Home / Agama / Kajian / Perjalanan Spiritual Imam Ghazali Menemukan Guru Tarekat
Ilustrasi Imam Ghazali

Perjalanan Spiritual Imam Ghazali Menemukan Guru Tarekat

Oleh: Sholih Al-Jawi

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Imam Ghazali berkata dalam salah satu kitabnya, Ayyuhal Walad:

وَلَابُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ شَيْخٍ يُؤَدِّبُهُ وَيُرْشِدُهُ إِلَى سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى .

“Wajib bagi salik mempunyai Syaikh yang mendidik dan menunjukkannya pada jalan Allah Taala.”

Hal ini menegaskan betapa pentingnya mempunyai seorang guru yang bisa mengantarkan seseorang kepada jalan Allah. Sekalipun Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis bahkan tidak sedikit yang menjadi pedoman bagi umat Islam seperti Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumuddin, namun ia tidak mencukupkan dengan membaca kitab-kitabnya tersebut, akan tetapi ia mengharuskan adanya peran seorang guru salik (tarekat) yang mampu membimbing ke jalan Allah.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah siapa guru salik dari Imam Ghazali?

Memang hal ini tidak banyak dibicarakan oleh para ulama, sampai akhirnya saya mencari di beberapa biografi sang imam dan menemukannya dalam kitab Siyar A’lamain Nubala karya adz-Dzahabi dan Thabaqat Syafi’iyah Kubra karya Taj As-Subki.

Imam Ghazali lahir di Thus dengan nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ia belajar agama di Thus sejak kecil kepada Imam Ar-Radzakni, lalu ia berangkat ke Naisabur untuk berguru kepada Imam Haramain.

Berkat kecerdasan dan kesungguhannya, ia dapat mengungguli teman-temannya dan dalam waktu yang singkat, ia dapat menguasai semua pelajaran yang diajarkan gurunya tersebut. Dari sini, ia dianggap santri paling alim selain kepiawaiannya dalam berbicara dan berdebat sampai akhirnya banyak santri-santri yang berguru kepadanya.

Setelah itu, ia menuju ke Askar untuk menghadap kepada wazir yang bernama Nidhamul Mulk, sang wazir menyambut hangat Al-Ghazali terlebih setelah ia menyaksikan sendiri kepiawaian Al-Ghazali ketika berdebat dengan para tokoh ulama.

Namanya semakin berkibar, sehingga ia diangkat oleh sang wazir sebagai pengajar Madrasah Nidhamiyah di Baghdad pada usia 30 tahun. Di era ini ia mengarang berbagai kitab di bidang ushul, fikih, kalam dan hikmah.

Orang-orang semakin takjub dengan kecerdasan akalnya, kepiawaiannya dalam mengajar dan berdebat dengan berbagai kalangan ulama, sehingga ia yang sebelumnya disebut Imam Khurasan, kini ia juga disebut sebagai Imam Iraq. Kebesaran Al-Ghazali di Baghdad ini cukup menggebrak di kalangan pembesar pemerintahan.

Namun akhirnya ia berpikir ulang atas karir keulamaannya selama ini, ia merasa ada yang kurang dari dirinya. Di masa kegelisahannya ini, ia menemukan seorang guru futuh (guru yang membukakan hati) yaitu Abi Ali Al-Farmadi.

Di tangan Al-Farmadi ini, ia menjalankan semua laku ibadah yang diperintahkan olehnya, baik berupa ibadah, shalat sunah, dzikir, mujahadah, sampai akhirnya ia merasa ringan melakukan ibadah-ibadah tersebut.

Di masa ini pula ia gemar membaca kitab tasawuf seperti Qutul Qulub karya Abu Thalib Al-Makki, dll. Dari sinilah laku riyadhah dan usaha mencapai hakekat yang ia jalani semakin menemukan titik puncaknya. Sampai akhirnya ia berangkat menuju baitullah, dilanjutkan pergi menuju Syam tepatnya Baitul Maqdis.

Di Syam, ia bermukim selama 10 tahun. Hari-harinya diisi dengan khalwat (menyendiri), mujahadah, dan menulis kitab. Di fase inilah ia melahirkan karya masterpiece-nya yaitu Ihya’ Ulumiddin dan ringkasannya, Al-Arba’in, Al-Qisthas, Mahakku an-Nadhar, dll.

Kemudian ia pulang ke daerah kelahirannya di Naisabur untuk kembali mengajar dan mendirikan madrasah di dekat rumahnya karena ia merasa tidak boleh meninggalkan dakwah sebagaimana perkataannya:

“Aku tidak memperbolehkan diriku untuk berhenti dari dakwah dan memberikan manfaat kepada para santri, karena aku punya kewajiban untuk menyampaikan kebenaran”.

Ia menemukan hal yang baru dari dirinya. Jika dulu ia merasa orang yang paling hebat dan kerap merendahkan orang lain, maka sejak menjalankan laku tasawuf (sufi), ia tidak lagi merasa demikian.

Sampai di akhir usianya, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar, mengkhatamkan Al-Qur’an, bergaul dengan para ahli sufi, ia tidak lagi sibuk bermusuhan dan mendekat kepada pemerintah.

Perpaduan antara keluasan ilmu yang dimiliki dan guru tarekat yang membimbing menjadikan Al-Ghazali sebagai manusia yang paripurna dan bisa dibilang ulama yang paling banyak diambil manfaatnya oleh seluruh umat Islam di muka bumi. Ringkasan perjalanan ini saya kutipkan dari dua kitab di atas.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

____________

Source: Alif.Id

About admin

Check Also

Lebaran dan Kaum Kebatinan

“Tradisi lebaran yang konon hanya ada di Nusantara adalah sepotong waktu yang dapat menaikkan atau ...