Home / Agama / Kajian / Bagaimana Konsep Shalat Terbentuk?

Bagaimana Konsep Shalat Terbentuk?

Oleh: Achmad Bissri Fanani*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

telah dipermaklumkan, bahwa di benak umat Islam shalat merupakan bentuk hubungan vertikal hamba kepada Tuhan. Statusnya sebagai kewajiban, pertanda begitu penting eksistensinya. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَآ إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ .

“Dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Islam dibangun di atas 5 pondasi. Bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, puasa Ramadhan”.

Syaikh Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat pada laylatul isra’. Tepatnya pada 10 tahun lebih tiga bulan, pasca kenabian yakni malam 27 Rajab. Tapi, keesokan harinya shalat subuh belum wajib dilaksanakan, lantaran beliau masih belum mengetahui tata caranya.

Oleh sebab itu, Allah SWT pun langsung mengutus malaikat Jibril untuk mengajari Nabi SAW tentang tatacara shalat. Kisah ini tercantum dalam hadits beliau, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:أَمَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرُ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ يَعْنِي الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَآءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حُرِمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُّ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَآءَ إِلَى ثُلُثِ الَّليْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدٌ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَآءِ مِنْ قَبْلِكَ، وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ . (رواه ابو داوود والترمذي)

“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Jibril mengimamiku shalat di depan pintu Ka’bah dua kali. Dia shalat Dzhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir sepanjang tali sandal. Lalu dia shalat Ashar bersamaku ketika bayang-bayang benda sepanjang benda tersebut. Kemudian dia shalat Maghrib ketika orang puasa berbuka puasa. Lalu dia shalat Isya’ bersamaku ketika mega merah telah hilang. Lalu dia shalat Shubuh bersamaku ketika makanan dan minuman diharamkan untuk orang yang berpuasa. ‘Pada keesokan harinya, dia shalat Dzhuhur bersamaku ketika bayang-bayang benda sama panjang dengan benda tersebut. Lalu dia shalat Ashar bersamaku ketika bayang-bayang benda dua kali panjang daripada benda tersebut. Kemudian dia shalat Maghrib bersamaku ketika orang yang berpuasa berbuka puasa. Lalu dia shalat Isya’ bersamaku pada sepertiga malam. Lalu dia shalat Shubuh bersamaku ketika suasana telah terang. ‘Kemudian dia berpaling kepadaku dan berkata: ‘Wahai Muhammad, ini merupakan waktu para nabi sebelummu. Dan waktu tersebut adalah antara dua waktu itu.’” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Pada hadits tersebut, Malaikat Jibril mengajarkan tata cara shalat kepada Nabi Muhammad SAW sekaligus mengasih tahu tentang waktu-waktunya. Untuk mengajari Nabi, Malaikat Jibril mengajak beliau shalat berjama’ah, dengan posisi ia yang menjadi imam, sedangkan Nabi mengikutinya. Dan saat itu pula, Nabi mengajak para sahabat agar melakukan shalat bersamanya dengan instruksi supaya mereka shalat sebagaimana mereka melihatnya shalat. Sabda beliau SAW:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى

Shallû kamã ra-aytumûnî ushallî

“Shalatlah sebagaimana kalaian melihatku shalat”.

Maka, dari situ, tersimpul konsep shalat yang terdiri dari rukun, syarat serta kesunnahannya. Sehingga muncullah pengertian shalat seperti:

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ وَمُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ

Aqwãlun wa af’ãlun muftatahatun bit-takbîri wa mukhtatamatun bit-taslîmi

“Ucapan dan pekerjaan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam”

Rukun merupakan esensi dari ibadah itu sendiri. Sedangkan syarat adalah step yang harus dilakukan sebelum melakukan rukun serta harus tetap terjaga sampai akhir ibadah.

Dari pengertian itu, para Ulama masih berselisih akan beberapa rangkaian shalat, apakah itu rukun atau syarat. Seperti niat, ada Ulama yang mengatakan rukun. Ada juga yang mengatakan syarat. Namun, perselisihan tersebut hanya secara penyebutan saja. Karena entah niat dianggap sebagai syarat maupun rukun, keduanya sama-sama harus dilakukan.

_________

* Maha santri Ma’had Aly An-Nur II
* Source: LTNU Jabar

About admin

Check Also

Lebaran dan Kaum Kebatinan

“Tradisi lebaran yang konon hanya ada di Nusantara adalah sepotong waktu yang dapat menaikkan atau ...