Home / Relaksasi / Renungan / Pengakuan Murni Seorang Hamba

Pengakuan Murni Seorang Hamba

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Dalam makna luas, istighfar adalah mengembalikan pikiran murni seorang hamba kepada Tuhannya. Artinya, status hamba di hadapan Tuhan didudukkan pada porsinya sebagai makhluq yang penuh dengan segudang kelemahan.

Dalam situasi ini, kesadaran hamba membumbung ke langit sehingga dirinya “dipaksa” oleh kesadaran untuk tersungkur dan terbenam dalam lautan pengakuan diri sebagai seorang hamba yang serba bahru, lemah, tak berdaya dan tak memiliki apapun di hadapan Tuhannya kecuali segudang dosa dan kesalahan.

Keadaan ini terlihat juga dalam untaian kalimat munajat yang dikemukakan oleh Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandary. Untaian kalimat-kalimat tersebut mencerminkan tingkat kemurnian pikiran yang begitu jernih, total dan agung.

Jika dibaca secara seksama dan penuh penghayatan, kalimat munajat Syaikh Ahmad akan membawa diri pada kesadaran hamba yang fana dan tak memiliki wujud apapun kecuali kelemahan-kelemahan. Salah satu kalimat yang bisa kita renungkan diantaranya adalah:

إِلٰهِيْ أَنَا الْجَاهِلُ فِي عِلْمِيْ فَكَيْفَ لَا أَكُوْنُ جَهُوْلًا فِي جَهْلِيْ

Tuhanku, akulah hamba yang bodoh dalam ilmu pengetahuanku, maka bagaimana aku tidak semakin lebih bodoh lagi dalam hal yang aku masih bodoh dan tidak mengetahuinya?

Tuhanku, dalam keadaan berilmu saja aku tetaplah bodoh, apatah lagi dalam keadaan tak berilmu. Lalu bagaimana ilmu yang ada padaku ini aku klaim sebagai ilmuku, sementara ilmu dan pengetahuan itu adalah milik-Mu. Jika Engkau berkehendak kepada diriku tak mengetahui pengetahuan apapun, maka ilmu pada diriku sama saja ketiadaan.

Untaian kalimat di atas mencerminkan pikiran murni Syaikh Ahmad yang membuktikan bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin ia paham akan kebodohannya. Semakin luas pengetahuannya, maka semakin sadar ia akan ketiadaannya. Semakin murni pikiran seseorang, maka semakin nampak jelas ia melihat dirinya yang kotor. Semakin tinggi kesadarannya, semakin tunduk dan terbenam dirinya pada lautan ciptaan Tuhan yang luas, bahru dan musnah (fana).

Ungkapan munajat Syaikh Ibnu Atha’illah ini merupakan kesadaran yang tinggi dan agung. Kesadaran itu telah membawanya kepada ketertundukan dan ketawadhu’an yang paripurna. Sahl ibn Abdullah ra. berkata, “Tidaklah seorang hamba menampakkan kefakiran dan kebutuhannya kepada Allah saat berdoa atas terjadinya sesuatu yang menimpanya, kecuali Allah akan berkata kepada para malaikat-Nya, ‘Sekiranya ia tahan menghadapi suara-Ku, niscaya akan kujawab doanya dengan Labbaik.’

Dalam kalimat yang lain, Syaikh Ahmad berkata:

إِلٰهِيْ إِنَّ اِخْتِلَافَ تَدْبِيْرِكَ وَسُرْعَةَ حُلُوْلِ مَقَادِيْرِكَ مَنَعَا عِبَادَكَ الْعَارِفِيْنَ بِكَ عَنِ السُّكُوْنِ إِلَى عَطَآءٍ وَالْيَأْسِ فِي بَلَاءٍ

Tuhanku, cepatnya perubahan keputusan-Mu dan cepatnya pergantian takdir-Mu menjadi penghalang bagi para hamba-Mu yang ‘arif untuk begitu saja tenang dengan karunia-Mu atau mudah putus asa terhadap cobaan-Mu.

Cepatnya perubahan keputusan Allah Ta’ala atau pergantian takdir Allah Ta’ala mudah sekali ditemukan. Bisa saja, hari ini seorang hamba ditetapkan menjadi fakir, namun Allah Ta’ala kemudian mengubahnya menjadi kaya, atau sebaliknya. Bisa saja, hari ini seorang hamba sakit, lalu Allah Ta’ala mengubah ketetapan-Nya dan menjadikannya sehat, atau sebaliknya.

Cepatnya pergantian takdir itu membuat para hamba-Nya yang ‘arif, tidak begitu saja membuat ia tenang dengan karunia Allah Ta’ala yang mereka terima. Oleh karena itu, jika diberi karunia duniawi, seperti harta, atau diberi karunia spiritual, seperti makrifat atau rahasia ilahi, mereka tidak begitu mempedulikannya. Karena di mata mereka, semua itu pasti sirnanya, bahkan mungkin berubah menjadi sebaliknya. Yang mereka pedulikan hanyalah Tuhan mereka. Ada atau tidak adanya karunia-karunia itu, bagi mereka, adalah sama saja.

Sebaliknya, cepatnya perubahan takdir itu membuat para hamba-Nya yang ‘arif tidak mudah putus asa dalam menghadapi cobaan. Oleh karena itu, jika diberi cobaan fisik, seperti rasa sakit atau kemiskinan, atau diberi cobaan spiritual, seperti maksiat, mereka tidak pernah patah harapan menanti hilangnya semua cobaan itu. Bahkan, mereka yakin bahwa semua cobaan itu akan diganti dengan hal lain yang lebih baik.

Lalu Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah qaddasallahu sirrah mengalami klimaks kesadaran dalam eskalasi munajatnya dengan kalimat:

إِلٰهِيْ مِنِّيْ مَا يَلِيْقُ بِلُؤْمِيْ وَمِنْكَ مَا يَلِيْقُ بِكَرَمِكَ

Tuhanku, dariku pasti akan terjadi apa yang layak dengan sifat kerendahan, kekurangan, dan kebodohanku. Dari-Mu pasti akan terbit segala hal yang layak dengan kemuliaan dan kebesaran-Mu.

Tuhanku, dari diriku pasti akan terjadi hal-hal yang layak dengan kerendahan dan kehinaanku, yaitu berupa kedurhakaanku kepada-Mu. Sebab, memang demikianlah manusia, selalu tidak bisa menunaikan hak-hak Tuhan dengan sempurna.

Dengan kemuliaan-Mu, ya Allah, pasti akan muncul segala hal yang layak dan terbaik untukku sesuai keadaanku. Namun dariku, bagaimanapun baiknya menurut pandanganku, tidaklah menjadi baik untukku sesuai keadaanku. Engkau Maha Pengampun, ampunilah aku atas pikiran-pikiranku yang aku anggap sebagai yang terbaik untukku.

إِلٰهِيْ وُصِفَتْ نَفْسُكَ بِاللُّطْفِ وَالرَّأْفَةِ بِيْ قَبْلَ وُجُوْدِ ضَعْفِيْ أَفَتَمَنَّعْنِيْ مِنْهُمَا بَعْدَ وُجُوْدِ ضَعْفِيْ؟

Tuhanku, Kau telah menyebut Diri-Mu dengan sifat lembut dan belas kasih terhadapku sejak sebelum adanya kelemahanku ini. Apakah kini Kau tolak diriku dari kedua sifat-Mu itu setelah nyata adanya kelemahan dan kebutuhanku ini?

Tuhanku, kau telah menyifati Diri-Mu dengan sifat belas kasih dan kelembutan terhadapku sejak sebelum adanya kelemahan padaku. Dengan itu, apakah kini Kau tolak diriku dari kedua sifat-Mu itu atau dari pengaruhnya terhadap diriku setelah kelemahan dan kebutuhan muncul pada diriku ini?

Belas kasih dan kelembutan merupakan dua sifat Allah Ta’ala yang ada sejak ‘azali sebelum adanya kelemahan hamba, kesulitan dan kebutuhannya. Kedua sifat itu akan berdampak pada akan diturunkannya nikmat dan karunia Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Dengan demikian, bagaimana kedua sifat itu tidak akan diberikan kepada hamba-Nya setelah kelemahan mereka tampak?

Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan cahaya kesadaran kepada kita melalui kehormatan, kemuliaan dan ketertundukan Syaikh Ahmad bin ‘Atahillah Assakandary melalui munajatnya yang begitu murni dan agung. Bãrakallãhu lî wa lakum…

About admin

Check Also

Wihdatul Wujud Dalam Shalat

“Ketika engkau mengatakan Ushalli dalam niat shalat, namun engkau tidak menyertakan Allah bersamamu, dan menuju ...