“Melalui mukasyafah, wujud keberadaan Tuhan dapat dicerap; tersaksikan dengan segala potensi lahir dan batin kita. Hanya dengan kasyaf, musyadahah terjadi. Syahadat menjadi sempurna”.
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku, wahai para Kekasih Allah. Di hari Jum’at pada malam yang penuh kebahagiaan ini di mana Allah terus menerus mengajak kita untuk mengenalNya dengan lebih baik, karena sesungguhnya perintah untuk mengenal Allah adalah kewajiban tiap-tiap mukmin dan muslim sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَن كَانَ فِى هَٰذِهِۦٓ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِى ٱلْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا ۞
Wa mang kãna fî hãdzihî a’mã fa huwa fil-ãkhirati a’mã wa adhallu sabîlã
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra [17]: 72)
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwayatkan sebuah hadits. Untuk itu ia mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْمَرَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ كَرَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللّٰهِ بْنُ مُوْسَى، عَنْ إِسْرَائِيْلَ، عَنِ السُّدِّيِّ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِ اللّٰهِ: « يَوْمَ نَدْعُوْ كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ » قَالَ: ” يُدْعَى أَحَدُهُمْ فَيُعْطَى كِتَابَهُ بِيَمِيْنِهِ، وَيُمَدُّ لَهُ فِي جِسْمِهِ، ويُبَيَّضُ وَجْهُهُ، وَيُجْعَلُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجٌ مِنْ لُؤْلُؤَةٍ تَتَلَأْلَأُ فَيَنْطَلِقُ إِلَى أَصْحَابِهِ فَيَرَوْنَهُ مِنْ بَعِيْدٍ، فَيَقُوْلُوْنَ: اللّٰهُمَّ ائْتِنَا بِهَذَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي هَذَا . فَيَأْتِيْهِمْ فَيَقُوْلُ لَهُمْ: أَبْشِرُوْا، فَإِنَّ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنْكُمْ مِثْلَ هَذَا . وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُسْوَدُّ وَجْهُهُ، وَيُمَدُّ لَهُ فِي جِسْمِهِ، وَيَرَاهُ أَصْحَابُهُ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ هَذَا – أَوْ: مِنْ شَرِّ هَذَا – اللّٰهُمَّ لَا تَأْتِنَا بِهِ . فَيَأْتِيْهِمْ فَيَقُوْلُوْنَ: اللّٰهُمَّ أَخْزِهِ فَيَقُوْلُ: أَبْعَدَكُمُ اللّٰهُ، فَإِنَّ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنْكُمْ مِثْلَ هَذَا “.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ya’mur dan Muhammad ibnu Usman ibnu Karamah; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari As-Saddi, dari ayahnya, dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, sehubungan dengan makna firman-Nya: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap-tiap umat dengan pemimpinnya. (Al-Isra: 71)”, Nabi SAW bersabda: “Seseorang dari mereka dipanggil, lalu diberikan catatan amalnya, dari sebelah kanannya dan tubuhnya ditinggikan, wajahnya diputihkan (menjadi bersinar), dan dipakaikan di atas kepalanya sebuah mahkota mutiara yang berkilauan. Kemudian ia pergi menemui teman-temannya, dan teman-temannya melihatnya dari jauh, mereka berkata, “Ya Allah, datangkanlah dia kepada kami, dan berikanlah berkah kepada kami melalui orang ini.” Lalu ia mendatangi mereka dan berkata kepada mereka, “Bergembiralah kalian, karena sesungguhnya masing-masing orang dari kalian akan mendapat hal yang semisal dengan ini.” Adapun orang kafir, maka wajahnya dihitamkan dan tubuhnya ditinggikan sehingga teman-temannya melihatnya. Maka mereka berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari nasib yang dialami orang ini, atau dari keburukan yang diperoleh orang ini. Ya Allah, janganlah Engkau datangkan orang ini kepada kami.” Maka ia mendatangi mereka, dan mereka berkata, “Ya Allah, hinakanlah dia.” Ia menjawab, “Semoga Allah menjauhkan kalian dari rahmat-Nya, sesungguhnya masing-masing orang dari kalian akan memperoleh hal semisal ini”.
Demikianlah pahala untuk kita semua yang selalu mengajak kepada pengenalan diri kepada Allah Ta’ala. Mursyid kami yang mulia Abah Guru Sekumpul pernah berkalam:
Awal Beragama adalah Makrifatullah yang maknanya mengenal Allah. Dalam hal ini mengenal Allah tentunya berbeda dengan mengetahui Allah. Kalau mengetahui, itu cukup sekedar tahu bahwa Tuhan itu ada, dan namanya adalah Allah. Tauhid ya hanyalah seperti itu. Ilmu tauhid hanya untuk tahu Allah itu ada, dan Dia itu Esa. Cukup. Hanya segitu. Lebih dari itu ya sekedar menambah-nambah apa saja sifat yang kira-kira cocok buat Tuhan.
Sementara makrifat lebih dalam dari itu. Makrifat adalah pembuktian Dia itu ada. Bukan sekedar tahu nama. Tapi usaha mendekat, dan benar-benar berjumpa. Bahkan akrab dan saling menyapa. Para nabi sudah pada level ini. Sudah dialogis dengan Tuhannya. Adam, kalau tidak mencapai makrifat, mungkin akan selamanya menjadi pithecanthropus; yang mirip-mirip binatang dengan akhlak purbanya itu. Makrifatlah yang membuatnya menjadi sapiens sempurna. Menjadi makhluk langit. Makhluk syurga.
Makrifat berbeda dengan tauhid. Tauhid itu bertuhan secara pasif. Beragama secara awam. Masih dalam level menduga dan hanya sekedar berbaik sangka. Lalu rukuk dan sujud sambil berdoa, meski tak pernah dijawab-Nya. Memang kita disyariatkan untuk beribadah. Namun walau terus kita lakukan, tak sekalipun Tuhan menunjukkan Wajah dan SuaraNya. Keislaman kita pada dimensi tauhid dan syariat, itu sifatnya pasif.
Pada dimensi makrifat, keislaman menjadi sangat dinamis. Tuhannya sudah aktif. Ibarat TV nya sudah dihidupkan. HP nya sudah berbunyi. Pintu langit sudah terbuka. Dia senantiasa hadir dalam aneka cara. Dalam bentuk “gemerincing lonceng”, atau wujud spiritual lainnya. Dia sudah mulai berbicara. Dan kita pun sudah mampu merespon-Nya. Tuhan itu Maha Berkata-Kata. Seandainya kita tidak tuli, bisu dan buta, kita pasti akan mampu berhubungan dengan-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 18).
صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡىٌ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُوۡنَ ۙ ۞
Summum bukmun ‘umyun fahum lã yarji’ûn
“Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.”
Untuk mencapai makam makrifat; penyakit tuli, bisu dan buta harus disembuhkan. Harus kasyaf. Karena hanya dengan tersibaknya tirai ruhaniah, gelombang kehadiran Tuhan menjadi terasa. Melalui mukasyafah, wujud keberadaan Tuhan dapat dicerap; tersaksikan dengan segala potensi lahir dan batin kita. Hanya dengan kasyaf, musyadahah terjadi. Syahadat menjadi sempurna.
Kalau masih di alam Jabarut, Tuhan tidak akan pernah dikenali. Tidak terdeteksi. Tidak akan bisa dijumpai. Paling-paling hanya tahu nama saja. Atau sekedar percaya. Orang kafir sekalipun, percaya Tuhan itu ada. Alam Jabarut itu alam binatang. Alam setan. Alam tabiat rendah (being). Alam di mana gelombang kesadaran kita hanya mampu menjangkau sinyal-sinyal bawah. Pada level ini, penampakan Tuhan terhalang oleh dosa-dosa kita. Penyembahan berhala juga rentan terjadi. Niat kita memang menyembah Allah, tapi Allahnya entah di mana. Kita hanya dapat meraba-meraba.
Maka dibutuhkan usaha dan kesadaran untuk naik ke alam lebih tinggi. Alam Malakut. Pada tingakatan ini manusia mulai makrifat. Perlahan menjadi malaikat (becoming). Gelombang malakutnya mulai hidup. Ingat ya, makhluk yang mampu melakukan komunikasi transenden hanya malaikat. Hanya malaikat yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Sehingga malaikat juga disebut sebagai “utusan Allah”. Membawa gelombang Tuhan. Makanya para nabi mampu berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam pembacaan Sanad Silsilah Tarekat Syatthariyyah yang diijazahkan Mama Arjaen dari Sunan Bonang dikatakan Kangjeng Nabi Muhammad tampak saking Gusti Allah kalawan lantaran Dat Ruhul Amin. Maka jelaslah bahwa sesungguhnya Nabi itu manusia dengan infrastruktur malaikat. Ruhaninya selalu terjaga. Tidak pernah berhenti bertasbih. Sudah Baqã Billãh. Maksum. Suci.
Para nabi (wali dan orang-orang shaleh yang hidup pada setiap masa) merupakan orang-orang yang telah aktif jaringan batin malaikatnya. Sehingga tidak heran, banyak manusia ditemukan dalam Al-Qur’an mampu berkomunikasi dengan Tuhan.
كَمَا أَشَارَ خُلَفَآءُ الرَّاشِدِيْنَ فِي بَيَانِ مَعْنَى “رُأْيَةٌ”
Kamã asyãra khulafã’ur rãsyidîn fî bayãni ma’nã “ru’yatun”
Seperti 4 sahabat Nabi di saat menjelaskan tentang penyebutan melihat Allah:
Sayyidina Abu Bakar RA berkata:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللّٰهَ قَبْلَهُ
“Mã ra’aitu syai’an illã ra’aitullãha qablahu”
Aku (Abu Bakar) tidak melihat akan sesuatu kecuali melihat Allah sebelum melihat sesuatu itu.
Sayyidina Utsman RA pun berkata:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللّٰهَ بَعْدَهُ
“Mã ra’aitu syai’an illã ra’aitullãha ba’dahu”
Aku (Usman) tidak melihat akan sesuatu kecuali melihat Allah setelah aku melihat pada sesuatu itu.
Telah berkata pula Sayyidina Umar RA:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللّٰهَ مَعَهُ
“Mã ra’aitu syai’an illã ra’aitullãha ma’ahu”
Aku (Umar) tidak melihat akan sesuatu kecuali bersamaan dengan Allah melihatku akan sesuatu itu.
Dan kemudian Sayyidina Ali RA:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلَّا رَأَيْتُ اللّٰهَ فِيْهِ
“Mã ra’aitu syai’an illã ra’aitullãha fîhi”
Aku (Ali) tidak melihat akan sesuatu kecuali melihat Allah yang meliputi akan sesuatu itu.
Semoga Allah merahmati, memberkati, melindungi kita semua dari kebodohan dan kebutaan untuk bisa memandang wajahNya Yang Maha Agung. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
Raih pahala amal jariyah dengan cara membagikan (share) konten ini kepada yang lainnya. Nabi Shallallãhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
___________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita