mencapai tempat itu. Menurut orang-orang Sufi, itulah puncak perjalanan seorang murid ketika mendekati Allah SWT”.

Oleh: Admin*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Saudaraku dan kekasihku, di hari ini, Kamis, 27 Rajab 1445 Hijriyah bertepatan dengan 8 Februari 2024 Masehi, adalah sebuah hari yang terkandung di dalamnya sebuah momentum penting dalam sejarah peradaban umat Islam, bahkan bagi umat manusia.

Berkaitan dengan itu, di pasulukan kami, Pasulukan Loka Gandasasmita, seperti biasa, momentum tersebut sepanjang tahun adakalanya diisi dengan acara resmi yang dihadiri oleh para murid dari berbagai kalangan baik rakyat jelata maupun para pejabat negara, adakalanya diisi dengan wejangan atau kalam hikmah dari Sang Guru (Mama H. Derajat asy-Syatthari al-Qadiri), atau terkadang diisi dengan amaliyah riyãdhah para salik seperti dzikir, tawassulan, dll, bahkan terkadang diisi dengan aksi-aksi sosial berupa santunan, dll.

Di tahun ini, momentum Isra’ Mi’raj diisi dengan wejangan hikmah dari Sang Guru yang dimulai sejak Rabu, 7 Februari, ba’da Maghrib, yakni memasuki awal 27 Rajab sampai tengah malam, pukul 24.00 WIB hingga hari memasuki Kamis, 8 Februari 2024. Tulisan di bawah ini adalah rangkuman wejangan dari guru Mursyid kami, al-Mukarram wal-Muhtaram wal-Murabbi al-Fadhil Maulana Mama H. Derajat asy-Syatthari al-Qadiri nafa’anallãhu fi thûli hayãtih wa katstsarallãhu bi amtsãlih, ãmîn, di malam kemarin. Mari kita simak.

Saudaraku dan para kekasihku, Guru Mursyid kami dawuh, ketika berbicara tentang Isra’ Mi’raj, biasanya kita menyebut beberapa topik penting. Pertama, masalah shalat. Karena, menurut salah satu riwayat, perintah shalat ditetapkan pada saat Rasulullah SAW Mi’raj.

Kedua, Isra’ Mi’raj juga dihubungkan dengan suasana tantangan yang dihadapi Nabi SAW dalam berdakwah pada saat itu. Allah ingin memperkuat batin dan memperkokoh keimanan Nabi SAW dalam menghadapi berbagai tantangan.

Ketiga, Isra’ Mi’raj juga dikaitkan dengan ukuran keimanan seseorang. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa ketika iman kita diuji. Apakah keimanan kita tunduk pada akal, atau akal kita yang sepenuhnya tunduk pada wahyu.

Untuk menjelaskan ketiga hal ini, beberapa orang bercerita tentang adanya tiga kelompok yang berbeda berkenaan dengan sikap mereka ketika menerima berita tentang Isra’ Mi’raj. Ketika dikabarkan bahwa Rasulullah SAW melakukan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu Mi’raj sampai ke langit yang lebih tinggi kemudian kembali ke bumi dalam satu malam, kelompok pertama berkata, ”Sami’nã wa atha’nã, Kami mendengar dan kami taat.” Kelompok ini menerima berita itu semata karena Rasulullah SAW yang mengabarkannya. Tokoh dari kelompok tersebut adalah Abu Bakar Al-Shiddiq RA. Karena itulah, ia disebut al-shiddîq, orang yang membenarkan. Kelompok kedua, begitu mendengar cerita Nabi SAW tentang Isra’ Mi’raj, langsung mendustakannya. Tokohnya adalah Abu Jahal. Adapun kelompok yang ketiga, begitu mendengar kabar ini, mereka ragu-ragu. Tokohnya adalah Abu Thalib.

Ada orang yang beranggapan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak boleh diterima oleh akal. Peristiwa itu ialah sesuatu yang harus diterima oleh iman, termasuk ke dalam masalah aqidah. Saya ingin mempertanyakan, betulkah peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak masuk akal? Saya berpendapat, agama itu harus diuji oleh akal; bahkan agama itu hanya khusus untuk orang-orang yang berakal. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan hal itu. Jadi, alangkah mengherankan kalau kemudian agama tidak boleh diterima oleh akal.

Berdasarkan satu hadits, saya sangat percaya bahwa agama Islam itu sangat mudah diterima oleh akal. Walaupun banyak orang yang mengatakan hadits ini dha’îf, tetapi hadits ini memiliki matan yang benar. Hadits ini berbunyi:

اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ لَا دِيْنَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ

Addînu huwal ‘aqlu lã dîna liman lã ‘aqla lahu

“Agama itu akal, tidak beragama buat orang yang tidak menggunakan akalnya.”

Jadi, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, kita tidak usah ragu menggunakan akal kita. Namun demikian, ternyata akal saja juga tidak cukup.

Kita percaya bahwa di dalam agama Islam, akal bukanlah satu-satunya cara untuk mengetahui sesuatu; paling tidak ada tiga cara. Cara yang pertama ialah dengan penginderaan, melihat sendiri. Al-Qur’an mencontohkan hal ini dengan melukiskan kaum Nabi Musa AS yang baru percaya kalau Allah itu ada jika mereka melihat Allah secara jahratan, kasat mata. Cara yang kedua, kita bisa mengetahui adanya sesuatu lewat akal pikiran kita, walaupun indera kita tidak melihatnya. Cara yang ketiga, sebagian orang menyebutnya “mengetahui dengan rasa”. Tetapi, perasaan itu, menurut saya, sangat rendah. Jadi, sebut saja itu “mengetahui dengan qalbu”.

Imam Al-Ghazali pernah bercerita, ”Saya menemukan indera saya sering menipu saya. Tapi, karena saya mempunyai akal, saya yakin tidak mungkin air membengkokkan batang kayu itu. Boleh jadi suatu saat, akal saya itu salah. Mesti ada satu cara lain untuk membetulkan apa yang salah menurut akal ini.”

Imam Al-Ghazali mencoba mencari cara yang ketiga ini sampai beliau jatuh sakit, malah hampir-hampir gila. Tapi kemudian dia sembuh dan menemukan cara yang lain, yang disebut qalbu, melalui riyãdhah atau latihan-latihan ruhaniah.

Peristiwa Isra’ Mi’raj bisa kita terima dengan akal. Tetapi, tentu saja menerima dengan akal saja tidak cukup. Untuk sampai bisa menghayati betul-betul peristiwa Isra’ Mi’raj, kita harus menggunakan riyãdhah.

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa penting dalam sejarah hidup Nabi SAW yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli riyãdhah. Menjadi pembicaraan yang panjang di kalangan ahli tasawuf, karena Mi’raj mencerminkan perjalanan seorang Sufi.

Seseorang yang sedang berusaha mendekati Allah SWT, sedang merintis jalan untuk mendekati Allah SWT, disebut murid. Dalam pandangan orang Sufi yang menjadi murid, perjalanan itu adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Itulah yang disebut Mi’raj.

Jadi, Mi’raj adalah perjalanan Nabi SAW meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi sampai pada satu tempat yang namanya Sidratul Muntaha. Dalam bahasa Arab, al-Muntaha berarti tujuan akhir; maksudnya Allah SWT. Sedangkan Sidrah, dalam kitab tafsir, disebut sebagai “pohon”.[1]Dalam kisah yang populer di kalangan Sufi, Sidrathul Muntaha digambarkan sebagai Pohon Bidara atau pohon kehidupan yang tumbuh dari langit keenam hingga ketujuh, persis di bawah ‘Arsy-Nya. (Candra … Continue reading)

Perjalanan Rasulullah SAW yang berangkat dari bumi yang rendah menuju Al-Muntaha adalah cerminan perjalanan hidup kita sebenarnya. Kita meninggalkan bumi yang rendah menuju tempat yang tinggi untuk menghadap Allah SWT.

Untuk menggambarkan dahsyatnya perjalanan ini, orang-orang Sufi bercerita: “Ketika Rasulullah SAW sampai di satu tempat, malaikat Jibril berkata, ”Saya tidak bisa ikut lagi. Kalau saya ikut, sayap saya akan terbakar. Berangkatlah engkau sendirian.”[2]Rumi dalam Mastnawi-nya, menggunakan Jibril sebagai lambang akal, yang bisa membawa orang ke pintu Sang Kekasih, tetapi tidak diizinkan untuk mengalami kemanunggalan cinta: akal harus berhenti di … Continue reading Lalu Rasulullah SAW berangkat ke satu tempat. Di situ malaikat pun tidak ada, hanya ada Rasulullah SAW dan Allah SWT.[3]“Bagi para pecinta, bahkan Jibril sekalipun adalah hijab.” (Yunus Emre, Divan, h.303, no. CLIX) Sebetulnya agak sulit melukiskannya itu, karena seakan-akan Allah berada di tempat itu. Kalau saya menunjukkan tempat, itu menunjuk hanya kepada Rasulullah SAW, karena Allah SWT tidak tunduk kepada ruang dan waktu.

Tidak benar menisbahkan Allah SWT pada ruang dan waktu. Justru ruang dan waktu yang harus dinisbahkan kepada Allah SWT. Karena ruang dan waktu bersifat nisbiy (membutuhkan sandaran), sementara Allah SWT adalah Dzat yang bersandar kepada-Nya segala sesuatu (al-Manshûb/al-Shamad).

Rasulullah SAW sampai pada suatu kedudukan yang malaikat muqarrabîn pun tidak mencapai tempat itu. Menurut orang-orang Sufi, itulah puncak perjalanan seorang murid ketika mendekati Allah SWT. Para Sufi mengatakan, bila mereka bisa seperti Rasulullah SAW naik ke langit menuju Sidratul Muntaha, mereka tidak akan turun lagi ke bumi. Tetapi Rasulullah SAW, setelah mencapai maqam yang sangat tinggi, malah turun lagi ke bumi dan membawa satu amanah yang disampaikan kepada umatnya.

Masih menurut para Sufi, sebelum sampai ke tempat itu, Rasulullah SAW menyaksikan kebesaran Allah SWT yang meliputi langit dan bumi. Dalam keadaan bergetar, Rasulullah SAW hanya sanggup mengucapkan penghormatan kepada Allah SWT dengan berkata, ”Attahiyyãtul mubãrakãtush shalawãtuth thayyibãtu lillãh; Segala penghormatan, keberkahan, kemuliaan, keagungan, shalat-shalat dan kebaikan-kebaikan adalah kepunyaan Allah SWT saja”.

Ucapan tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tak berhak atas apapun dan tak memiliki apapun. Segala sesuatu diserahkan, disandarkan dan digantungkan hanya kepada kehendak Allah SWT. Dialah Pemilik segala gerak, kekuatan, keberdayaan, kehendak, pepujian, kehormatan dan kagungan.

Lalu Allah SWT membalas ucapan Rasulullah SAW tersebut dengan mengatakan, ”Assalãmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullãhi wa barakãtuh, salam sejahtera atasmu wahai Nabi beserta rahmat-Nya dan keberkahan-Nya”. Bisa anda bayangkan, betapa bahagianya Rasulullah SAW mendapat salam dari Allah SWT. Salam dari Allah itu merupakan energi yang memunculkan kekuatan, daya upaya dan kehendak-kehendak yang ‘satu arah’ dengan perintah Allah SWT. Dan semua kehendak itu pastinya adalah kebaikan.

Namun demikian, karena Rasulullah SAW bukan sekadar seorang Sufi, yang sesudah Mi’raj tidak ingin kembali lagi ke bumi, ia kemudian memohonkan salam itu bukan hanya untuk dirinya. Beliau ingin menyebarkan kesejahteraan itu kepada semua hamba-hamba Allah yang shalih. Lalu Rasulullah SAW menjawab salam dari Allah SWT itu dengan ucapan: ”Assalãmu ‘alainã wa ‘alã ‘ibãdillãhish shãlihîn, salam sejahtera atas kami dan seluruh hamba Allah yang shalih”.

Ketika menyaksikan dialog yang mengagungkan antara seorang hamba dengan Tuhannya itu, para malaikat pemikul ‘Arasy serentak mengucapkan bacaan: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Rangkaian dialog tersebut adalah sebuah bacaan shalat yang dibaca ketika dalam posisi tasyahud (awal dan akhir). Lalu ketika dalam posisi tasyahud akhir, bacaan tersebut ditutup dengan ucapan shalawat: “Allãhumma shalli ‘alã sayyidinã muhammad wa ‘alã ãli sayyidinã muhammad kamã shallayta ‘alã sayyidinã ibrãhîm wa ‘alã ãli sayyidinã ibrãhîm, wa bãrik ‘alã sayyidinã muhammad wa ‘alã ãli sayyidinã muhammad kamã bãrakta ‘alã sayyidinã ibrãhîm wa ‘alã ãli sayyidinã ibrãhîm, fil-‘ãlamîna innaka hamîdun majîd, allãhumma innî a’ûdzu bika min ‘adzãbi jahannama wa min ‘adzãbil qabri wa min syarri fitnatil mahyã wal-mamãti wa min syarri fitnatil masîhid dajjãl. Wahai Allah! Limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad. Sebagaimana pernah Engkau berikan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad beserta para keluarganya. Sebagaimana Engkau berikan berkah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam semesta, Engkaulah yang terpuji, dan Mahamulia. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahanam dan siksa kubur serta dari keburukan fitnah kehidupan dan kematian serta dari keburukan fitnahnya dajjal.”

Lengkap tulisan Arab dan Latin bacaan Tasyahud Akhir sebagai berikut:

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ ، اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكاَتُهُ، اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللّٰهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد، اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقََبْرِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ .

“Attahiyyãtul mubãrakãtush shalawãtuth thayyibãtu lillãh, assalãmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullãhi wa barakãtuh, assalãmu ‘alainã wa ‘alã ‘ibãdillãhish shãlihîn, asyhadu allã ilãha illallãh wa asyhadu anna muhammadar rasûlullãh, allãhumma shalli ‘alã sayyidinã muhammad wa ‘alã ãli sayyidinã muhammad kamã shallayta ‘alã sayyidinã ibrãhîm wa ‘alã ãli sayyidinã ibrãhîm, wa bãrik ‘alã sayyidinã muhammad wa ‘alã ãli sayyidinã muhammad kamã bãrakta ‘alã sayyidinã ibrãhîm wa ‘alã ãli sayyidinã ibrãhîm, fil-‘ãlamîna innaka hamîdun majîd, allãhumma innî a’ûdzu bika min ‘adzãbi jahannama wa min ‘adzãbil qabri wa min syarri fitnatil mahyã wal-mamãti wa min syarri fitnatil masîhid dajjãl”.

Sebagaimana Rasulullah SAW, kita pun diberikan kesempatan untuk Mi’raj. Peluang kita untuk Mi’raj sudah terangkum semua di dalam shalat. Kesempatan yang diberikan kepada kita untuk Mi’raj adalah bentuk kasih sayang Rasulullah SAW yang terkandung pada salah satu kalimat dalam bacaan Tasyahud di atas: “assalãmu ‘alainã wa ‘alã ‘ibãdillãhish shãlihîn, salam sejahtera atas kami dan seluruh hamba Allah yang shalih”.

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّٰهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ، قَالَ: « إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ »

Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah. Berilah aku nasehat yang ringkas.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu akan meminta udzur karena ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap apa yang ditangan orang lain.” [Hadits Hasan; Dikeluarkan oleh Ahmad (5/412), Ibnu Majah(4171), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/462) Al Mizzi (19/347) dan Lihat Ash Shahihah (401)].

Kalau seseorang shalatnya sudah merasa seperti itu, dia telah melakukan Mi’raj. Seperti kata orang Sufi, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah, melihat seluruh kebesaran-Nya dengan seluruh mata batinmu.”[4]Sesungguhnya, perjalanan terjauh adalah menuju ke dalam diri sendiri. Ujung dari perjalanan ke dalam diri sendiri, yang berhilir pada mawas diri dan berhulu pada kenal diri, adalah samudra … Continue reading

Itulah Mi’raj seorang mukmin. Seperti halnya Rasulullah SAW yang telah turun ke bumi lalu mendatangkan keselamatan dan rahmat kepada seluruh hamba-hamba Allah yang shalih. Seorang mukmin, begitu selesai shalat, akan menjadi orang yang menyebarkan rahmatnya. Dia tidak akan tinggal di tempat Mi’rajnya, dia akan kembali ke bumi dan membentuk bumi dengan amanah yang dibawanya ketika Mi’raj, yaitu membawa keselamatan bagi seluruh alam.[5]Tentang bagaimana menziarahi Isra Mi’raj, terlebih lagi tentang bagaimana menapak tilasi jejak perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dan Mi’raj dari titik sujud di muka bumi … Continue reading

Berkaitan dengan shalat atau shalawat, kami sudah rilis artikel beberapa hari yang lalu dengan judul: “Shalawat Qauliyyah dan Shalawat Haqiqiyyah” silahkan klik tulisan judul tersebut jika ingin membacanya.

Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita dan perkenanan untuk ber-Mi’raj layaknya Rasulullah SAW sehingga menjumpai-Nya, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn. Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allãhummaghfir li masyãyikhinã wa liman ‘allamanã warhamhum wa akrimhum bi ridhwãnikal ‘adzhîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yã arhamar rãhimîn

“Ya Allah, ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”

Wallãhu Muwaffiq ilã sabîlit taufîq

 

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 2)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang ...