Home / Berita / Keikhlasan Tanah Air, Tak Ada yang Mendahului Riwayat

Keikhlasan Tanah Air, Tak Ada yang Mendahului Riwayat

“Apakah dengan menganut agama Islam yang mempunyai orientasi internasional, seorang Islam Indonesia tidak terhalang untuk menjadi nasionalis? Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan Gandhi, demikian Soekarno menekankan: cinta untuk tanah air dan bangsa saya menjadi bagian dari cinta saya untuk umat manusia.” Tulisan ini adalah gambaran Lambert Giebels akan pandangan politik Bung Karno. Giebels mencatatkan hal ini pada buku “Soekarno, Biografi 1901-1950”.

Dalam banyak pandangan, Bung Karno kerap berupaya dengan sungguh-sunguh menggariskan kebangsaan Indonesia. Sebuah kebangsaan yang unik. Kebangsaan yang luhur. Kebangsaan yang berbeda dengan pelbagai varian nasionalisme di belahan dunia lainnya. Nasionalisme Indonesia adalah kebangsaan yang berpuncak pada kemuliaan umat manusia.

Ikhtiar Bung Karno inilah yang pada sekarang membuat kita tetap menjadi Indonesia. Tetap terikat dan mengikat diri dalam satu negara bangsa. Sebuah komunitas yang terus berikhtiar untuk tegak di tengah arus besar peradaban, yang kadang terasa mendesak begitu keras, memaksakan kehendak yang asing atas kebersamaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 ini. Tidak mudah memang. Bahkan, sekarang mungkin lebih sulit.

Mengikat diri dalam satu hasrat kebangsaan, kadang kerap membuat kita menyisihkan kehendak yang sama kuatnya. Sebut saja, saat umat Islam, demi Indonesia yang utuh, mengikhlaskan penghapusan 7 kata dalam sila pertama, yang termaktub dalam “Piagam Jakarta”: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kerelaan ini adalah kesaksian betapa Indonesia adalah hasrat hidup bersama. Piagam ini adalah permufakatan dari “Panitia Sembilan” yang terdiri dari: Soekarno, Achmad Soebarjo, Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Agus Salim dan Mohammad Yamin.

Kebesaran hati memang menjadi syarat sebuah ikatan kebersamaan. Tanpa kebesaran hati, kebersamaan hanya seperti bersandar pada batang yang ranggas. Getas dan mudah patah. Tentu banyak hikayat yang dapat kita baca. Sebut satu contoh yang masih dekat dengan ingatan kita: Yugoslavia. Ia bersandar pada kekuatan Josip Broz Tito. Saat Tito mangkat, tak terlalu lama, Yugoslavia tercabik-cabik. Bubar dan saling terkam. Lalu hancur. Manusia hanya pelengkap dalam ikatan ini.

Mungkin Bung Karno mawas akan hal ikatan yang kuat. Ia tak mau ikatan itu disandarkan pada dirinya atau orang per orang. Ia, Bung Karno, Sang Proklamator terus mengikhtiarkan Indonesia tegak seperti pohon yang kokoh, dengan akar yang menghunjam dan mengikat serta terikat kuat pada bumi. Pada tanah air. Pada Ibu Pertiwi. Pada Indonesia.

Karenanya, Bung Karno, ingin memastikan bahwa ikatan kebangsaan Indonesia adalah manusia dan kemanusiaan. Bahwa tanah tumpah darah ini adalah amanat bagi penderitaan rakyat. Bukan amanat bagi hasrat dan pelbagai kehendak orang per orang juga kelompok. Indonesia adalah untuk segenap anak manusia yang memiliki hasrat hidup bersama, juga rasa senasib dan sepenanggungan di tanah permai ini. Dalam suka dan duka. Dalam bahagia juga nestapa.

Demikianlah hasrat kuat itu. Ia selalu layak dijaga dengan sungguh-sunguh. Dengan iktikad yang kuat. “Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian dengan saksama. Tidak ada satu manusia yang bisa menentukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia yang bisa mendahului riwayat.” Kalimat ini adalah kesaksian Bung Karno dalam pembelaan “Indonesia menggugat” (1930).

Ikhtiar Bung Karno, juga keikhlasan para pendiri republik dari pelbagai golongan, atas ikatan kebangsaan kita hari ini adalah: kesaksian. Sebuah daya upaya yang ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Sesuatu yang tak mudah dijumpai di zaman modal ini. Alhasil, riwayat tanah air ini, kelak tetap akan tertulis. Dan, tak ada satu manusia pun yang bisa mendahului riwayat. (dadang rhs)

Sumber: http://www.nefosnews.com

About admin

Check Also

Hikmah Bulan Sya’ban

“Bulan Sya’ban dalam penanggalan Jawa Islam disebut juga bulan Ruwah, yakni bulan dimana para Arwah ...