Home / Ensiklopedia / Analisis / Perilaku Geopolitik di Era Asia Pasifik (Bagian 1)

Perilaku Geopolitik di Era Asia Pasifik (Bagian 1)

Bila mencermati suatu peristiwa dan/atau sebuah fenomena global dari perspektif geopolitik, sesungguhnya tidak ada lagi istilah isu agama, atau isu HAM, isu demokrasi, atau isu intoleransi dan lain-lain, termasuk kabar aktual yang sedang tren saat ini yaitu kegaduhan global gara-gara isu nuklir Korea Utara (Korut).

Konflik baik intrastate maupun interstate apapun, kapanpun dan dimanapun, meski ada pemicu (lokal) lain namun sejatinya faktor utama ialah (geo) ekonomi. Ini clue geopolitik. Dengan kata lain, publik jangan terperdaya oleh isu-isu permulaan yang ditebar, sebab ia cuma pintu pembuka. Misalnya, ketika dulu Amerika Serikat (AS) dan sekutunya NATO menyerbu secara militer ke Afghanistan tahun 2001, apakah yang menjadi dalih atau isunya? Al Qaeda. Tatkala AS dan sekutu kembali menyerbu Irak tahun 2003, isu apa yang dilempar? Saddam menyimpan senjata pemusnah massal. Manakala dulu pasukan baret biru ‘menyerbu’ Timor Timur berbekal resolusi PBB, isu mana yang diangkat? Pelanggaran HAM.

Pertanyaannya, apakah berbagai isu serta penyerbuan secara terbuka itu merupakan hal utama alias tujuan pokok? Tidak. Isu adalah pintu pembuka, pendudukan militer hanya sasaran antara saja atau istilahnya (geo) strategi guna memasuki wilayah kedaulatan negara lain yang menjadi target. Lalu tujuannya? Tak lain dan tak bukan adalah geoekonomi. Minyak dan gas bumi.

If you would understand world geopolitics today, follow the oil, kata Deep Stoat. “Jika ingin memahami geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak.” Ya, kendati pada era kolonialisme klasik dulu (Perang Dunia l dan ll), rempah-rempah menjadi tujuan juga, namun kini berkembang pula asumsi “follow the money” (ikuti aliran uang) apabila ingin mengetahui real geopolitik. Tidak masalah. Ketiganya adalah unsur utama geoekonomi dalam pola kolonialisme.

Terkait uraian di atas, retorika pun muncul, seandainya Afghanistan hanya penghasil singkong, apakah bakal ada isu tentang Al Qaeda? Juga di Irak, bila Negeri 1001 Malam itu cuma produsen sandal jepit, akankah muncul isu senjata pemusnah massal? Seandainya tidak ditemukan potensi besar minyak di Celah Timor, apakah kemarin akan muncul isu HAM di Timor Timur? Demikianlah pisau geopolitik mengupas, membedah dan menguliti anatomi kasus-kasus yang muncul di panggung global. Dalam catatan ini, termasuk isu nuklir Korut.

Seperti halnya al Qaeda di Afghanistan, atau senjata pemusnah massal di Irak, ataupun isu HAM di Timor Timur dahulu, itu cuma isu belaka, ia hanya dalih semata. Pintu pembuka. Cermatan geopolitik, Korut adalah sasaran antara, karena ada tujuan yang lebih besar hendak dituju para adidaya terkait dengan geoekonomi.

Simpul-simpul diskusi di Global Future Institute (GFI), Jakarta, bertema “Membaca Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korut dan Dampaknya bagi Indonesia” (9/11/17) menyuratkan, antara lain:

Pertama, ideologi ‘Juche‘ atau self reliance alias percaya pada kemampuan diri sendiri merupakan sisi positif (strenght), dianggap kekuatan dahsyat bagi Korut sehingga ia berani melawan superpower Barat (AS);

Kedua, Indonesia agar tetap bersikap non blok, tidak terpancing para pihak yang hendak melancarkan embargo dan/atau aksi-aksi isolasi lainnya;

Ketiga, melalui ASEAN, Indonesia perlu memainkan peran positif terkait perdamaian kawasan;

Keempat, ketegangan di Semenanjung Korea adalah buah dari perubahan landscape geopolik di Asia Timur akibat kebangkitan ekonomi dan militer Cina;

Kelima, Rusia tak akan tinggal diam karena masih memiliki pengaruh besar di Asia Timur;

Keenam, Jepang pun memanfaatkan situasi tersebut untuk meningkatkan kapasitas militernya, terutama mengubah konstitusi dari kekuatan self defense menjadi ofensif yang memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan militer terhadap negara lain;

Ketujuh, pembicaraan denuklirisasi dan perdamaian di Semenanjung Korea hanya melibatkan enam negara (AS, Cina, Rusia, Jepang, Korsel dan Korut) dimana masing-masing negara punya kepentingan langsung dengan kawasan tersebut. Jadi perlu aktor netral yang terlibat aktif, dan tampaknya Indonesia berpeluang;

Kedelapan, motivasi Korut membangun kapasitas militer dan nuklirnya semata-mata guna menjaga agar tidak diperlakukan semena-mena;

Kesembilan, walau diembargo sedemikian, Korut punya kemampuan bertahan serta memiliki semangat persatuan yang kuat;

Kesepuluh, perlu mengajak Afrika dan Amerika Latin guna menyelesaikan isu Korut sebagaimana pendekatan Bung Karno dulu pada KAA Bandung (1955) dan Gerakan Non Blok Beograd (1961).

Merujuk prolog dan memperhatikan sepuluh pointers diskusi di GFI, geopolitik membaca, bahwa kegaduhan di Semenanjung Korea bertajuk isu nuklir tak lepas dari fenomena aktual Abad ke 21 yaitu geopolitical shift (pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik. Pertanyaan menarik timbul, kenapa geopolitik bergeser; “apa”-nya yang bergeser; dan dimana episentrum pergeseran/titik tuju?

  • Oleh: Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

About admin

Check Also

Masjid al-Aqsha; Tempat al-Ghazali Menulis Ihya Ulumuddin

“Ketika Yerusalem ditaklukkan oleh tentara salib, posisi masjid diubah statusnya menjadi istana kerajaan dengan nama ...