Arsitektur adalah wujud kebudayaan terbesar, karena di dalamnya terkandung sekaligus wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material yang terpadu dalam bentukkan yang berdimensi. Arsitektur terjelma dalam batasan-batasan ruang dan waktu, di dalamnya terkandung pandangan hidup, sikap religius, dan tatanan sosial masyarakatnya. Selain itu juga, dibangun melalui ilmu dan teknologi yang ada serta menggunakan bahan-bahan yang disediakan alam sekitarnya. Dalam fungsinya, arsitektur langsung bersinggungan dengan kegiatan manusia dan masayrakatnya, baik jasmaniah maupun rohaniah secara sadar ataupun tidak sadar. Hubungan-hubungan ini terjadi tidak hanya dalam kurun hidup seorang manusia, namun justru sepanjang hidup masyarakat dan kebudayaannya sendiri.
Sebagai unsur kebudayaan, arsitektur selalu merupakan sekelompok pola dan bentukkan baku yang merupakan pantulan sikap budayanya. Seperti telah disebutkan di atas, pola dan bentukkan ini sama sekali tidak statis namun selalu berubah, menyesuaikan diri dengan perjalanan sejarah dan pengalaman budaya; baik individu maupun kelompoknya. Keterikatan pada pola jauh lebih erat daripada keterikatan pada bentukkan, bahan, dan teknologi. Wujud ideal yang tertanam pada dunia bawah sadar ini membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk berubah dan justru sisi ini yang sering dilupakan
Untuk mengetahui perkembangan arsitektur yang sebenarnya perlu kita mengkaji perjalanan sejarah bangsa kita sendiri dan perjalanan sejarah manusia itu sendiri secara makro. Dari perjalanan ini pula kita akan mengetahui fungsi arsitektur secara hakiki. Di samping itu, pengaruh alam sekitar memberikan corak dan ragam bagi perkembangan arsitektur daerahnya.
Apabila kita menelaah lebih jauh mengenai suatu bentuk bangunan, maka sebaiknya didahului dengan beberapa catatan tentang berbagai ciri gaya bangunan yang berlaku pada waktu tertentu . Gaya bangunan itu ialah suatu cara membangun dengan menggunakan bahan yang dipilih dari kekayaan bahan yang sudah tersedia, atau hanya sedikit memerlukan pengerjaan. Karenanya bahan itu untuk sebagian besar berupa bahan-bahan yang disediakan alam sendiri dan dalam keadaan siap pakai. Bahan ini adalah yang paling dahulu memberikan perlindungan yang mereka butuhkan. Dengan berlalunya waktu, maka manusia (masyarakat) itu menemukan bentuk-bentuk bangunan yang menurut pengalamannya (empirik) merupakan perwujudan idealnya yang paling baik.
Rumah pada mulanya hanya dibangun sebagai pelindung terhadap elemen cuaca yang mengganggu (terik, hujan, angin, dan lain-lain) dan binatang buas. Pada tahap ini, elemen rumah yang dibutuhkan hanya berupa atap dan dinding yang bersifat darurat dari bahan-bahan yang langsung bisa didapat dari alam secara mudah. (daun besar, gua, dahan yang tergantung rendah, dan lain-lain) Setelah manusia mengenal aktivitas yang bersifat menetap (bercocok tanam, berternak, dan berburu) maka bentuk rumah pun ikut berkembang. Kondisi alam secara langsung akan mempengaruhi perilaku manusia yang tinggal, dan secara fisik terhadap bentuk arsitekturnya yang terbentuk di daerah itu. Pada keadaan tertentu, arsitektur juga dapat mempengaruhi perilaku manusia yang tinggal dan sebaliknya.
Perkembangan arsitektur rumah yang ada di seantero Nusantara, berawal dari suatu perkembangan nafas yang sama dan induk yang sama pula. Rumah menjadi tempat tinggal, tentunya sebagai tempat di mana ia membutuhkan beberapa persyaratan yang bersifat tetap. Oleh karena itu, manusia mulai mengolah bahan-bahan yang ada di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan rumahnya. Pada saat mengolah bahan inilah manusia memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya — secara sadar ataupun tidak — pada tempat tinggalnya .Nilai-nilai tadi tercermin dalam penampilan bangunannya (bentuk, dimensi, bahan, warna, konstruksi, dan lain-lain).
Begitu pula bentuk arsitektur Sunda, yang kemudian muncul sebuah bentuk arsitektur rumah Baduy yang merupakan cikal bakal atau kiblatnya arsitektur di Nusantara bahkan mencapai ke Madagaskar dan Kepulauan Amerika bagian Timur. Kenyataan ini, mungkin oleh sebagian pihak — ahli — dapat dikatakan sebagai hal yang sangat mustahil, tapi seorang ahli yang mencoba menelusuri karya seni arsitektur ini berpendapat lain.
Hampir sebagian ahli mengatakan bahwa segala hal yang dianggap ‘tampil beda’ dan dianggap ‘lebih’, baik dalam bidang pengetahuan maupun teknologi yang kemudian berkembang di Indonesia itu adalah pengaruh dan berasal dari luar. Indonesia sebagai bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengekspresikan potensinya sendiri, sehingga eksistensi dirinya mampu berbicara di tingkat dunia. Hal itu dibuktikan dengan pengatahuan dan nilai-nilai inovatif yang dimilikinya, sehingga pengetahuan dan nilai-nilai inovatif suatu bangsa dapat menunjukkan tingkat peradaban bangsa itu sendiri dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Kenyataan tersebut, diangkat ke permukaan untuk membuka mata orang-orang Indonesia sendiri. Dan seorang ahli dari Jerman, dapat menjungkirbalikkan dikotomi mengenai pendapat ahli Indonesia yang menyatakan pengetahuan dan teknologi itu selalu datang dari luar. Ia yang mencoba untuk menggali bentuk rumah yang tersebar di daerah antara Amerika Timur hingga Pantai Afrika bagian Barat (Sundara) berpusat dari daerah Banten ‘Baduy’. Penyebaran karya seni Arsitektur Rumah Tradisional Banten ‘Baduy’ yang ada di Nusantara, menyebar ke daerah Dwipantara (Asia Tenggara), lambat laun terus menyebar ke Sundara (dari Madagaskar hingga Pantai Amerika bagian Barat). Sistem penyebaran itu dimulai ke arah barat yaitu ke Madagaskar kemudian dilanjutkan ke Pantai Amerika Timur (Maclaine Pont, 1920). Dapat disimpulkan bahwa bentuk atap rumah tradisional itu bermula dari daerah Banten (bentuk rumah tradisional orang Baduy). Mengapa demikian ? Bentuk rumah tradisional daerah tropis dan daerah kepulauan mulai dari Madagaskar (di Pantai Afrika Bagian Barat – hingga ke Polinesia Pantai Amerika Timur) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suhunan Panjang ‘atap panjang’
2. Atap curam sengaja dibuat untuk penyesuaian dengan lebatnya curah hujan.
3. Rumah Panggung
4. Pengangkatan rumah di atas tiang kayu, sehingga diperlukan tangga untuk menaiki rumah tersebut ‘golodog’.
5. Jarak tinggi rumah sangat beragam antara satu meter hingga tiga meter.
6. Mempergunakan faktor lingkungan setempat, sehingga timbul bentuk-bentuk panggung yang jangkung dan pendek. (Anthony Rein, 1992 :72)
7. Tiang rumah tidak ditanam dalam tanah, melainkan menumpang di atasnya, untuk memudahkan pemindahan rumah seutuhnya jika diperlukan. Istilah Sunda ‘tatapakan’ (La Loubère 1691 : 29).
8. Jarak tinggi rumah sangat beragam, meskipun tinggi lantainya paling umum adalah antara satu hingga tiga meter (biasanya lebih tinggi di daerah-daerah kepulauan daripada di Siam dan Indoncina). Akan tetapi raja dan kaum bangsawan berusaha lebih tinggi daripada rakyatnya, sehingga istana raja yang hebat dikabarkan setinggi enam meter di Mindanao dan dua belas meter di Sumatera bagian utara (Dampier, 1697 :225; Ma Huan 1433 : 123; La Laoubere, 1691 : 165; Symes, 1827 I : 218; Davis, 1600 : 147; Carletti, 1606 : 86).
9. Ciri umumnya lagi adalah tungku perapian yang dipasang melesak ke dalam lantai, biasanya di belakang ruang dapur.
Pembuktian bahwa di Jawa Barat (Sunda) dalam mempergunakan tiang-tiang rumah bekas kerajaan itu tinggi-tinggi, dalam sebuah naskah kuna yang berjudul Nagara Tengah yang diperkirakan berada di daerah Cipatujah Ciamis bagian selatan. Dalam naskah kuna tersebut dikatakan bahwa :
· /…/ dijenengan Anggaraksa, karesepna moro bae, gawena ngan leuleuweungan, moro mencek reujeung uncal, anu ngudag beuki jauh, sasab ka Nagaratengah /…/ Isuk-isuk tas ti cai, nenjo kai nu ngajajar, aki kula asa kaget, pager galede ngajajar, urut naon baheulana, aki ngajawabna bingung, sabab teu meunang rasiah /…/ Eyang Anggawana sakti, nerangkeun asal mulana, sajarah nagara gede, Ratu Agung anu gagah, kabeh taya nu kaliwat, kai ngajajar jarangkung, eta urut kandang jaga. /…/
Terjemahan :
· /…/ dinamai Anggaraksa, hobynya berburu kijang di hutan, lama kelamaan sampai di Nagara Tengah /…/ pagi-pagi dia melihat tiang kayu berjajar, Kakek saya heran tiang yang berjajar itu bekas apa, Kakeknya bingung, namun diterangkan sejarah awalnya, yaitu bekas kerajaan Ratu Agung yang gagah, tiang-tiang yang berjajar itu bekas kandang jaga /…/
Bukti bahwa rumah-rumah itu mempergunakan tiang-tiang sebagai penyangga (panggung), berbeda dengan rumah-rumah yang ada di Jawa Tengah dan Bali. Dikatakan bahwa rumah-rumah di daerah sekitar itu adalah ngupuk (langsung ke tanah) adalah : “Pada abad ke enam belas dan ketujuh belas hanya penduduk di Vietnam sebelah utara, Jawa dan Bali yang membangun rumah mereka langsung ke tanah, meskipun di jaman-jaman sebelumnya mereka pun mempergunakan rumah bertiang” (Nguyen, 1934 : 186; Pigeaud 1962 : 509)
Nguyen, mengatakan bahwa orang Asia Tenggara sangat sedikit menggunakan waktu dan kekayaannya untuk rumah mereka. Jelas bahwa lunaknya cuaca dan tersedianya pohon-pohon yang cepat besar, pohon kelapa, dan bambu sebagai bahan bangunan menjadi penyebab utama dari rendahnya prioritas tersebut. Selanjutnya karena biaya membangun rumah begitu murah, rumah dipandang sebagai sesuatu yang tidak permanen dan bukan sarana yang patut untuk menanam uang. Meskipun bahan bangunan rumah mudah diperoleh dan digunakan, juga mudah hancur, atap ilalang dan lantai bambu baru diganti setelah sepuluh tahun. (1934 : 188)
Mengenai penyebaran rumah Banten ke Amerika Timur hingga Pantai Afrika bagian Barat (Sundara) itu, dapat dibuktikan dengan beberapa hipotesis, di antaranya:
1. Sistem Knock Down dalam pembangunan dan pendirian rumah
2. Pembuatan modul-modul bagian-bagian rumah
3. Sistem Sleeding Door ‘pintu geser’
4. Sistem pintu jungkit
Pembuktian lainnya lagi, di antaranya ada beberapa kejadian yang disaksikan langsung oleh para ahli arsitek, yaitu Lodewycksz (1598 :108), menyaksikan keseluruhan daerah Banten yang terbakar dibangun kembali dalam waktu tiga atau empat jam. Penyebaran sistem knock down dan modul rumah ini pun tidak berhenti di sini, karena atrsitek lain menyaksikan tiga rumah orang Siam yang dipindahkan ‘kurang dari satu jam’ guna melapangkan pandangan dari istana raja, sedangkan dua puluh rumah dipindahkan oleh penghuninya ketika suatu tempat di Makasar diperlukan untuk membangun pabrik Inggris di tahun 1613 (Jourdain 1617 :193). Membangun kembali sebuah rumah sederhana tidaklah jauh lebih berat daripada memindahkannya. Crawfurd (1820. I : 162), menaksir bahwa sebuah rumah biasa tidak memerlukan lebih dari enam puluh hari kerja pria; lima puluh buruh Birma membangun rumah berkamar empat yang nyaman untuk Symes (1827. I : 283) dalam waktu empat jam. Orang Eropa tercengang karena cepatnya kota-kota besar dibangun kembali setelah hancur di Ayutthaya yang dibangun kembali dalam dua hari. Kecepatan membangun rumah-rumah yang ada itu dikarenakan bahwa hampir seluruh rakyat adalah ahli membangun rumah. Dinyatakan bahwa meskipun terdapat ahli bangunan rumah dan tukang kayu, keahlian dasar untuk membangun rumah dimiliki oleh rakyat secara luas — hampir tiap orang adalah tukang kayu — (Dampier, 1697 : 227).
Pembangunan rumah dengan mempergunakan sistem knock down yang dikembangkan oleh masyarakatnya, sangat memberikan kemudahan dalam mendirikan sebuah rumah, mereka hanya tinggal membentuk bagian-bagian rumah, sehingga rumah-rumah itu pun dapat dibangun dengan cepat sesuai konsep yang berprinsif minimalis selaras dengan alam lingkungan sekitarnya.
Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)
Menurut sejarawan Drs. Saleh Danasasmita (almarhum) bentuk bangunan tradisional Sunda memang amat sederhana. Penduduk tatar Sunda jaman dulu tergolong masyarakat ladang. Sifat paling menonjol dalam masyarakat ladang adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak peladangannya. Pengaruh langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal bangunan yang harus sederhana dan tidak permanen. Hal yang dianggap tabu oleh masyarakat adalah penggunaan genteng untuk atap rumah dan pemanfaatan paku. Semua dianggap benda-benda asing yang tidak cocok dan ditolak pemanfaatannya (Saleh Danasasmita, 1975)
Koentjaraningrat (1981 : 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, berserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Tentunya dalam hal ini juga termasuk nilai-nilai yang tercermin dalam rumah manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa rumah mencerminkan bangsa, budaya suatu bangsa, di samping tentunya elemen-elemen lainnya, seperti bahasa, pengetahuan, seni, dan lain-lain. Setelah manusia mengenal kehidupan bermasyarakat, ia mulai mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat tempat ia berada, dan ia pun mulai mengenali dan membentuk ciri masyarakatnya yang tertentu dan khas. Ciri ini juga akan tercermin pada tempat tinggalnya.
Apabila kita teliti lebih lanjut, bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih banyak mengacu pada kesadaran lingkungan. Artinya bentuk atap bangunan selalu disesuaikan dengan kondisi alamiah lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang banyak hujan dan tiupan angin keras, orang akan memilih bentuk atap yang kokoh, tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin.
Pendek kata, bangunan rumah tinggal bagi penduduk Tatar Sunda dianggap memadai asal bisa memberi keteduhan dari curah hujan dan matahari, dan melindungi dari bahaya binatang buas. Untuk itu bangunan rumah berbentuk rumah panggung bertengger di atas pilar kayu dengan dinding sederhana guna melindungi dari terpaan angin. Untuk menjaga kehangatan di dalam rumah, cukup dengan menyalakan api (Sunda: hawu).
Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak mengacu pada “bentuk atap dan pintu” yang berbeda pada masing-masing bangunan. Bentuk-bentuk bangunan tradisional Sunda yaitu : Suhunan Jolopong (suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu Kumereb (Limasan), Julang Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok.
Dalam Arsitektur Hijau, dikatakan bahwa “In Sundanese traditional architecture there is no certain rules or norm concerning roof ordering system. However we cuold still indentify the unique tendence of its roof. They use simple roof like pelana ‘gable’ or perisai ‘hip’ roof and when they need to have more roof they just extending the roof with a single roof ‘lean-on’. The single roof always has alower angle and the combination of pelana / perisai with ist lean-on roof is called Julang Ngapak. This rather information solution is still found in traditional Sundanese house in urban area”. (1987 :236).
a. Suhunan Jolopong (Suhunan Lurus)
Bentuk jolopong adalah bentuk rumah (bangunan) yang memiliki suhunan yang sama panjangnya di kedua bidang atap yang sejajar dengan itu. Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama dari kedua bidang atap yang sebelah menyebelah.
Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang sederhana dan dari bentuk ini berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk atap jolopong banyak digunakan pada atap saung (dangau) di sawah di Tatar Sunda. Saung umumnya dibangun di sawah dan dipergunakan sebagai tempat petani menunggu tanamannya dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil menghirup udara segar.
b. Jogo Anjing (sikap anjing sedang duduk)
Bentuk atap jogo anjing atau tagog anjing adalah bentuk atap yang memilikii dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyemburi ruangan dalam bagian depan.
Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak di atas puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya berada di bawah atap belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper saja.
c. Badak Heuay
Bangunan dengan atap bentuk badak heuay sangat mirip dengan bentuk atap tagog anjing. Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.
d. Parahu Kumereb
Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya, berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masiing dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium.
Di daerah lain di Jawa Barat (Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang), bentuk atap parahu kumereb disebut bentuk atap jubleg nangkub.
e. Julang Ngapak
Agak sulit menjelaskan dengan saksama bentuk atap julang ngapak. Padahal istilah itu sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak beberapa waktu lampau. Ir. Maclaine Pont, misalnya mengemukakan tentang bentuk atap pada “Sunda Besar” yang bercirikan bentuk suhunan yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya (Maclaine Pont,1933 : 166). Bentuk atap demikian dulu banyak dijumpai di daerah Garut, Kuningan, dan tempat lain di Jawa Barat.
Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap demikian menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang merentang.
Bila diperhatikan dengan saksama, bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan (atap tambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap tambahan dari masing-masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Kedua bidang atap yang landai ini disebut leang-leang.
f. Buka Palayu
Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari rumah tersebut menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis suhunan yang melintang dari kiri ke kanan. Nama bangunan tersebut dipergunakan oleh penduduk di daerah Kabupaten Sumedang (Kecamatan Tomo) untuk bangunan-bangunan lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota-kota Cirebon – Bandung di daerah kecamatan tersebut.
Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar keinginan pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan atapnya ke arah jalan yang ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap suhunan panjang atau suhunan pondok yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan jure-jure yaitu batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung garis suhunan dengan sudut-sudut rumah.
g. Buka Pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)
Sama halnya dengan buka palayu, rumah dengan gaya buka pongpok didirikan atas dasar keinginan pemiliknya untuk menghadapkan pintu muka ke arah jalan. Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan salah satu ujung dari batang suhunan. Jika dilihat dari arah muka rumah, keseluruhan batang suhunan tersebut tidak nampak sama sekali. Yang nampak terlihat ialah bidang atap segi tiga dari rumah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya potongan buka palayu dan buka pongpok dipadukan menjadi potongan campuran yang disebut sirit teuweul. Potongan yang lebih baru ini, menunjukkan bahwa batang suhunan memiliki dua arah yang berbeda dan masing-masing membentuk sudut tegak lurus, dengan pintu muka mengarah sejajar dengan salah satu batang suhunan.
Jika dilihat dari bentuk bangunan yang ada di daerah sekitar Kampung Naga, maka dapat disimpulkan bahwa rumah-rumah penduduk yang ada di daerah ini mempergunakan dua bentuk suhunan, yaitu suhunan pelana ‘gable roof’ dan suhunan perisai ‘hip roof’. Hal itu disebabkan karena dapat dengan mudahnya penduduk di sekitar itu untuk pengembangan selanjutnya.
Dari beberapa sampel yang ada di daerah Kampung Naga, ada dua macam rumah yaitu : pertama, berupa rumah asli dan kedua berupa rumah yang telah terjadi penambahan ruang untuk fungsi-fungsi baru dan adanya perubahan tata letak ruang. Perubahan-perubahan ini terjadi karena timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, seperti misalnya penambahan ruang dapur, ruang tidur, dan ruang untuk beristirahat keluarga.
Beberapa pengertian mengenai berbagai suhunan yang ada dan dipergunakan oleh masyarakat Sunda secara umum.
Susunan Ruangan Rumah
Susunan ruangan-ruangan rumah tempat tinggal pada masyarakat Sunda umumnya pada rumah tinggal dengan atap suhunan jolopong atau panjang, pada umumnya terdiri atas:
· Ruangan depan, disebut emper atau tepas
· Ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan
· Ruangan samping, disebut pangkeng atau kamar.
· Ruangan belakang, terdiri atas: (a). dapur, disebut pawon, (b). tempat menyimpan beras, disebut padaringan.
Rumah tinggal masayrakat Kampung Naga, pada umumnya mempunyai ruangan-ruangan terdiri atas:
· Ruangan depan dalam rumah disebut tepas
· Ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah)
· Ruangan-ruangan samping disebut pangkeng
· Ruangan belakang disebut pawon (dapur)
Sistem pembagian ruangan pada rumah tempat tinggal berhubungan dengan pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga penghuni suatu rumah. Pembagian itu didasarkan pada tiga daerah yang terpisah dibedakan penggunaannya, yaitu: daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki).
Pembagian fungsi ruangan ini memang tidak begitu kentara, namun ketika ruangan itu dibuka untuk difungsikan, maka ada pembagian khusus. Dalam penggunaannya orang tidak dapat sembarangan untuk menempatinya. Demikian pula ketika seorang laki-laki memasuki daerah goah ‘lumbung’ akan sangat berkaitan dengan kepercayaan yang sakral.
Fungsi Tata Ruang Bangunan
Rumah bagi orang Sunda identik dengan ‘dunia’ yang lebih besar. Rumah dalam bahasa Sunda adalah imah atau bumi, dalam bahasa Indonesia sepadan dengan bumi atau dalam pengertian yang sesungguhnya yaitu dunia. Namun demikian, rumah bagi orang Sunda sebagai keseluruhan dapat dipandang sebagai memiliki sifat kewanitaan. Hal ini dapat diamati dengan adanya ucapan kumaha nu di imah ‘bagaimana istri saja’ yang sering diungkapkan oleh seorang suami. Ungkapan tersebut tercermin bagaimana peranan seorang wanita atau istri yang sangat menentukan di rumah, istri sebagai tuan di rumah. Dari pembagian di atas, tidak melepaskan pengertian secara makro antara prinsip kelaki-lakian dan kewanitaan tetap dominan.
Pengaturan tata ruang tradisional Sunda, tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang tercermin dari kosmologinya, dapat dilihat dari setiap pembangunan rumah biasanya didahului dengan perhitungan-perhitungan yang didasarkan pada hari / tanggal kelahiran istri ditambah suami yang memiliki rumah tersebut. Pada waktu ditetapkan, maka dilakukan hajatan untuk meminta restu karuhun dan agar terhindar dari pengaruh kekuatan-kekuatan yang dianggap buruk. Dengan demikian, pengetahuan tentang tata ruang dalam pandangan manusia Sunda tampak dengan jelas memadukan konsep dunia gaib dengan dunia manusia yang menjelma kontras, tetapi saling mengisi antara dunia laki-laki dan dunia wanita.
Rumah tradisional Sunda selalu terintegrasi secara harmonis dengan bangunan-bangunan lainnya dengan alam lingkungan sekitarnya, membentuk pola pemukiman tertentu. Pola pemukiman mereka membentuk deretan rumah yang berhimpitan dua baris dan saling berhadapan, terpisah oleh satu pelataran yang berfungsi sebagai jalan. (Anwas Adiwilaga, 1975 : 55). Pelataran atau halaman (buruan) biasanya terbagi dua; halaman depan dan belakang. Halaman depan dibiarkan terbuka untuk tempat anak-anak bermain dan tempat orang tua berbincang, akan tetapi bagi wanita biasanya mengobrol di bagian belakang (dapur), dengan demikian halaman depan identik dengan daerah laki-laki. Halaman belakang biasanya merupakan tempat aktivitas wanita. Di sini terdapat sumur, kolam, dan biasa pula terdapat berbagai jenis tanaman yang berkhasiat sebagai obat dan tanaman bumbu dapur. Di daerah Priangan, peranan sumur dan kolam sangat penting, karena keduanya berhubungan dengan air yang memiliki kaitan erat dengan kepercayaan akan kesuburan atau dunia bawah (Hiding, 1912 , Weesing, 1978 :55)
Bentuk bangunan rumah Sunda biasanya berbentuk panggung, berdasarkan pandangan kosmisnya, kedudukan secara makro dalam jagat raya ini terletak di antara dunia bawah dan dunia atas, maka dengan demikian rumah berada di daerah netral yang merupakan penghubung di antara dua dunia tadi. Manifestasi rumah panggung tadi, mengingatkan kita pada saung ranggon yang tingginya mencapai 4 meter, menunjukkan bahwa manusia Sunda adalah peladang (ladang = huma) di mana arti imah identik dengan huma.
Tidak ada ketentuan khusus tentang letak dan arah menghadap rumah, hanya di kalangan masyarakat tertentu, rumah menghadap ke suatu arah yang dianggap lebih tinggi derajatnya, di Kampung Naga, menghadap arah utara-selatan, karena menghadap kepada tukuh kampung atau pancer kampung. Di Baduy rumah membujur utara-selatan, sedangkan pintu rumah menghadap barat-timur, hal ini disebabkan letak sasaka domas yang ada di daerah sebelah selatan (Saleh Danasasmita, 1986 :54). Letak rumah di Kampung Pulo (Garut) menghadap utara-selatan, sedangkan atapnya membujur arah timur-barat, hal ini dimungkinkan karena adanya makam “Embah Arief Muhammad” yang dianggap sebagai pancer. Di daerah Indramayu, rumah harus menghadap ke gunung, identik dengan konsep kaja-kelod di kalangan orang Bali yang beragama Hindu-Bali. Gunung bagi orang Indramayu adalah pusat.
Di Kampung Naga, rumah tidak harus menghadap pada satu orientasi, hal itu disebabkan karena tidak adanya tokoh yang dikultuskan, walaupun tokoh-tokoh pendiri Kampung tersebut disemayamkan di daerah itu. Orientasi rumah didasarkan pada pola kebutuhan dan penyesuaian jalan dalam sirkulasi aktivitas manusia. Namun dalam pola kampung di Kampung Naga ini mengacu pada pola kampung konsentrik, yakni kampung berpusat pada satu titik orientasi, yaitu jalan desa.
Konsep dasar pembagian ruang pada rumah tradisional Sunda, berlaku klasifikasi dua, yaitu ruang tepas ‘depan’ dan ruang belakang; terdiri atas ruang padaringan ‘tempat menyimpan beras’ dan dapur. Di antara kedua ruang tersebut ada ruang pemisah atau ruang antara, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang penghubung. Tepas adalah ruang laki-laki, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, walaupun wanita boleh masuk ke ruangan ini. Ruang tengah ‘tengah imah’ merupakan daerah netral digunakan untuk berkumpul seluruh anggota keluarga, mereka berbaur di tempat ini, dan berfungsi pula sebagai penghubung antara ruang tepas ‘depan’ dengan ruang belakang ‘dapur’. Ruang pangkeng ‘tidur’, merupakan kategori daerah wanita dan sangat dominan menggambarkan ciri kewanitaan. Siapa pun dilarang masuk ke dalam ruangan ini, kecuali suami istri. Ruang tidur ini biasanya terletak di sebelah kanan agak menyudut dari arah kamar. Secara struktural letaknya agak menjauh dari ruang padaringan dan ruang tamu yang biasanya terletak di daerah tepas yang agak menjorok ke arah sudut kiri.
Ruang belakang terdiri atas dua ruang utama, yaitu padaringan dan dapur, letaknya yang lebih umum di arah timur-barat. Dunia wanita dalam klasifikasi ruang tercermin di daerah ini, di mana beras tersimpan dan sesajen tersedia untuk para lelembut ‘Nyi Sri yang memiliki sifat kewanitaan’, laki-laki sama sekali dilarang masuk ke area ini, pamali ‘tabu’, karena baik sesajen dan penempatan beras di dalam ruangan ini ditata dan dibuat oleh wanita. Begitu pula dengan ruang dapur adalah ruang segala aktivitas. Penataan atas dasar ini, membuat rumah menjadi suatu cosmos kecil, di mana tempat atau rumah terendah di bawah lantai, terutama diperuntukkan bagi binatang dan sampah (meskipun adakalanya digunakan juga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya). Tengah rumah untuk tempat berdiam dan ini juga dibedakan antara tempat untuk umum atau untuk bekerja dengan tempat yang lebih tinggi (lihat rumah Baduy) untuk acara-acara atau untuk tidur. Tempat yang paling tinggi ialah goah sebagai tempat suci untuk menyimpan beras dan untuk memberikan sesajian kepada leluhur (Errington, 1979 : 13, Nguyen, 1934 :471)
Perlu dijelaskan di sini, meskipun telah diungkapkan bahwa rumah itu mengandung daerah laki-laki dan daerah wanita secara jelas, namun dalam cara memandang rumah itu dengan unit-unitnya yang lain bergantung pula pada konteksnya. Jadi dalam beberapa hal dapat pula dipandang rumah itu memiliki sifat laki-laki dan wanita, tetapi dalam konteks yang lain dapat bersifat salah satu.
Seperti telah dipaparkan di depan bahwa rumah secara makro merupakan lambang kewanitaan, terlihat dalam tata cara mewariskan rumah, di mana rumah tersebut jatuhnya kepada anak wanita dan atau kepada menantu wanita. Begitu pula dalam tata cara membangun rumah dan pindah memasuki rumah baru, biasanya perhitungan hari baik / buruk didasarkan pada hari kelahiran istrinya yang akan membangun rumah, sehingga pembangunan rumahnya dimulai dengan membangun padaringan.
Konsep pembagian dua terhadap ruang-ruang rumah dan halaman menjadi daerah laki-laki dan daerah wanita yang dibatasi oleh ruang / daerah netral itu, harus dilihat sebagai kategorisasi yang bersifat ritual dan fungsional. Misalnya laki-laki secara adat tidak boleh masuk ke dalam padaringan, karena ruang tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Daerah padaringan identik dengan Dewi Sri, ‘dewi padi’ yang memiliki sifat kewanitaan. Makhluk-makhluk halus (dedemit, jurig, ririwa, kelong) yang bertalian dengan dunia di luar rumah, cenderung bersifat laki-laki dan dengan demikian harus dihadapi oleh laki-laki pula.
Menjaga Kelestarian Alam
Nenek moyang “karuhun” Sunda telah memiliki kearifan dalam penataan lingkungan (ekologi). Salah satu contoh yaitu masyarakat Kampung Naga, salah satu bentuk dalam menjaga kelestarian alamnya itu dengan tabu. Kelestarian alam sekitar dapat dijaga dengan adanya tabu yang sangat mengikat sikap hidup masyarakatnya. Perjalanan sejarah Kampung Naga mulai dari awal hingga sekarang adalah gambaran adanya kesadaran akan lingkungan alam sekitar. Perpaduan antara kearifan tradisional yang diturunkan melalui karuhunnya dengan tantangan alam yang ada, mampu menciptakan hidup yang harmonis.
Sikap tabu untuk melakukan dan berbuat sesuatu (khususnya dalam pembuatan rumah) sangat dihormati masyarakatnya, walaupun kini dalam suatu siatuasi yang menuntut untuk berubah sesuai dengan gelombang jaman. Rasionalisasi yang diberikan oleh pimpinan masyarakat adalah jawaban tentang kearifan dalam menjaga kelestarian alam sekitarnya.
Ada dua sisi yang tak dapat ditolak oleh masyarakat Kampung Naga, yaitu pertama : sisi perubahan jaman yang menuntut manusia untuk berubah. Hal itu disebabkan adanya mobilitas antara penduduknya dengan dunia luar. Kedua adanya sisi yang lebih prinsip dalam hidupnya, yaitu sikap religius yang harus dipertahankan sebagai pedoman hidupnya. Kedua sisi yang saling bersebrangan ini mereka ikuti dengan jalan mencoba merasionalkan tabu dengan nilai-nilai baru sesuai dengan perubahan zaman.
Sikap pertentangan dua sisi yang bersebrangan itu akan sangat terlihat pula pada kehidupan masyarakat orang Rawayan (Baduy) adalah salah satu sisa-sisa karuhun Sunda jaman dahulu yang dikenal kuat memegang prinsip adat. Mereka memiliki kearifan ekologis yang tercermin dari pegangan hidup mereka, yaitu seperti ungkapan berikut:
· Ngaraksa Sasaka Pusaka Buana mengandung makna, menjaga warisan suci di atas bumi. Adapun yang dimaksud dengan “warisan suci di atas bumi” adalah kelestarian alam yang masih terjaga. Tanah yang masih tetap subur, sumber air yang belum tercemar, udara yang bersih, sehat, nyaman belum terkena polusi, serta bumi yang masih terjaga keseimbangan ekologisnya. Sasaka Pusaka Buana adalah buana bumi yang masih tetap layak, sehat, nyaman untuk dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya, yang kelak akan diwariskan kepada anak cucu kita.
· Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung, artinya: Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Ini adalah esensi hidup dari konsep konservasi yang menyatakan menjaga dan melestarikan kelangsungan proses perubahan alamiah secara wajar.
· Ngasuh ratu ngajayak menak, ngabaratakeun nusa teulung puluh telu, bagawan sawidak lima, panca salawe nagara. Maksudnya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, paling tidak secara moril harus loyal kepada pemerintah dan pimpinan negara, dengan berbagai upaya dan cara. Begitu pula para pemimpin bangsa dan masyarakat. Dalam upaya menjaga kewajibannya dan menghindarkan diri dari tindak nista tercela, perlu ikut mendukung dengan keteladanan. Secara spiritual, dengan berdoa dan bertapa, agar negara dan bangsa senantiasa selamat sejahtera, aman damai abadi. Terhindar dari segala macam bencana dan malapetaka.
· Mipit kudu amit, ngala kudu menta (memetik harus permisi, mengambil mesti meminta). Jika prinsip ini dipadukan dengan prinsip “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung”, maka prinsip orang Rawayan untuk menjaga kelestarian alam merupakan prinsip yang lengkap, utuh, dan serasi.
Dengan mematuhi prinsip itu orang Rawayan menerima alam menurut kondisi kodrati. Mereka tabu untuk mengubah wajah atau permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam menentukan lokasi rumah, kampung, desa, atau lahan pemukimannya, mereka memiliki salah satu alternatif dari beberapa macam lahan yang bersifat baik dan layak huni.
Begitu pula dengan masyarakat Kampung Naga, mereka menyadari bahwa dengan mematuhi larangan atau tabu yang menjadi patokan hidupnya adalah suatu cara dan jalan untuk menyikapi hidup. Proses rasionalisasi tabu yang dilakukan oleh para pemimpin masyarakatnya adalah sikap arif yang paling baik untuk menyikapi dinamika penduduknya dalam menghadapi perubahan dan tantangan alam. Rasionalisasi ini tidak mengubah pola pikir tradisional menjadi ‘modern’, namun proses rasionalisasi ini merupakan pola pikir yang mendukung adanya perubahan tanpa merubah asas sikap hidupnya.
Klasifikasi Lahan
Masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau perkampungan baru. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagaimana letaknya, kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya, warna dan aroma tanah, serta bentuk alamiah lahan tersebut. Semua itu akan memberi pengaruh kepada para penghuninya.
Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut diterangkan dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, paling sedikit ada sembilan belas jenis tanah yang mempunyai pengaruh buruk dan dapat mendatangkan bahaya atau bencana pada penghuninya.
Lahan yang dianggap “sampah bumi” atau mala ning lemah adalah : Tanah sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kolomberan, jariyan, dan sema. (Sutrisno Murtiyoso, 1989). Sedang lahan yang bersifat baik, mendatangkan kesejahteraan kepada penghuninya, dapat dipilih dari 6 jenis lahan berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah palisungan, dan bulan purnama. Untuk jelasnya pengertian tentang lahan tersebut berikut rinciannya :
1. Sodong: Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang berbelok sehingga sisi luarnya tergerus dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat persembunyian ikan. Dapat diartikan sebagai ceruk atau goa dangkal yang umumnya pada tebing.
2. Sarongge : Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya menjadi “pangkalan” setan, jurig, dan ririwa.
3. Cadas Gantung : Cadas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk naungan (shelter) alami.
4. Mungkal Pategang : bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan batuan di sekelilingnya.
5. Lebak : lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari pandangan dan sinar matahari.
6. Rancak : batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri.
7. Kebakan Badak : kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk berkubang oleh badak.
8. Catang Nunggang : batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah. Merupakan lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh satu selokan / ngarai, namun dihubungkan oleh suatu jembatan alami berupa cadas atau karang.
9. Catang Nonggeng : batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidang lahan yang lokasinya terletak pada lereng yang curam.
10.Garunggungan : tanah membukit kecil.
11.Garenggengan : tanah kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.
12.Lemah Sahar : tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau pertumpahan darah.
13.Dangdang Wariyan : dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang.
14.Hunyur : sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau gundukan tanah, lebih kecil dari gunung (Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir, hunyur).
15.Lemah Laki : tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam.
16.Pitunahan Celeng : tempat berkeliaran babi.
17.Kolomberan : kecomberan, atau genangan air yang mandeg.
18.Jarian : tempat pembuangan sampah.
19.Sema : kuburan.
Sebaliknya, lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemikiman penduduk, dapat dipilih di antara enam jenis lahan, yang perinciannya adalah:
1. Galudra ngupuk : lahan yang mendatangkan kekayaan duniawi.
2. Pancuran emas : lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.
3. Satria lalaku : lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini hidup prihatin namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh kehormatan.
4. Kancah nangkub : lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan dikelilingi pegunungan. penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera.
5. Gajah palisungan : lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan barat. Pemilik lokasi pada lahan seperti ini alamat bakal mendatangkan kekayaan duniawiah yang tumpah ruah.
6. Bulan purnama : desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan yang dialiri sungai dekat mata air (di arah utara). Sedangkan arah bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur.
Adapun tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak layak untuk tempat mendirikan rumah atau kampung adalah:
1. Gelagah katunan : dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.
2. Cagak gunting : yakni lahan “segi tiga” yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua alur sungai.
3. Jalan ngolecer : lebih dikenal dengan “nyunduk sate / tusuk sate”, yakni lahan atau bangunan yang hampir tertembus alur jalan atau jadi tumpuan jalur jalan raya.
Beberapa jenis klasifikasi tanah / lahan, yang baik maupun yang buruk, semua ditentukan oleh para karuhun Sunda jaman dahulu secara empiris, berdasarkan pengalaman hidup secara nyata. Namun bila ditelaah secara ilmiah, klasifikasi jenis lahan yang baik dan yang buruk menurut kepercayaan masyarakat Sunda kuno ini, tidak banyak berbeda dengan teori “Site Planning” modern.
Sebagai peraturan yang berlaku di masyarakat, maka ketentuan tentang mala ning lemah tadi tak boleh dilanggar, bahkan pengetahuan itu dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam pesan yang tercantum pada Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian sebagai berikut:
Eta kehna kanyahokeun, dituhuna diyogyana, aya ma nu majar mo nyaho, eta nu mo satya di guna di maneh, mo teuing dicarek dewata arang. Tan awuring inanti dening kawah, lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sehingga ning guna kreta, kena itu tangtu hyang tangtu dewata.
Terjemahan :
“Itu semua patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu, itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita, pasti ditunggu oleh neraka; bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan, karena semua itu ketentuan dari Hyang dan Dewata”
Memilih Tanah yang Baik untuk Pekarangan
· Apabila tanah sebelah barat lebih tinggi dan sebelah timur lebih rendah, itu menunjukkan tanah yang baik untuk dijadikan lahan pekarangan, makna-nya banyak berkah. Apabila sebaliknya tanah di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat, menandakan tanah itu jelek untuk dibuat pekarangan makna-nya akan banyak menimbulkan penyakit.
· Apabila tanah di sebelah selatan lebih tinggi daripada sebelah utara, maknanya akan banyak memberikan berkah dan rezeki bagi penghuni rumah yang turun-temurun kepada anak cucunya. Sebaliknya apabila tanah di sebelah utara lebih tinggi daripada sebelah selatan, menandakan tanah yang jelek untuk penghuni rumah bahkan akan menimbulkan banyak musuh dan banyak setan.
· Apabila tanah yang rata, ada baiknya dan ada jeleknya. Baiknya banyak berkah, sedangkan jeleknya tidak mendapatkan apa-apa.
· Apabila tanah miring ke sebelah barat, warnanya putih, rasanya manis, baunya harum, akan memberikan mananya kepada penghuni yaitu tidak akan kekurangan rezeki.
· Apabila tanah warnanya merah, rasanya manis, baunya menyengat (seperti membaui cabai yang pedas), akan memberikan kesenangan dan sangat dihormati ‘kaimpungan’ sangat disukai oleh banyak orang.
· Apabila tanah warnanya hijau, rasanya manis-pedas dan berbau, akan memberikan keselamatan kepada anak dan hartanya bendanya.
· Apabila tanah warnanya hitam, baunya amis ‘hanyir’ , tanah ini jangan dipergunakan untuk lahan perumahan, sangat jelek bagi penghuni nantinya.
Dalam kehidupan kesehariannya, masyarakat Sunda tak lepas dari siklus alam yang mengitarinya, segala sesuatu selalu berkelinditan ‘berhubungan’ erat tidak terputus. Apabila kita lihat bahwa waktu atau perputaran bumi, bulan, dan matahari tak lepas dari pengamatan yang dijadikan acuan dan patokan dalam langkah kesehariannya. Patokan itu merupakan satu tatanan permanen yang apabila dilepaskan atau diabaikan akan terjadi kerusakan alam dan manusianya, itu adalah konskuensinya. Kearifan manusia Sunda dalam mengakomodir gejala alam ini adalah suatu pranata yang sudah menjadi konsep hidupnya dalam keseharian. Konsep itu andalan dan pegangan dalam segala aspek kehidupan, yang dipergunakan baik oleh petani, pembuat rumah, konseptor, pedagang, dan lain-lain. Ada semacam perhitungan-perhitungan hari baik dan hari-hari pantangan untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan perputaran bumi, bulan, dan matahari bagi seseorang. Perhitungan itu disebut sebagai palintangan.
Perenungan akan kesadaran terhadap tradisi palintangan bangsa sendiri yang berkaitan dengan waktu adalah merupakan kenyataan hidup manusia Sunda, Di negara-negara Barat ‘negara-negara industri’ waktu sesuai dengan istilah jam yang dapat diukur, menurut Benjamin Franklin, “waktu juga dapat disamakan dengan uang”, bukan sebagai sesuatu yang sesuai dengan kenyataan hidup manusia. Karena itu, bagi mereka kesamaan waktu dan kehidupan manusia merupakan pengelolaan teknologis. Bagi manusia Sunda waktu dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sampai sekarang merupakan pusat pemikiran dan tindakan. Keselarasan hidup sesama manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, manusia dengan waktu masih merupakan pegangan hidupnya. Bagi manusia Sunda, waktu dan ruang merupakan hukum perulangan yang berhubungan dengan prinsip kosmis, si petani menyelaraskan diri dengan musimnya dan dengan pergantian siang dan malam.
Kepercayaan terhadap ramalan hari baik dan buruk, keberuntungan serta ramalan-ramalan lainnya merupakan salah satu bagian dari sistem pengetahuan yang dimilikinya dan sangat erat dengan sistem religi yang dianutnya. Masyarakat Sunda pada dasarnya masih percaya bahwa kehidupan ini selalu berada dalam pengaruh alam gaib, benda-benda serta bintang-bintang lainnya yang saling mempengaruhi.
Mengenai kebenaran dari hasil palintangan ini, menyangkut sejauhmana keyakinan seseorang atau sekelompok orang dalam penerapannya, sehingga apa yang diharapkan dari niat atau pekerjaan itu tidak terlalu jauh meleset atau bahkan tidak berdampak negatif. Pada umumnya masyarakat Kampung Naga pun dengan latar belakang agama Islam sangat intens dengan kepercayaan mengenai perhitungan ini. Pada dasarnya kepercayaan mengenai perhitungan-perhitungan ini adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya atau dengan alam gaib. Agar hubungan yang harmonis ini terus tercipta, maka diadakanlah upacara-upacara ritual, sepeti dalam tata cara membangun rumah; mulai dari tahapan awal hingga rumah selesai dibangun, selalu diwarnai dengan upacara ritual.
Oleh: Nandang Rusnandar
http://sundasamanggaran.blogspot.com/