Home / Berita / Internasional / Negara Maju Berotak Primitif

Negara Maju Berotak Primitif

“Negara harus mampu melawan dan mencegah wabah penyakit mental di kalangan warganya”

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, media dipenuhi maraknya aksi pembakaran al-Qur’an di beberapa negara. Suatu aksi yang menurut peraturan perundangan di beberapa negara disebut sebagai “kebebasan berekspresi”.

Negara-negara yang mengkategorikan penistaan agama sebagai “kebebasan berekspresi” itu di antaranya Swedia, Belanda, Perancis, Denmark, dsb, yang umumnya berada di benua Eropa. Entah apa yang melatarinya, sehingga sebuah negara tidak berdaya menghargai atau menjaga agama sebagai sumber nilai dari hinaan warganya. Seolah negara membiarkan warganya untuk saling mengekspresikan sikap primitifnya yang rasis hingga memantik api peperangan antar-identitas kelompok.

Saking takutnya negara mengurusi urusan pribadi warganya sehingga mengkategorikan agama sebagai urusan privasi warganya. Urusan privasi yang kemudian mengolok-olok privasi orang lain dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Sebuah pandangan yang absurd dan tak beradab. Mengklaim diri sebagai bangsa yang maju tapi mentalitasnya terbelakang. Anehnya, “penyakit mental” ini umumnya menjangkiti negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara maju dan berperadaban.

Rasmus Paludan, seorang ekstrimis sayap kanan Denmark, sedang membakar al-Qur’an di Swedia

Fenomena menista agama beserta Kitab Sucinya bukanlah hal baru. Sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup pun kaum yang berpenyakit mental seperti itu sudah ada. Dan mereka sangat tidak layak (gak level) untuk duduk bersanding dengan orang yang mengimani al-Qur’an.

Karena saking terbelakangnya mental dan otak mereka, al-Qur’an yang memiliki cita rasa intelektual yang begitu tinggi sangatlah tidak sebanding dengan aksi dan prilaku mereka jika mereka harus diajak dialog secara intelektual. Rasanya, tabligh kebenaran melalui hikmah dan nasehat yang baik sangat tidak layak, alias gak ngefek sama sekali. Jadi, betapa kronisnya penyakit mental mereka.

Bagi mereka yang masih memiliki cita rasa intelektual saja, Allah SWT menantang mereka untuk membuat ayat setimpal Al-Qur’an:

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا ۞

“Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.” (QS. Al-Isra [17]: 88)

Tantangan ini berlaku bagi mereka yang ingkar terhadap al-Qur’an namun masih punya citarasa intelektual. Lalu bagaimana untuk mereka yang kerjaannya menistakan al-Qur’an dengan cara membakarnya? Celah untuk menerima kebenaran pada otak mereka di sisi mana? Apakah negara yang melindungi atau membiarkan aksi-aksi seperti ini tidak menjadi lebih buruk, primitif dan terbelakang?

Salwan Momika, seorang imigran asal Irak, sedang melakukan aksi membakar al-Qur’an di Swedia

Selain itu, “penyakit mental” yang mulai muncul secara massif di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara maju adalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Fenomena kuno yang pernah terjadi di zaman Nabi Luth ribuan tahun lalu kini muncul kembali dan memaksakan negara untuk mengakui keberadaannya.

Di beberapa negara, komunitas LGBT yang sakit itu kerap menunjukkan eksistensinya dengan melakukan kampanye dan pawai. Mereka juga menebarkan propagandanya di medsos-medsos dan media mainstream. Mereka menebarkan wabah penyakitnya itu tanpa malu-malu dan tanpa tedeng aling-aling. Landasannya sederhana; “kebebasan berekspresi”.

Lagi-lagi, beberapa negara sudah banyak kalah dalam mempertahankan akal murninya sehingga “terpaksa” mengakui keberadaannya dengan melegitimasi pernikahan sejenis. Dan lagi-lagi, “penyakit mental” itu dianggap sebagai hak privasi yang seolah harus dilindungi oleh negara. Na’ûdzu billãhi min dzãlik.

Pawai LGBT (Pride Parade atau Pride March) di Yerussalem, dekat al-Quds Palestina

Dalam banyak catatan sejarah, tak terkecuali di dalam Kitab Suci al-Qur’an, Allah SWT mengabadikan kisah-kisah primitif tersebut untuk dijadikan cermin agar kita semua bisa mencegahnya. Mengutip dari buku Sejarah Terlengkap 25 Nabi karya Rizem Aizid, kisah Nabi Luth AS dalam Al-Qur’an terdapat pada 85 ayat di 12 surat, yaitu beberapa di antaranya surat Al-Anbiyã’, surat Asy-Syu’arã, surat Hûd, dan surat Al-Qamar.

Salah satu ayat di dalam Surat Asy-Syu’arã ayat 160-167, Allah SWT mengkisahkan:

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطِ ِۨالْمُرْسَلِيْنَ ۖ اِذْ قَالَ لَهُمْ اَخُوْهُمْ لُوْطٌ اَلَا تَتَّقُوْنَ ۚ اِنِّيْ لَكُمْ رَسُوْلٌ اَمِيْنٌ ۙ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوْنِ ۚ وَمَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ اَجْرٍ اِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلٰى رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ اَتَأْتُوْنَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعٰلَمِيْنَ ۙ وَتَذَرُوْنَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُوْنَ قَالُوْا لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ يٰلُوْطُ لَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِيْنَ ۞

“Kaum Luth telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul terpercaya (yang diutus) kepadamu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (ajakan) itu. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat homoseks)? Sementara itu, kamu tinggalkan (perempuan) yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istrimu? Kamu (memang) kaum yang melampaui batas.” Mereka menjawab, “Wahai Luth, jika tidak berhenti (melarang kami), niscaya engkau benar-benar akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS, Asy-Syu’ara [26]: 160-167).

Dalam ayat tersebut dikisahkan betapa kaum berpenyakit ini sudah berani menantang kebenaran yang dibawa Nabi Luth AS. Komunitas mereka di zaman itu sangat mirip dengan komunitas LGBT di zaman sekarang, massif, konyol dan absurd. Seolah tak terlihat lagi celah pikiran sehat pada otaknya. Lalu apakah negara cukup berpangku tangan atas komunitas yang menyebabkan kebinasaan umat manusia ini?

Jika negara tutup mata, bahkan cenderung memberikan celah sehingga penyakit-penyakit semakin mewabah, maka tinggal tunggu saja saat kehancurannya. Al-Qur’an telah memberikan banyak pelajaran dari kaum-kaum yang dilaknat dengan kebinasaan tak terperi. Negara seharusnya menjadi garda terdepan untuk mempelopori perlawanan terhadap kerusakan moral warganya, bukannya malah lepas tanggung jawab hanya karena “kebebasan berekspresi”.

Kebebasan ekspresi adalah produk negara demokrasi yang menjadi bibit melapetaka bagi kelangsungan hidup manusia. Akankah delusi negara maju dengan standar demokrasi masih layak kita jadikan sebagai sebuah cara untuk bernegara?

Semoga Allah SWT melindungi kita semua dari penyakit-penyakit tersebut, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ أَنْ نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ بِلَادَنَا بَلْدَةً طَيِّبَةً تَرْضَاهَا، وَاجْعَلْ شَعْبَنَا شَعْبًا صَالِحًا طَآئِعًا لِإِرَادَتِكَ، وَاهْدِ زُعَمَآءَنَا صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمِ، وَسَهِّلْهُمْ لِوَفَآءِ أَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ وُصُوْلًا إِلَى الْاِنْطِلَاقِ لِحَيَاةِ شَعْبِنَا نَحْوَ مُسْتَقْبَلَهُمُ الزَّاهِرِ

Rabbij’al hãdzal balada ãminã, wajnubnî wa baniyya an na’budal ashnãm. Allãhummaj’al bilãdanã baldatan thayyibatan tardhãha, waj’al sya’banã sya’ban shãlihan thã’ian li irãditik, wahdi zu’amã-anã shirãthakal mustaqîm, wa sahhilhum li wafãi amãnãtihim wa ‘ahdihim wushûlan ilal inthilãqi li hayãti sya’binã nahwa mustaqbalahumuz zãhir

“Ya Tuhanku, jadikan negeri ini negeri yang aman, jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Allah, jadikanlah negeri kami sebagai negeri yang maju yang Engkau ridhai. Jadikanlah bangsa kami sebagai bangsa yang saleh dan taat pada kehendak-Mu. Berikanlah petunjuk jalan yang lurus untuk pemimpin-pemimpin kami. Berikanlah kemudahan bagi mereka untuk menunaikan tanggung jawab dan janjinya (sebagai pemimpin) untuk keberhasilan kehidupan bangsa kami menuju masa depan yang cerah menjanjikan.”

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...