Orientalis Kristen kelahiran Oosterhout ini tak percaya Tuhan. Tapi ia dijunjung sebagai pahlawan oleh Belanda atas keberhasilan memecah-belah ulama.
Nama lengkapnya, Christian Snouck Hurgronje, lahir di pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi.
Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arab-nya, Snouck kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekah, 1884. Di Mekah, keramahannya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Snouck Hurgronje adalah sosok kontroversial khususnya bagi kaum Muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh. Bagi penjajah Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembanagan selanjutnya.
Snouck berpendapat bahwa Al-Quran bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia.
Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.
Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam”. Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.
Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda.
Pada saat yang sama perang Aceh mulai bergolak. Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.”
Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama-ulama Mekah telah mengakui ke-Islaman Anda”. Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi ini tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama.
Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu. Snouck kemudian menawarkan diri pada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ‘Ulama asal Aceh di Mekah. Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Benaker Hourdec menyiapkan asisten-asisten untuk menjadi pembantunya. Seorang di antaranya adalah warga keturunan Arab Pekojan, yaitu Sayyid Utsman Yahya Ibn Aqil al Alawi. Ia adalah penasehat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum Muslim atau asisten honorair.
Dalam buku ”Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa”, Utsman bin Abdullah Al-’Alawi dikenal seorang pengabdi Pemerintah Kolonial Belanda yang amat setia. Untuk kesetiaannya yang luarbiasa itu, ia dianugerahi “Bintang Salib Singa Belanda” tanggal 5 Desember 1899 tanpa upacara resmi. Ia bahkan pernah mengarang khotbah jum’at yang mengandung do’a dalam bahasa Arab untuk kesejahteraan Ratu Belanda Wilhelmina. Khotbah dan do’a itu kemudian dikenal di kalangan umat Islam sebagai “Khotbah Penjilat ”….
Dalam upaya memadamkan pemberontakan Islam, Sayyid Utsman Al-’Alawi ini dikenal pula dengan fatwanya yang menyatakan bahwa jihad itu bukanlah perang melawan orang kafir, melainkan perang melawan nafsu-nafsu jahat yang bersarang pada diri pribadi setiap orang. Selain Al-’Alawi, Snouck juga dibantu sahabat lamanya ketika di Mekah, Haji Hasan Musthafa yang diberi posisi sebagai penasehat untuk wilayah Jawa Barat. Snouck sendiri memegang jabatan sebagai penasehat resmi pemerintah penjajah Belanda dalam bidang bahasa Timur dan Fiqh Islam. Jabatan ini masih dipegangnya hingga setelah kembali ke Belanda pada tahun 1906.
Pembersihan Aceh
Misi utama Snouck adalah “membersihkan” Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan pada bagian ini, bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ‘Ulama.
Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena mereka hanya memikirkan bisnisnya. Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ‘Ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut di sini, bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen mata-mata dari kalangan pribumi.
Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membantunya berasumsi bahwa Snouck adalah seorang saudara semuslim. Dalam suatu korespondensinya dengan ‘Ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan “Wahai Fadhilah Syekh AIlamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti negeri Jawa. ”
Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa Barat pada tahun 1890. dari pernikahan ini ia peroleh empat anak: Salamah, ‘Umar, Aminah dan Ibrahim. Akhir abad 19 ia menikah lagi dengan Siti Sadijah, putri khalifah Apo, seorang ‘Ulama besar di Bandung. Anak dari pernikahan ini bernama Raden Yusuf.
Snouck juga melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Nöldeke, seorang orientalis Jerman terkenal. Sekedar catatan, Nöldeke adalah orientalis dan pakar Kearaban dari Jerman. Tahun 1860 aia menerbitkan bukunya, Geschichte des Qurans (Sejarah al-Quran). Karyanya ini dikembangkan bersama Schwally, Bergsträsser, dan Otto Pretzl, dan ditulis selama 68 tahun sejak edisi pertama.
Sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para orientalis khususnya dalam sejarah kritis penyusunan Al-Quran. Musthafa A’zhami, dalam bukunya, The History of The Qur’anic Text, mengutip satu artikel di Encyclopedia Britannica (1891), dimana Nöldeke menyebutkan banyaknya kekeliruan dalam Al-Quran karena, kata Nöldeke, “Kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi – kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang ia curi dari sumber-sumber Yahudi.’’
Sebagaimana dikutip dalam bukunya, Musthafa A’zhami, The History of The Qur’anic Text, Nöldeke, telah menuduh Nabi Muhammad sebagai penulis Al-Quran dan orang jahil. Selanjutnya, dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keIslaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi.
Ia menulis “Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satunya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. ” Temuan lain Koningsveld dalam surat Snouck mengungkap bahwa ia meragukan adanya Tuhan. Ini terungkap dari surat yang ia tulis pada pendeta Protestan terkenal Herman Parfink yang berisi, ‘Anda termasuk orang yang percaya pada Tuhan. Saya sendiri ragu pada segala sesuatu. ”
Devide et impera
Yang jelas, selama tujuh bulan Snouck berada si Aceh, sejak 8 Juli 1891, baru pada 23 Mei 1892, ia mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasehat strategi kemiliteran Snouck.
Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.
Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil. Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik devide et impera.
Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung.
Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang. Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras.
Tapi Van Heutsz ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam. Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata.
Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh.
Sepionase?
Dr. P. Sj. Van Koningsveld, penulis Belanda yang gemar mengumpulkan tulisan-tulisannya bertalian kegiatan kontroversial Snouk mencatat beberapa perilaku Snouck Hurgronje. Kumpulan tulisan Van Koningsveld ini banyak mendapat pertentantangan dikalangan akademisi yang masih menjadi almamaternya di Leiden.
Dalam bukunya Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Jakarta, 1989), Koningsveld menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat (1989: 95-107).
Van Koningsveld juga memberikan petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan ketidaktulusan Snouck Hurgronje masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk melancarkan tugasnya atau tujuannya yang hendak mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia, jadi bersifat politik–bukan ilmiah murni.
Veld berkomentar tentang aktivitas Snouck: “Ia berlindung di balik nama “penelitian Ilmiah” dalam melakukan aktifitas spionase, demi kepentingan penjajah”.
Veld yang merupakan peneliti Belanda yang secara khusus mengkaji biografi Snouck menegaskan, bahwa dalam studinya terhadap masyarakat Aceh, Snouck menulis laporan ganda. Ia menuliskan dua buku tentang Aceh dengan satu judul, namun dengan isi yang bertolak belakang. Dari laporan ini, Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh selama tiga puluh tiga bulan dan ia pura-pura masuk Islam.
Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama.
Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan budaya dan watak masyarakat Aceh sekaligus memantau peristiwa yang terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari pekerjaan spionase dengan mengamati dan mencatat. Sebagai hasilnya ia menulis dua buku. Pertama berjudul “Aceh,” memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Tapi pada saat yang sama, ia juga menulis laporan untuk pemerintah Belanda berjudul “Kejahatan Aceh.” Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.
Dua buku ini bertolak belakang dari sisi materi dan prinsipnya. Buku ini menggambarkan sikap Snouck yang sebenarnya. Di dalamnya Snouck mencela dan merendahkan masyarakat dan agama rakyat Aceh. Laporan ini bisa disebut hanya berisi cacian dan celaan sebagai provokasi penjajah untuk memerangi rakyat Aceh. [Ditulis Indra Yogi. Tulisan ini disadur dari tulisan Dr. Daud Rasyid, MA, ”Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi” dan beberapa sumber lain/hidayatullah.com
(Tulisan dari Redaksi Swaramuslim.com)