بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
14. Nur Muhammad Dalam Kitab Tafsir al-Qurthubi
Imam al-Qurtubi adalah salah satu mufassir yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusiy. Beliau dilahirkan di Andalusia, Spanyol 1214 H. Ia banyak melahirkan beberapa karya yang menjadi rujukan ulama setelahnya. Karya monumentalnya dalam bidang tafsir adalah Tafsîr al-Jãmi’ li Ahkãm Al-Qur’ãn. Tafsir ini tidak banyak menyinggung sejarah dan kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tapi lebih dominan manyajikan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam.
Untuk ber-istimbãth (menggali) sebuah hukum, selain menukil dari nash-nash hadits Nabi, sahabat, tabi’în, komentar ulama, dan aspek linguistik, Imam al-Qurtubi juga kadang menguraikannya lewat perbedaan qirã’at Al-Qur’ãn. Dalam menguraikan perbedaan qirã’at Al-Qur’ãn, Imam al-Qurtubi tidak hanya menguraikan qirã’at mutawãtirah (bacaan yang diriwayatkan banyak perawi) saja, tapi juga qirã’at syãdzah (bacaan langka). Sebab menurut sebagian ulama, qirã’at syãdzah memiliki kedudukan sebagai hujjah (argumentasi) dalam penafsiran Al-Qur’an. Meskipun demikian, ulama sepakat bahwa qirã’at syãdzah tidak diperhitungkan ke-qur’an-annya.
Metode menafsirkan Al-Qur’an melalui perbedaan qirã’at merupakan salah satu metode yang banyak digunakan oleh para mufassir. Dalam hal ini, jika menafsirkan Al-Qur’an dengan qirã’at mutawãtirah, yang notabene sebagai Al-Qur’an, maka hal tersebut disebut metode bil-ma’tsûr, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Namun jika menafsirkan Al-Qur’an dengan qirã’at syãdzah, maka kedudukannya seperti menafsrikan Al-Qur’an dengan hadits Ahad (Sya’ban Muhammad Ismail, Al-Qirã’at Ahkãmuhã wa Mashdaruhã [Kairo Dar al-Salam], 2010. hal, 122-124).
Di dalam Alquran, Allâh SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nûr)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:
اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞
“Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu”, (QS. An-Nûr [24]: 35).
Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir RA. yang dimaksud “Nûrihî” dalam ayat ini adalah Nûri al-Muhammadi, Nur Muhammad, (Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 259). Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan: “Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allâh SWT untuk Nabi-Nya SAW; al-misykãh adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujãjah adalah Qalbu (rohani)-nya, sedangkan al-Mishbãh adalah nubuwat”, (Tafsir al-Bughawi, juz 3, halaman: 346).
Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar RA. yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir: “al-misykãh adalah rongga dada (jasmani) Muhammad SAW, al-zujãjah Qalbu (rohani)-nya sedangkan al-Mishbãh adalah nur yang ada di dalam Qalbunya”, (Majma al-Zawaid, juz 7, halaman:83, al-Mu’jam al-Awsath, juz 2, halaman: 235, al-Mu’jam al-Kabir, juz 12, halaman: 317, Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 263, Fath al-Qadir, juz 4, halaman: 36).
Cahaya (nur) yang ada dalam kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk di dalamnya Alquran yang juga disebut dengan cahaya (nur) yang diturunkan ke dalam qalbunya
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُوراً مُّبِيناً ۞
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Alquran),” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 174)
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ۞
“Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Alquran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman“, (QS. Al-Baqarah [2]: 97).
Nur Muhammad tersebut merupakan cahaya Allâh ada di bumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada di sisi Allâh sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:
“Cahaya (Allâh) di atas cahaya (Muhammad); Allâh menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”
Maksudnya adalah bahwa cahaya Allâh berhubungan langsung dengan cahaya Muhammad, karena pada hakikatnya cahaya Allâh dan cahaya Muhammad adalah satu, dan di tempat lain digambarkan sebagai tali Allâh SWT yang harus dipegangi kuat-kuat.
Dalam kaitan ini, Allâh SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ۞
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk“, (QS. Ali Imrân [3]: 103).
Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan di sini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nûr) Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, di samping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّن رَّبِّهِ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ۞
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”, (QS. Al-Zumar [39]: 22).
Imam al-Qurthubi mengutip sebuah Hadits yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang? Rasulullâh SAW menjawab: Jika cahaya (Nur) itu masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullâh SAW menjawab: Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya, (Tafsir al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam Alquran), juz 15, halaman: 247).
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
Allãhumma shalli wa sallim ‘alã Nûril Anwãr.
____________
Source: Dari berbagai sumber