Home / Agama / Kajian / Manusia Sejati: Rahib atau Manusia Biasa?

Manusia Sejati: Rahib atau Manusia Biasa?

“Oleh karena makan, minum, tidur, atau berhubungan seksual adalah hal-hal yang alamiah (“fitrah”) pada diri manusia, maka sebuah pengkhianatan besar jika keinginan-­keinginan tersebut dimatikan atau dikubur dalam-dalam dari sisi kehidupan manusia”.

Oleh: Mohammad Nurfatoni*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Istri ‘Utsman ibn Mazh’un bertandang ke rumah para istri Nabi SAW dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk. Maka mereka bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di kalangan kaum Quraisy orang yang lebih kaya dari suamimu!” la menjawab: “Kami tidak mendapat apa-­apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadat, dan siang harinya ia berpuasa!“

Mereka pun masuk kepada Nabi SAW dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi SAW pun menemui dia (‘Utsman bin Mazh’un), dan bersabda: “Hai ‘Utsman! Tidakkah padaku ada contoh bagimu?!” Dia menjawab: “Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian.” Lalu Nabi SAW bersabda: “Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadat) setiap malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.”

Nabi SAW bersabda: “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!”

‘Utsman ibn Mazh’un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat. Berita itu datang kepada Nabi SAW, maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya oleh Nabi SAW ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « يَا عُثْمَانَ، إِنَّ اللّٰهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ بِالرُّهْبَانِيَّةِ، وَإِنَّ خَيْرَ الدِّيْنِ عِنْدَ اللّٰهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ » .

“Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah hanifiyat al-samhah (semangat pencarian Kebenaran yang lapang).”

Berita sampai kepada Nabi SAW bahwa segolongan sahabat beliau menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan kami pun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan makan daging itu. Maka Nabi pun memberi peringatan keras, dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah hanifiyat al-samhah (semangat pencarian Kebenaran yang lapang).”

***

Makna apa yang terkandung pada hadits-hadits yang dikutip oleh Jamal al-Din Abu AI Faraj Abd-al-Rahman dalam kitabnya, Talbis Iblis, seperti dikutip Nurcholish Madjid dalam tulisan “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”?

Jika boleh disimpulkan, maka hakekat terpenting yang dapat dipetik dari hadits di atas ialah bahwa Nabi SAW (agama Islam) hendak menempatkan manusia, tentu, bukan hanya Utsman ibn Mazh’un, pada posisi kemanusiaannya. Bahwa manusia itu bukan malaikat, yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan bendawi (makan, tidur, atau berhubungan seksual).

Kecenderungan pada hal-hal bendawi ini sangatlah alamiah, terutama jika dikaitkan dengan salah satu unsur pembentuk manusia yang berasal dari materi (tanah) (QS. Al-Mukminun [23]: 12 dan QS. Al-Hijr [15]: 28). Unsur materi inilah yang dalam proses metabolisme tubuh (fisik) manusia membangunkan keinginan-keinginan­, bahkan kesadaran-kesadaran, bendawi manusia.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ ۞

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (yang berasal) dari tanah”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 12)

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ۞

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk”. (QS. Al-Hijr [15]: 28)

Misalnya, ketika kerongkongan kering, maka timbul kesadaran untuk minum; ketika lambung kosong, maka muncul kesadaran untuk makan; ketika badan lelah maka muncul kesadaran untuk istirahat (tidur), dan seterusnya.

Oleh karena makan, minum, tidur, atau berhubungan seksual adalah hal-hal yang alamiah (“fitrah”) pada diri manusia. Sebuah pengkhianatan besar jika keinginan-­keinginan tersebut dikubur dalam-dalam dari sisi kehidupan manusia. Maka Nabi SAW memperingatkan dengan keras kepada Utsman ibn Mazh’un, “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban”.

Ajaran kerahiban (rahbaniyyah/monastisisme), sangat ditentang oleh Islam karena kerahiban adalah bentuk pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan dengan fitrah manusia, dengan akibat pengingkaran hak kemanusiaan diri dan orang lain.

Istilah kerahiban sendiri dipakai karena dalam tradisi kerahiban (juga kependetaaan) dikenal perilaku sikap hidup menghindar dari dunia atau mengingkari pemenuhan kebutuhan alami atau biologis manusia, misalnya dengan tidak beristri, atau pada tingkat ekstrem tertentu melakukan pertapaan, sebagai simbolisasi atau usaha meninggalkan hiruk-­pikuk kehidupan dunia, yang dalam pandangan mereka hanyalah sebuah penderitaan.

Mereka (para rahib dan pendeta) berpandangan seperti itu karena hidup di dunia adalah penderitaan, dan penderitaan lahir karena keinginan-keinginan (bendawi: biologis dan alami), maka bunuhlah keinginan-­keinginan itu! Jangan beristri/bersuami, jangan makan-minum, jangan berdandan (berpakaian pantas), jangan bekerja!

Islam menolak keras sistem kerahiban. Allah SWT berfirman:

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ الْاِنْجِيْلَ ەۙ وَجَعَلْنَا فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَّرَحْمَةً ۗوَرَهْبَانِيَّةَ ِۨابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنٰهَا عَلَيْهِمْ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ رِضْوَانِ اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۚفَاٰتَيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْهُمْ اَجْرَهُمْ ۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ ۞

“Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada-adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik”. (QS. Al-Hadid [57]: 27)

Nabi Muhammad SAW sendiri, meskipun, sekali lagi, seorang Nabi, yang mulia dan suci, tetap menyandang sisi kemanusiaan. “Hai Utsman! Tidakkah padaku ada contoh bagimu?” kata Nabi SAW, seolah menegaskan betapa seorang Nabi SAW pun tetap bergelut dengan sisi-sisi kemanusiaan; beristri dan memberikan hak-hak istrinya; berbuka (tidak terus-menerus berpuasa), dan juga bisa tidur.

Jika Nabi SAW saja masih seperti itu, lantas manusia shaleh macam apa yang hendak diharapkan Utsman ibn Mazh’un; atau dengan kata lain Utsman hendak mencontoh siapa? Padahal, Nabi SAW adalah sebaik-baik teladan (QS. Al-Ahzab [33]: 21). Maka Nabi mengingatkan, “Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!”

Jadi, manusia itu bukan malaikat, bukan pula jin. Jangan pula jadi rahib dan pendeta. Tetapi, jadilah manusia sejati. Manusia yang memiliki kecenderungan alami; manusia yang dekat pada fitrahnya!

__________

* Source: pojokkata.co

About admin

Check Also

Meraih Rahmat dengan Fitnah

“Setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai ...