Oleh: Andi Eka Putra, M.A.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Abstrak
Perkembangan tafsir di kalangan kaum sufi cukup beragam. Kini ada dua model tafsir sufi, tafsir sufi nadzhari dan tafsir sufi isyari. Baik tafsir sufi nadzhari maupun tafsir sufi isyari keduanya bercorak sufistik, atau tafsir yang sering digunakan kaum sufi untuk memahami Al-Qur’an. Bedanya adalah: kalau tafsir sufi nadzhari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
Kata kunci: tasawuf, metodologi, tafsir nadzhari, tafsir isyari
A. Pendahuluan
Al-Qur’an yang merupakan bukti atas kebenaran Nabi Muhammad, dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia khususnya umat Islam. Al-Qur’an mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang membedakannya dari kitab-kitab suci lainnya. Para ulama atau manusia dalam setiap tempat dan waktu dituntut untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Usaha-usaha para ulama untuk memahami al-Qur’an tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah tafsir.
Tafsir adalah alat atau cara untuk memahami sesuatu. Karena cara untuk memahami sesuatu itu begitu beragam, maka tafsir pun juga sangat beragam. Tafsir bermanfaat sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, yang merupakan suatu hasil ijtihad yang sifatnya subjektif. Karena sebuah tafsir sangat besar sekali dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah karya tafsir.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata bahasa Arab. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan pengetahuan.
Adonis pernah mengatakan, kita tidak dapat menangkap hakikat yang tersembunyi hanya melalui akal dan wahyu, sebab hakikat tidak terdapat dalam aspek lahir teks, tetapi harus melalui interpretasi terhadap teks dengan cara mengembalikan pada sumbernya dan dengan cara menyingkapkan makna hakikinya. Interpretasi itu sendiri terkait dengan orang yang mengetahui (‘arif), yang mampu menangkap makna yang batin.[1]Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Volume I, terj. Khairon Nahdiyyin, LKiS, Yogyakarta, 2007, hlm. 132
Oleh karena itu, dari perspektif sufi, agama bergerak ke arah yang tiada batas. Perbedaan antara agama dalam perspektif fiqh-literalis dengan agama dalam perspektif batini-sufi bagaikan perbedaan antara air yang memancar di bagian dalam laut, atau bagaikan perbedaan antara bayangan dengan asal, dahan dengan batang.
Tafsir adalah alat atau cara untuk mendekati teks. Dalam konteks kitab suci Al-Qur’an, tafsir sufi dapat menjadi sarana untuk memahami pesan dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an karena kitab ini memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak, dengan demikian ayat selalu terbuka untuk ditafsirkan, tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.[2]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 65. Bandingkan juga Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terj. Afif Muhammad, Pustaka Hidayah, Bndung, 1996, hlm.84
Namun terdapat beragam corak penafsiran. Adanya corak-corak penafsiran yang beragam merupakan bukti akan kebebasan penafsiran Al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan, dan yang lainnya.
Dalam tulisan ini akan dibicarakan corak tafsir dalam kajian tasawuf, yaitu dua aliran tafsir sufi yang dikenal dengan istilah tafsir sufi nadzhari dan tafsir sufi isyari. Di samping itu, penulis akan mengkaji corak dan karakteristik kedua tafsir sufi itu.
B. Corak Tafsir Sufi
Sufi adalah nama bagi para pengamal ajaran tasawuf. Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang dikenal luas di dunia Timur dan Barat, tasawuf juga mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam Al-Qur’an ataupun hadits Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.[3]Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjauh dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 8
Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama.
Al-Zahabi membenarkan bahwa praktek tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.[4]Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H, hlm. 7
Pada angkatan berikutnya, yaitu pada abad ke-2 H. dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum shufiyyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.).[5]Ibid., hlm. 9, bandingkan Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 79
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang sufistik. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya tafsir produk ulama sufi, namun corak tafsir sufi masih sering dicurigai secara berlebihan oleh para pengikut aliran lain.
Corak tafsir sufi terlampau menekankan makna batin dan sering dianggap mengabaikan makna lahir. Corak tafsir sufi semacam ini lebih dekat dengan tafsir simbolik, yaitu tafsir yang berusaha menguak hakikat dasar sebuah makna di balik teks atau nash.[6]Seyyed Hoesin Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hdi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1984, hlm. 48
Di antara karya tafsir ulama sufi yang paling terkenal adalah al-Futuhat karya Ibn al-‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya al-Tustari dan Haqaiq al-Tafsir karya al-Salami.[7]Titus Burchardt, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar Effendi dan Azyumardi Azra, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 17
C. Karakteristik Tafsir Sufi
Dalam metodologi penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang mufassir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karakteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.
Karakteristik tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Dari kecenderungan gerakan tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nadzhari dan tafsir sufi Isyari.
1. Tafsir Sufi Nadzhari
Tafsir Sufi al-Nadzhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir menekankan makna yang tidak terikat, terutam jika berkaitan dengan tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia.
Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadzhari dalam prakteknya adalah pensyarahan Al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.[8]Ignas Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, Baerut Libanon: Dar Iqra’, 1983 M/1403 H, hlm. 31.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nadzhari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadzhari yang menyandarkan beberapa teori-teori tasawufnya dengan Al-Qur’an.[9]Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990, hlm. 137 Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush al-Hikam.[10]Titus Burchardt, Op.Cit. hlm. 129
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan.[11]Kautzar Azhari Noor, Ibn Arabi: Fantaesme dan Wujud, Paramdina, Jakarta, 1995, hlm. 45
Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ۞
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti doa’ yang lazim kita pakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
Kedua, yaitu ayat 115 dari surat Al-Baqarah:
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ۞
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Dalam keterangan dijelaskan, kata “di situlah wajah Allah” maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam. Sebab itu, di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
Kaum sufi yang menganut tafsir sufi nadzhari menafsirkannya dengan “di mana saja Tuhan ada”, dan “di mana saja Tuhan dapat dijumpai”. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimasi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an telah keluar dari madlul (obyek petunjuk dalil) ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah (petunjuk dalil) ayat.[12]Al-Zahabi, Muhammad Husein, Op.Cit, hlm. 108
Namun, menurut Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya yang kemudian dibukukan, Ibn ‘Arabi tidak menyimpang. Ia masih dalam garis-garis yang ditetapkan oleh Islam. Bahwa paham wahdat al-wujud-nya sama sekali tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan manusia dengan Tuhan.[13]Kautsar zhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 345
Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya di antaranya, ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ۞ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ ۞
“Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku!”
Wadkhulî jannatî, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sendiri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk ke dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yang ada di dalam dirimu. Dengan perkataan lain, bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga adalah Hamba.
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karakteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadzhari yang dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadzhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nadzhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam:
وَّرَفَعْنٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا ۞
“Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.”
Tapi menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat alam yaitu dengan menafsirkan lafadz makãnan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir al-Nadzhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak. Dengan perkataan lain, mengqiyaskan yang gaib dengan sesuatu yang nyata.
Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.[14]Muhammad Abid Al-Jabiri, Op.Cit., hlm. 66
Kelihatannya apa yang dimaksud tafsir sufi nadzhari adalah tafsir yang berdasarkan pada penafsiran berdasarkan takwil, yang berbeda dengan tafsir. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nadzhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nadzhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara eksoterik karena terlampau menekankan yang esoterik. Padahal keseimbangan keduanya amat dibutuhkan, tapi tafsir sufi nadzhari tampak hanya menekankan makna batin di atas makna lahir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyãrah atau tafsir isyari adalah pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufi tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa Al-Qur’an mencakup apa yang dzhahir dan batin. Makna dzhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat, sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat (Isyãrah) yang ada di balik makna tersebut.[15]Jalaluddin rakhmat, Tafsir Sufi Surat l-Fatihah, Rosda Krya, Bandung, 1999, hlm. Vii-xix
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Al-Sulami dan Ibn Arabi adalah bintang cemerlang dalam dunia tasawuf, tapi dalam hal ini keduanya tampak masih berhaluan nadzhari. Kedua sufi inilah yang berjasa melahirkan keragaman tafsir sufi beserta corak dan karakteristiknya masing-masing.
Penafsiran nash Al-Qur’an yang hanya melihat dzhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Keseimbangan sangat ditekankan dalam tafsir ini.
Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’y atau akal.
Menurut hemat penulis, metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyãrah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya secara batin.
Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode Isyãrah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Sementar Jalaluddin Rakhmat sendiri secara tegas membedakan antara tafsir dan takwil.
Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufassir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
- Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna dzhahir.
- Harus ada nash (ayat lain) yang menguatkannya.
- Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
- Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makna dzhahir.[16]Titus Burchard, Op.Cit., hlm. 118
Al-Zahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzhari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut:
Pertama, Tafsir sufi nadzhari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
Kedua, dalam tafsir sufi nadzhari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang ada di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari, asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain, bahwa al-Qur’an terdiri dari makna dzhahir dan makna batin.
D. Penutup
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistemologi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerjanya terdapat konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an seperti makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.
Berdasarkan corak dan karakteristiknya, tafsir sufi nadzhari dan tafsir sufi isyari tampak memiliki perbedaan. Kalau tafsir sufi nadzhari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin dan mengabaikan makna lahir, sementara tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik.
Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Filsafat. Jakarta: Paramadina, 1996.
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995
Mustaqim, Abdul. Pembuatan Buku Daras Madzahib at-Tafsir. Yogayakarta: Fakultas Ushuliuddin IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2001.
Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
——–Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI-Press, 1986.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 2002.
Goldziher, Ignaz. Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar. Baerut Libanon: Da>r Iqra’, 1983 M/1403 H.
Yafie, Alie. “Syariah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah”, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontektualisai Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Al-Jabiri, M. Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.
Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H.
_________________