Oleh: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Secara kata, Wirid artinya haus, dahaga, mendatangi air untuk meminumnya dan menghilangkan dahaga. Sedang secara istilah, wirid adalah kumpulan doa yang dibaca rutin tiap hari, yang mengandung permohonan tertentu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang diucapkan berulang-ulang setiap hari, dengan bilangan tertentu dan waktu tertentu.
Bacaan wirid yang disusun para ulama sangat beragam, dengan unsur bacaan ma’tsurat (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits) dan ghairu ma’tsurat (bacaan doa yang disusun oleh ulama-ulama salaf dan para awliya‘) dan lainnya.
Ahli Wirid
Ahli wirid bisa meningkat ke jenjang lebih tinggi ketika mulai merasakan suasana batin melalui penghayatan terhadap makna dan tujuan wirid. Jika ahli wirid sudah sampai di maqam terbaik, Syaikh Ibnu `Athaillah As-Sakandari rahimahullah memesankan; “Jangan kita menganggap rendah hamba yang mengamalkan wirid dan ibadah tertentu karena keduanya memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah.”
Warid
Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari juga berkata:
اِذَا رَأيتَ عَبْدًا اَقَامَهُ اللّٰهُ تَعَالَى بِوُجُوْدِ الْاَوْرَادِ وَأدَامَهُ اللّٰهُ عَلَيْهَا مَعَ طُوْلِ الْأَمْدَادِ فَلَا تَسْتَحْقِرَنَّ مَامَنَحَهُ مَوْلَاهُ لِاَنَّكَ لَمْ تَرَ عَلَيْهِ سِيَمَا الْعَارِفِيْنَ وَلَا بَهْجَةَ الْمُحِبِّيْنِ فَلَوْلَا وَارِدٌ مَا كَانَ وِرْدٌ
“Jika engkau melihat seseorang yang ditetapkan oleh Allah dalam menjaga wiridnya, dan sampai lama tidak juga menerima karunia [keistimewaan] dari Allah (warid), maka jangan engkau rendahkan [remehkan] pemberian Tuhan kepadanya, karena belum terlihat padanya tanda orang arif, atau keindahan orang yang cinta pada Allah, sebab sekiranya tidak ada warid [karunia Allah], maka tidak mungkin ada wirid.”
Orang yang konsisten mengamalkan wirid dan sudah sampai ke tingkat penghayatan lebih mendalam terhadap wiridnya, wirid itu berangsur-angsur melahirkan warid. Warid ialah efek positif yang lahir dari pengamalan wirid secara istiqamah. Ibnu `Athaillah menyebut warid itu sebagai pemberian dan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berupa petunjuk, cahaya ilahi, dan kesenangan batin di dalam bertaqarrub kepada-Nya.
Wirid berhubungan sangat erat dengan istilah warid. Warid adalah hidayah yang diturunkan dalam hati seseorang tanpa diminta. Warid adalah pengalaman rohani (pengalaman spiritual) yang dikurniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hati murid yang mengekali wiridnya. Orang yang melalaikan wirid tidak akan mendapat warid.
Dengan adanya warid ini, maka keyakinan yang ada di hati akan meningkat derajatnya menjadi ‘Ainul Yaqin hingga ke derajat Haqqul Yaqin. Karena dia sudah membuktikan dengan pengalamannya sendiri mengenai dahsyatnya wirid tsb.
Mendapatkan Warid
1. Warid yang muncul pada ahli wirid berupa hamba merasa ringan dalam menjalankan ketaatan dan beribadah karena sudah merasa lebih dekat ke hadirat-Nya.
2. Warid yang muncul pada ahli wirid berupa hamba sudah merasakan puncak keikhlasan dan sudah mampu melepaskan diri dari tujuan apapun selain hanya kepada Allah SWT.
3. Warid yang muncul pada ahli wirid berupa kekuatan untuk melepaskan diri dari sifat-sifat wujud yang terbatas (sempit) untuk kemudian menyaksikan kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak terbatas.
Orang yang hatinya telah didatangi warid, akan mengalami perubahan yang luar biasa. Jiwanya akan berasa tenang dan fikirannya tidak lagi kusut-masai. Dia dapat merasakan kelazatan beribadat dan berdzikir. Warid yang masuk ke dalam hati, menghancurkan sifat-sifat yang keji dan melahirkan sifat-sifat yang terpuji.
Pengarang kitab Al-Qirthas Syarhu Ratibulal ‘Aththas, Al-Imam Al-Quthb Shohibul Masyhad Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas Ba’alawi rahimahullah (wafat 1172 H / 1758 M) mendefinisikan warid sebagai sesuatu yang datang kepada bathin seorang hamba, yang terdiri dari perasaan yang amat halus, cahaya, sirr (rahasia), dan kasyaf (penguakan akan tabir-tabir), hingga hatinya merasa lapang, tenang, bermandikan cahaya Ilahiyah dan rahasia-Nya.
Menurut Ibnu `Athaillah, wirid paling tinggi ialah “Allah memberimu warid untuk melepaskanmu dari penjara wujudmu ke alam syuhud (penyaksian).”
اَوْرَدَ عَلَيْكَ الْوَارِدَ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُوْدِكَ اِلٰى فَضَآءِ شُهُوْدِكَ
Warid ini sudah sampai ke tingkat penyingkapan (maqam syuhud atau mukasyafah). Jika seseorang sudah sampai di maqam ini, ia meraih ketenangan batin dan sudah terbebas dari teriakan atau bisikan dunia. Kalaupun sempat, ia segera kembali.
Orang-orang yang sudah memperoleh warid dengan sendirinya orang itu memiliki kepribadian zuhud, dalam arti tidak lagi akan didikte oleh kepentingan dunia. Dia sudah diberi kemampuan untuk memilki dirinya sendiri tanpa bergantung pada kekuatan makhluk. Baginya, cukup dengan kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
__________
- Khodim Jama’ah Sarinyala
- Source: Laduni.Id