Home / Agama / Kajian / Thariqah, Mursyid, Murid dan Wirid

Thariqah, Mursyid, Murid dan Wirid

“Cara yang diprioritaskan untuk pencerahan umat dalam thariqah adalah hiwar (dialog) dan bukan jidal (debat), sebab jidal (debat) biasanya terjadi antara dua pihak yang saling bertentangan dan masing-masing bertujuan menjatuhkan pihak lawan, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah”.

Oleh: Dr. TGH. Abdul Aziz Sukarnawadi, M.A.*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sebagaimana diberitakan dalam majalah at-Tashawwuf al-Islami terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir edisi Januari 2006, Pertemuan Sufi V (al-Multaqa ash-Shufi al-Khamis) telah berlangsung sukses nan berkah di dar Thariqah Burhamiyah, Kairo binaan Syekh Muhammad Ali Asyur dan dihadiri ulama-ulama tasawuf serta mursyid-mursyid thariqah se-Mesir.

Pertemuan yang dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, Syekh Hasan Muhammad Said asy-Syinnawi itu mengupas tuntas definisi thariqah, urgensi syekh (mursyid), esensi murid (salik) serta hakikat wirid (amalan dalam) thariqah.

Dialog Versus Debat

Pertama-tama, disepakati oleh segenap peserta bahwa upaya memberikan pencerahan kepada umat seputar urgensi thariqah haruslah melalui dialog yang sejuk serta cara-cara yang santun dan jauh dari unsur-unsur hujatan maupun perdebatan panas. Cara yang diprioritaskan adalah hiwar (dialog) dan bukan jidal (debat), sebab jidal (debat) biasanya terjadi antara dua pihak yang saling bertentangan dan masing-masing bertujuan menjatuhkan pihak lawan, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah. Di dalam al-Qur’an, jidal (debat) digambarkan sebagai berikut:

هَٰأَنتُمْ هَٰؤُلَاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَن يُجَادِلُ اللّٰهَ عَنْهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ أَمَّنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلًا ۞ (النساء: 109)

“Beginilah kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (dari siksa Allah)?.” (QS. an-Nisa’ [4]: 109)

وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا ۞ (الكهف: 54)

“Dan manusia memang yang paling banyak membantah (mendebat).” (QS. al-Kahf [18]: 54)

Sedangkan hiwar (dialog) umumnya terjadi di antara dua sahabat yang saling menyayangi satu sama lain dan sama-sama mencari kebenaran dengan saling menghargai pendapat satu sama lain tanpa mengedepankan kepentingan pribadi dan steril dari intervensi hawa nafsu. Di dalam al-Qur’an, hiwar (dialog) digambarkan sebagai berikut:

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ ۞ (الكهف: 37)

“Kawannya berkata kepadanya sambil bercakap-cakap (berdialog) dengannya.” (QS. al-Kahf [18]: 37)

Makna Thariqah dan Hakikat Murid

Selanjutnya, para peserta mulai berdiskusi tentang definisi thariqah yang jelas, tepat sasaran dan komprehensif. Definisi yang dihasilkan oleh diskusi tersebut adalah sebagai berikut:

الطَّرِيقَةُ هِيَ دَعْوَةٌ إِلَى اللّٰهِ لِإِحْيَاءِ السُّنَّةِ وَنَبْذِ الْبِدْعَةِ السَّيِّئَةِ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ، وَلَهَا شَيْخٌ دِرْعُهُ وَسَيْفُهُ كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . وَوَاجِبٌ عَلَى الْمُرِيدِ طَاعَةُ شَيْخِهِ عِلْمًا بِأَنَّ طَاعَةَ الْمُرِيدِ لِشَيْخِهِ كَطَاعَةِ الْمَأْمُومِ لِلْإِمَامِ فِي الصَّلَاةِ لَا تَخْرُجُ عَنْ كَوْنِهَا طَاعَةً لِلّٰهِ تَعَالَى.

“Thariqah adalah seruan kepada Allah untuk menghidupkan sunnah dan mengikis bid’ah sayyi’ah dengan cara-cara yang penuh hikmah serta nasihat yang baik. Dan thariqah memiliki seorang syekh (mahaguru/mursyid) yang perisai maupun pedangnya adalah Qur’an dan Sunnah. Wajib atas seorang murid mentaati mursyidnya, sebagaimana wajibnya ketaatan seorang makmum kepada imam shalatnya, di mana hal itu tidak terlepas dari nilai ketaatan kepada Allah SWT.”

Berdasarkan perumpamaan murid dan guru dalam pengertian di atas, dapat dipahami bahwa seorang makmum ketika memutuskan diri untuk mengikuti seorang imam dalam shalat, maka shalatnya tidak hanya sah, tapi juga pahalanya berlipat ganda. Dan apabila ia menyimpang dari imamnya, maka shalatnya batal dan pahala ibadahnya menjadi luntur. Yang melipat-gandakan pahala makmum karena setia mengikuti imamnya tiada lain adalah Allah SWT. Karena Dialah tujuan utama dari ibadah berupa ‘mengikuti imam’ tersebut.

Dengan demikian, ketika seorang murid memilih untuk mengikuti seorang guru/mursyid, maka sesungguhnya ia melakukan hal itu murni atas dasar iradah (kehendak)-nya, sehingga disebutlah sebagai murid (yang berkehendak sendiri), karena ia tidak dipaksa oleh gurunya atau siapapun lainnya. Dan ketika ia telah mengambil keputusan untuk mengikuti gurunya, maka iapun berkewajiban untuk menjalankan apa yang telah ia komitmenkan itu, yakni mematuhi gurunya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:

ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلّٰهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ۞ (الزمر: 29)

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dalam perselisihan, dan seorang laki-laki yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki saja (mematuhi sepenuhnya satu orang mursyid saja); Adakah keduanya itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. az-Zumar [39]: 29)

Ayat di atas menunjukkan kewajiban seorang salik (murid) hanya boleh memiliki satu orang guru (mursyid) saja dalam bertarekat. Hal ini adalah bentuk komitmen bathin yang hanya terpaut kepatuhannya kepada satu orang. Karena bisa jadi, proses atau metodologi dalam penempaan bathin oleh seorang mursyid dengan mursyid lainnya berbeda satu sama lain. Jika salik memiliki guru (mursyid) lebih dari satu dalam saat yang bersamaan maka dapat dipastikan jiwanya akan terbelah dan fokusnya akan buyar.

Definisi Wirid

Sedangkan wirid/amalan di dalam thariqah dapat diartikan sebagai berikut:

كُلُّ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ عَادَةً كَانَ أَوْ عِبَادَةً يَتَكَرَّرُ بِانْتِظَامٍ بِأَعْدَادٍ ثَابِتَةٍ أَوْ هَيْئَةٍ فِي مَوَاقِيت مُحَدَّدَةٍ .

“Setiap perkataan (bacaan) ataupun perbuatan, baik tradisi maupun ibadah, yang diulang-ulang secara teratur dengan jumlah yang tetap ataupun dengan tata cara khusus di waktu-waktu tertentu.”

Tupoksi dan Urgensi Mursyid

Selanjutnya, seorang peserta yang juga menjadi mursyid sebuah thariqah terkemuka menyajikan sebuah perumpamaan cemerlang nan penuh makna guna mendekatkan pemahaman. Pihaknya membuat perumpamaan karena terinspirasi oleh firman Allah SWT:

وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۞ (النور: 35)

“Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk umat manusia.” (QS. an-Nur [24]: 35)

إِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللّٰهُ بِهَٰذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفاٰسِقِينَ ۞ (البقرة: 26)

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (QS. al-Baqarah [2]: 26)

Perempumaan dimaksud ialah sebagai berikut: Bayangkan sebuah jalan panjang terbentang di antara dua buah kebun yang subur. Di permukaan jalan tersebut beriring-iringan sekelompok domba yang tentu saja mengidamkan tumbuhan-tumbuhan sekitar. Hanya saja, sang penggembala menghalangi domba-domba itu untuk sembarangan menjamahnya. Pasalnya, penggembala tidak ingin berurusan panjang dengan para pemilik kebun bila pasukan dombanya berulah di sana. Sebetulnya penggembala juga melindungi domba-dombanya dari racun-racun hama yang barangkali telah disemperotkan ke tanaman-tanaman tersebut. Baik juga hati si penggembala.

Sayang seribu kali sayang, si penggembala mengantuk tiba-tiba, lalu melalaikan domba-domba peliharaannya itu seraya tertidur pulas di bawah pohon rindang. Apa yang terjadi? Dapat dipastikan bahwa domba-domba itu mulai berpencar ke kebun-kebun sekitar untuk melahap bahkan merusaknya. Maka berdatanganlah sejumlah manusia dari berbagai penjuru, konon untuk mengembalikan domba-domba itu ke jalan yang lurus. Niat mereka hendak menyelamatkan kebun-kebun dan juga domba-domba, namun sayangnya apa yang terjadi? Mereka justru turut memperparah kerusakannya. Selain tidak berpengalaman, mereka juga tidak mengerti tentang cara memperbaiki yang sebenar-benarnya!.

Syukur saja, hadir seorang pria gagah yang berakal sehat lagi bijaksana. Ia bertanya-tanya: “Apa yang kalian lakukan?.”

“Mengembalikan domba-domba ini ke jalan yang lurus demi menyelamatkan kebun-kebun ini,” sahut mereka.

“Tidak seperti ini caranya,” balasnya.

Iapun bersegera membangunkan si penggembala dari tidurnya, kemudian si penggembala pun seketika mengembalikan domba-dombanya ke jalan, hanya dengan satu siulan saja. Tanpa bersusah-payah mengejar kesana-kemari, apalagi sampai ikut menginjak-injak tanamannya.

Perumpamaan di atas menggambarkan bahwa kebun-kebun hijau tersebut adalah larangan-larangan Allah atau perkara-perkara yang telah diharamkan-Nya. Sementara, domba-domba tersebut adalah anggota tubuh manusia; tangan, mata, lidah dan lain-lain. Sedangkan si penggembala adalah hati yang menaklukkan seluruh anggota badan dan menghalanginya dari melakukan apa-apa yang dilarang, meski hijau (menarik) dipandang mata. Adapun sekelompok manusia yang berlari-lari mengejar domba sambil menginjak tanaman itu adalah para penceramah yang mengira ceramahnya dapat menyembuhkan penyakit dan luka.

Para penceramah itu bukannya tidak berguna, tetapi mereka lebih cocok untuk upaya-upaya preventif semata. Tugas mereka menasihati, menyarankan ataupun melarang guna mencegah sebuah kemunkaran, tapi bukan menyembuhkan atau mengubah fakta yang sudah menjadi fenomena. Menyembuhkan itu tugasnya dokter-dokter spesialis, sebagaimana memperbaiki hati manusia dan mengubah keadaannya itu tugasnya wali mursyid yang telah dianugerahi Allah kemampuan luar biasa. Dan itulah dia orang yang datang membangunkan si penggembala. Ia tidak sibuk mengurusi domba-domba liar dan tidak pula bingung meratapi perilaku para pendakwah yang ternyata ikut memporak-pranda!.

Sungguh, perumpamaan di atas sepenuhnya terinspirasi dari sebuah hadits shahih yang berbunyi:

إنَّ الْحَلَالَ بيِّنٌ وإنَّ الْحَرَامَ بيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللّٰهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ  (متفق عليه)

“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-nya. Barangsiapa menghindari perkara syubhat (perkara yang samar-samar), maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa jatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar-samar), maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki larangan (undang­-undang). Ingatlah, bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian maka tugas pokok dan fungsi seorang syekh murabbi selaku mursyid sejati adalah membangunkan hati yang tertidur lelap dalam kelalaian, sehingga seluruh anggota badan terpanggil oleh hati untuk setia di jalan yang lurus. Seorang mursyid juga bertugas menyatukan hati dengan zikir isim mufrad (“Allah”) sebagai manifestasi dari firman Allah SWT:

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللّٰهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۞ (الأنفال: 63)

“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi (zikir isim mufrad) “Allah” yang mempersatukan hati mereka.” (QS. al-Anfal [8]: 63)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa setiap manusia adalah banyak berbuat dosa. Sementara, hamba yang penuh dosa karena kelalaian serta keterlelapan hatinya tentu tidak kuasa menaklukkan anggota-anggota badannya.

Oleh sebab itu, setiap hamba tentu memerlukan seorang mursyid guna membangunkan hati hingga tertakluklah segenap raga. Mereka yang membangunkan hati itu disebut tawwabun, yakni orang-orang yang menyebabkan para hamba menjadi bertaubat dengan sebenar-benarnya.

Dan apabila mendatangi seorang dokter untuk berobat adalah suatu kewajiban, maka terlebih mendatangi seorang mursyid untuk mengobati hati adalah fardhu ‘ain, karena setiap penyakit pasti ada obatnya. Datangnya seorang murid kepada mursyid tidak ubahnya dengan datangnya seorang pasien kepada dokter. Sama-sama wajib untuk tujuan memperoleh kesembuhan dari penyakit-penyakit yang mematikan, baik mematikan badan, lebih-lebih yang mematikan hati. Dan karena seorang pasien akan menerima obat dari dokter, maka begitu pula seorang murid (salik) akan menerima obat hati dari mursyidnya berupa wirid, hizib, shalawat dan amalan-amalan lainnya.

Diterangkan pula bahwa hidayah sesungguhnya berada di tangan Allah, dan seorang mursyid tidaklah membawa ajaran baru di dalam agama. Ia juga tidak menambahkan apapun, karena Islam adalah agama yang telah sempurna. Namun peran mursyid di sini adalah menyampaikan hidayah Allah kepada umat dengan petunjuk Rasul-Nya.

Perumpamaannya kira-kira sebagai berikut: Ada seorang pengusaha yang mendirikan sebuah rumah sakit. Orang itu kemudian duduk di pintu gerbangnya dan menyediakan tiket-tiket atau karcis-karcis khusus bagi setiap pasien yang hendak berobat. Tiket/karcis itupun dibawa masuk ke dalam rumah sakit oleh tiap-tiap pasien hingga menemui petugas registrasi yang akan mengarahkan mereka ke ruangan-ruangan dokter untuk menjalani pemeriksaan sekaligus pengobatan. Nah, tidaklah dokter-dokter itu yang menarik para pasien memasuki rumah sakit, dan tidak pula petugas registrasi yang berdaya melakukannya, melainkan pemilik rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan itulah yang mempersilahkan ataupun mengizinkan mereka memasukinya. Tanpa si pemilik tersebut dan tanpa rumah sakit yang dibangunnya itu, maka tidak akan ada pasien yang tertangani penyembuhannya.

Pemilik rumah sakit di atas adalah perumpamaan kehendak Ilahi yang mutlak nan agung. Sedangkan petugas registrasi yang mengantarkan setiap pasien ke masing-masing dokter adalah perumpamaan Baginda Rasulullah SAW. Adapun dokter-dokter spesialis yang menunggu di setiap ruangan dan siap menangani pasien hingga tuntas adalah perumpamaan para mursyid thariqah yang siap menyembuhkan hati dari bermacam penyakitnya. Tidaklah mursyid itu yang berdaya memasukkan pasien ke ruangannya, dan tidak pula Baginda Nabi yang berwenang atas itu sepenuhnya, melainkan kehendak Allah lah penentu segalanya, dan kehadiran para murid itu tiada lain atas iradah-nya namun dengan izin serta hidayah-Nya SWT.

Pada pintu gerbang rumah sakit tersebut bertuliskan:

قُلْ إِنَّ الْهُدَىٰ هُدَى اللّٰهِ ۞ (آل عمران: 73)

“Katakanlah sesungguhnya hidayah adalah hidayah Allah” (QS. Ali Imran [3]: 73).

Sedangkan di meja registrasi bertuliskan:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ۞ (الشورى: 52)

“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memberi hidayah ke jalan yang lurus” (QS. asy-Syura [42]: 52).

Adapun di tiap-tiap pintu ruangan dokter bertuliskan:

لِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ ۞ (الرعد: 7)

“Bagi setiap kaum ada pemberi hidayah” (QS. ar-Ra’ad [13]: 7).

Artinya, ketika Allah menghendaki hidayah bagi seorang hamba, maka Rasulullah SAW-lah yang bertugas mempertemukannya dengan seorang wali mursyid, sementara hamba yang disesatkan-Nya tidak dapat dipertemukan oleh beliau dengan serang wali mursyid. Hal ini telah ditetapkan Allah dalam firman-Nya:

مَنْ يَهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا ۞ (الكهف: 17)

“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau (hai Muhammad) tidak akan menemukan baginya seorang wali mursyid (untuk menghidayahinya).” (QS. al-Kahf [18]: 17)

Pada akhirnya, seorang hamba yang betul-betul mengharap hidayah serta petunjuk keselamatan, maka hendaklah ia memasang niat dengan sungguh-sungguh untuk menempuh jalan agung menuju Allah, sehingga Allah pun membukakan baginya jalan bertemu dengan seorang wali mursyid yang bakal menuntun hidupnya. Pasalnya, diperlukannya seorang penuntun jalan menandakan bahwa perjalanan yang akan ditempuh cukup berbahaya serta penuh rintangan. Benar apa yang dikemukakan leluhur sufi terdahulu bahwa:

وَمَنْ لَمْ يَكُنْ خَلْفَ الدَّلِيلِ مَسِيرُهُ كَثُرَتْ عَلَيْهِ طَرَائِقُ الْأَوْهَامِ .

“Dan barangsiapa berjalan tanpa tuntunan seorang penunjuk jalan, maka banyaklah jalan-jalan kebimbangan yang akan dilaluinya.”

Alhasil, kehidupan yang paling aman nan tenteram adalah ketika bersama para wali, sebab “tiada ketakutan atas para wali dan tiada pula mereka bersedih. Mereka beriman serta bertakwa, dan sungguh mereka lah (pembawa) kabar gembira sepanjang hidup di dunia maupun kelak di akhirat.” (QS. Yunus: 62-64) Dengan tuntunan para wali, maka ridho Allah dapat diraih dengan pasti, sebab “Allah telah meridhoi mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 8)

Pertemuan Sufi V pun berakhir cukup hening setelah ditutup dengan pembacaan ayat-ayat berikut:

إِنَّ هَٰذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا ۞ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللّٰهُ إِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ۞ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ۞ (الإنسان: 29-31)

“Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya ia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya, dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.” (QS. al-Insan [76]: 29-31)

___________

  • Sumber Primer: Majalah at-Tashawwuf al-Islami, terbitan Majelis Sufi Tertinggi Republik Arab Mesir, edisi Januari 2006.
  • Sumber Skunder: Jatman
  • Penulis merupakan Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur

 

About admin

Check Also

Lebaran dan Kaum Kebatinan

“Tradisi lebaran yang konon hanya ada di Nusantara adalah sepotong waktu yang dapat menaikkan atau ...