Home / Tentang Kami

Tentang Kami

Pasulukan Loka Gandasasmita

“Awas dan Tajam akan tanda-tanda zaman”

Awwalul Kalam

Logo PLGS 17 (complete)Dunia modern dengan berbagai ragam persoalan yang dihadapi, terjadinya perubahan tata nilai, integritas budaya, kecenderungan menuju arah globalisasi, realitas kemajuan teknologi di berbagai segi kehidupan, penyebaran arus komunikasi yang semakin tinggi, meningkatnya pola berpikir manusia dan aspek-aspek lainnya, adalah sebuah fenomena mutakhir dari perjalanan sejarah manusia yang menjadikan dunia dengan keanekaragamannya semakin terasa dalam ‘genggaman tangan’.

Segala sesuatu menjadi mudah dan murah. Kemajemukan semakin terasa. Gesekan-gesekan semakin sering terjadi. Dampak negatif bermunculan seiring, sebanyak dan secepat dampak positif yang dilahirkan. Bahkan terkadang lebih cepat dan lebih banyak dari angka kelahiran dampak positif.

Cukup beralasan jika para praktisi kerohanian mengkhawatirkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan antara ‘kutub’ negatif dengan ‘kutub’ positif. Jika tidak ditanggulangi, Ketidakseimbangan tersebut pada saatnya akan memusnahkan seluruh penghuni bumi dan menyeret manusia kepada kebinasaan. Dunia baru yang dijalin oleh rasa kasih sayang yang memancarkan kemakmuran penghuninya sebagaimana yang menjadi cita-cita bersama tidak akan bisa dicapai.

Sejak lama para ‘Arif Billah dan para Kekasih Allah mengamati dan mempedulikan perkembangan dan perputaran dunia dengan memposisikan dirinya sebagai ‘paku-paku’nya, dan menjadikannya sebagai ‘Tangan-tangan Kehendak Tuhan’. Hal ini bukanlah sebuah pilihan yang didasarkan atas keharusan dan keterpaksaan, tetapi merupakan buah hasil panen dari tanaman Mahabbah, Mukasyafah, Musyahadah dan Ma’rifah dengan pola Jalannya masing-masing.

Para Kekasih Allah jelas sangat mengerti bahwa yang dimaksud keseimbangan di sini adalah keseimbangan yang haq, bukan semata-mata hasil riset ataupun sensus yang didasarkan atas ulûmul basyariyyah annisbiyyah (ilmu-ilmu materi/ jasadiyah). Keseimbangan menurutnya adalah ‘tengah-tengah’ dan terletak pada “keadaan yang tidak terbatas”. Sabda Nabi SAW: “khairul umûri awsathuhã”. Artinya; sebaik-baik urusan adalah tengah-tengah.

Pada segala sesuatu pasti ada titik tengah, dan pada setiap titik tengah, pasti ada titik tengah yang kecil. Pada titik tengah yang kecil ada lagi titik tengah yang lebih kecil. Dan seterusnya sampai tidak ditemukan titik pada ‘tengah-tengah’. Lalu, apa hubungannya ‘tengah-tengah’ yang tiada bertitik, dengan dunia nyata dan kenyataan dunia?  Sosok ‘Arif Billah adalah jawabannya.

Sejarah Ringkas Thariqat Syatthariyyah

Thariqat Syatthariyyah adalah salah satu aliran thareqat mu’tabarah yang pertama kali muncul di Gujarat India pada abad ke 15. Thariqat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, yakni Abdullah asy-Syatthar.

Awalnya thariqat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bisthamiyah.

Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-‘Isyqi Al-Bisthami, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya thariqat Syatthariyyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Thariqat ini dianggap sebagai suatu thariqat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.

Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Thareqat ‘Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.

Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, lã ilãha (nafi) dan illallãh (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washithah (Mursyid). Istilah Syatthar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Thariqat Syatthariyyah ini. Syatthar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).

Namun karena popularitas Thariqat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah asy-Syatthar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan thareqatnya tersebut. Saat itulah terjadi perubahan nama dari Thariqat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Thareqat Syatthariyah sampai akhir hayatnya (1428).

Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Thariqat Syatthariyyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, Sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syatthari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Thariqat Syatthariyyah sebagai thariqat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaust dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri.

Muhammad Ghaust dari Gujarat yang mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syatthariyyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syeikh Wajihuddin (w.1609), Wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, thareqat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Thariqat Syatthariyyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.

Tradisi thariqat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Kemudian thariqat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia dengan berbahasa Arab oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan thareqat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).

Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Thariqat Syatthariyyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.

Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel, Aceh, yang kemudian berhasil mengembangkan Thariqat Syatthariyyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatthariyyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabiy, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Konon, Kitabnya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabiy yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri.

Murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai thariqat ini ketimbang thariqat-thariqat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, Tidak lama setelah kematiannya, Thariqat Syatthariyyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.

Abdul Rauf sendiri turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli thareqat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan thariqatnya.

Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya Seperti di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Syeikh Abdul Muhyi di daerah Pamijahan. Dari Jawa Barat, kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulawesi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Thareqat Syatthariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Syeikh Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).

Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa sejumlah cabang thareqat ini dapat ditemukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Thareqat ini, relatif dapat dengan mudah berpadu dengan berbagai tradisi setempat. Ia menjadi thareqat yang paling “mempribumi” di antara berbagai thareqat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syatthariyyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klassifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.

Thariqat Syatthariyyah di Tanah Jawa/Sunda

Thariqat Syatthariyyah yang berkembang di Tanah Jawa banyak memasukkan unsur kebathinan Jawa yang memang telah lebih dulu berkembang. Hal ini justru menjadi bumbu dan penarik kaum sufi di Indonesia. Bahkan para petapa dari Kerajaan Pajajaran, anak keturunan Sang Maha Prabu Siliwangi, setelah memasuki Islam mereka menganut Thareqat Syatthariyah. Seperti; Pangeran Cakrabuana, Nyi Mas Rarasantang (Ibunda Sunan Gunung Jati), Prabu Anom Kian Santang, Prabu Liman Senjaya Kusuma (yang lebih dikenal sebagai Sunan Cipancar yang makamnya berada di daerah Balubur Limbangan), Syeikh Syarif Hidayatullah (lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati) dan lain-lain.

Seiring perjalanan sejarah Nusantara dari zaman kerajaan, Penjajahan, Pra-Kemerdekaan dan Kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, ajaran-ajaran Thariqat Syathariyyah terus menyebar di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan lain-lain. Di Pulau Jawa, wilayah-wilayah penyebaran itu meliputi antara lain; Cirebon, Kraton Yogyakarta, Kraton Surakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di wilayah Kuningan Jawa Barat, ajaran Thariqat Syatthariyyah secara turun temurun dinasabkan kepada Kyai Muhammad K. Arjaen, Mursyid langsung dari Sesepuh Perguruan Thariqat Syatthariyah di Cibatu Garut Jawa Barat Kyai H. Derajat Asysyathari Al-Qodiri. Lengkap urutannya sebagai berikut: (1) Sunan Gunung Jati; (2) Sunan Wahdat; (3) Sunan Kalijaga; (4) Kyai Masdaka; (5) Kyai Murni; (6) Kyai Sepuh Ma’arif; (7) Kyai Massalkam; (8) Kyai Muhammad Abdu Syukur; (9) Kyai Muhammad K. Arjaen; (10) Kyai H. Derajat Asysyathari Al-Qodiri.

Ajaran Thariqat Syatthariyyah merupakan pegangan pokok kebatinan di Kesultanan Cirebon yang merupakan keturunan lahir Kanjeng Sunan Gunung Jati. Dari Sunan Gunung Jati yang merupakan murid dari Sulthon Danarasa inilah Thariqat Syatthariyyah berkembang melalui para Wali diantaranya Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga kepada pengikut-pengikutnya di Nusantara.

Salah satu penganut Thariqat Syatthariyyah adalah Prof Dr HAMKA yang ketika zaman merebut kemerdekaan mendirikan PEMSYI (Pemuda Syatthariyyah Indonesia) yang sama-sama bahu membahu berjuang menuntut kemerdekaan.

Aktualisasi Perguruan Thariqat Syatthariyyah

Di Kabupaten Garut, Perguruan (Peguron) yang mengajarkan Thariqat Syatthariyyah diberi nama Pasulukan Loka Gandasasmita yang tidak diambil dari nama Arab agar lebih terlihat kesundaan sehingga lebih mengakar kepada masyarakat di sekelilingnya.

Makna Pasulukan adalah tempat berkumpul para salik (murid yang menuju pada Tuhan), Loka artinya tempat, Gandasasmita bermakna meningkatkan kewaspadaan. Jadi secara keseluruhan makna Pasulukan Loka Gandasasmita adalah Tempat mengaji diri agar mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan tempat meningkatkan kewaspadaan pada tanda-tanda zaman sesuai dengan ajaran Wali Allah.

Demikianlah sejarah singkat Thariqat Syatthariyah yang hingga saat ini terus dikembangkan dengan melahirkan Muhibbullãh-Muhibbullãh yang menjaga kemakmuran bangsa dan rakyatnya dengan cinta kasih sayang.

Wallãhu Muwaffiq ilã Aqwãmith Tharîq…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *