Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik zikir adalah Laa ilaaha illaa Allah” (Tiada Tuhan selain Allah).
Di dalam dunia tarekat sufi/tasawuf terdapat bermacam-macam metode zikir yang diajarkan oleh para mursyid/syeikh sufi kepada para muridnya. Semuanya itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada banyak tingkatan zikir yang berjenjang-jenjang dan cara pengucapan atau cara mempraktekkannya.
Menurut salah seorang ulama sufi Tuangku Syeikh Muhammad Ali Hanafiah, apapun tarekatnya, ada 3 metode zikir:
1. Zikir jasad
2. Zikir hati/ruh
3. Zikir sirr/nurani
Zikir jasad kalimatnya adalah Laa ilaaha illaa Allah لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱلله, zikir hati kalimatnya adalah Hu Allah, sedangkan zikir sirr kalimatnya adalah Hu.
Dari ketiga bentuk atau metode zikir tersebut tidak ada yang melebihi atau lebih utama dari yang lain kecuali kalimat Laa ilaaha illaa Allah sesuai dengan sabda nabi. Jadi tidak ada ungkapan yang mengatakan bahwa tingkatan zikir yang tertinggi adalah “Hu” atau “Hu Allah”.
Tapi di dalam latihan atau riyadhah kita harus melewati dulu bagaimana meresapi kalimat “Allah…Allah…Allah…” atau “Hu Allah…Hu Allah…” yaitu zikir ruh kemudian belajar meresapi kalimat “Hu….Hu…Hu…” yaitu zikir sirr. Hu artinya “Dia”. Jadi dalam latihan kita belajar untuk meresapi dan belajar dulu bagaimana melihat Allah dengan pandangan hati.
Jika ada orang atau kelompok yang mengatakan bahwa zikir “Hu” atau “Hu Allah” lebih tinggi dari zikir Laa ilaaha illaa Allah itu salah karena telah bertentangan dengan sabda nabi.
Lalu untuk apa zikir “Hu” dan “Hu Allah” itu sangat penting dalam dunia tarekat?
Zikir “Hu” adalah zikir latihan/riyadhah yang bertujuan untuk memberi bobot kepada zikir tauhid yaitu Laa ilaaha illaa Allah. Zikir Laa ilaaha illaa Allah adalah zikir penyaksian. Penyaksian di sini adalah betul-betul menyaksikan Allah dengan hati dan paham dengan apa yang dilihatnya, bukan sekedar ucapan mulut kosong saja atau ucapan apa yang kita baca atau yang diajarkan oleh guru-guru kita. Tetapi sebelum kita mengucapkan kalimat Laa ilaaha illaa Allah terlebih dahulu kita betul-betul telah meyaksikan Allah dengan hati, memahami dan merasakan kehadiran Allah lebih dekat dan lebih nyata dari wujudnya kita sendiri. Sehingga dengan peyaksian itu zikir kita jauh lebih berbobot.
Perlu kita ketahui bahwa kalimat syahadat adalah kalimat penyaksian
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah”
Bunyi kalimatnya adalah bersaksi bukan mengakui.
Untuk itulah, para mursyid sufi mengajarkan zikir “Hu” zikir yang dipraktekan dalam latihan untuk belajar dan mencapai tingkatan meyaksikan Allah dengan hati, meresapi kalimat Allah hingga hati itu betul-betul paham dan betul-betul dapat melihat atau meyaksikan Allah lebih nyata dari dirinya sendiri .
Setelah hati itu dapat meyaksikan Allah baru di kembalikan kepada zikir Laa ilaaha illaa Allah, sehingga zikir tauhid tersebut memiliki bobot karena ucapan yang di ucapkan oleh sang murid tersebut betul-betul ucapan yang berdasarkan penyaksiannya sendiri, bukan sekedar kalimat kosong belaka. itulah iman yang sebenarnya, imannya para nabi dan rasul, iman yang berdasarkan atas penyaksian akan kenyataan Allah.
Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah juga mengatakan:
Jika kalimat Laa ilaaha illaa Allah di umpamakan sebuah tubuh manusia maka jantung daripada Laa ilaaha illaa Allah adalah kalimat “Hu Allah”. Orang tidak akan bisa memahami Laa ilaaha illaa Allah sebelum dia meyaksikan Allah. Kalimat Laa ilaaha illaa Allah adalah kalimat mukaasyafah, kalimat tersingkapnya hijab terpandangnya Dzat Wajah Kekasih.
Menyaksikan disini maksudnya adalah menyaksikan dengan hati bukan dengan kedua mata kita. untuk mencapai tingkatan penyaksian itu maka di ciptakanlah metode atau cara untuk mencapai maqam tersebut dalam dunia tareqat atau dunia tasawuf dengan zikir “Hu Allah” dan zikr “Hu”. Dan kedua model zikir tersebut berguna untuk menghantarkan kembali ke sebaik-baik zikir yaitu:
Dengan pengucapan yang betul betul berdasarkan kepada apa yang di lihat dan di saksikan oleh hatinya, di rasakan dan di pahami oleh hatinya. karena hati tidak pernah bohong dengan apa yang di lihatnya, sehingga zikir tersebut bukan sekedar zikirnya orang awam atau sekedar mengucapkan apa yang tertulis saja tanpa di ketahui dan di pahami dan di pandang oleh hatinya sang pemilik nama yaitu Allah.
Jadi jika masih ada orang di luar tarekat sufi yang mengatakan zikir “Hu Allah” dan zikir “Hu” sesat adalah salah, karena itu adalah zikir riyadhah/latihan. Dan jika ada orang atau kelompok sufi yang mengatakan bahwa zikir Hu Allah lebih tinggi dari zikir Laa ilaaha illaa Allah itu juga salah karena sebaik baik zikir adalah :
Di dalam tarekat sufi yang masih murni dan masih sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad zikir terbaiknya adalah zikir Laa ilaaha illaa Allah yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau.
Zikir “HU” Adalah Ungkapan Rindu Dan Cinta Para Sufi
Perjalanan ruhani adalah perjalanan rasa jasmani kepada rasa ruhani menuju rasa nurani yang merasakan kehadiran Allah, kedekatan, dan kenyataan Allah.
“HU” adalah ungkapan rindu dan cinta untuk menemukan nama yang bernama Allah. Ketika ketemu nama, lidah Rasulullah saw dapat menyatakan Laa Ilaaha Illaa Allah. Melalui nurani, para nabi menemukan Allah.
“HU” merupakan jembatan ruhani untuk mengarungi “Lembah Suci” yang bernama Tuwa. Untuk melewatinya, seorang hamba harus melepaskan kedua terompah, yakni akal dan hawa nafsu.
Ketika hendak berzikir “HU”, hapuskan segala rencana-rencana dalam pikiran kita ketika nanti selesai zikir. Anggap saja itu adalah waktu dan kesempatan terakhir untuk mendatangi Allah.
Nama “Allah” merupakan nama yang diridhai Tuhan atas diri-Nya. Nama inilah yang akan ditemukan di nurani. Mengapa di nurani? Karena nurani merupakan sifat Allah.
Dengan menemukan nama di dalam nurani, maka kita akan mengetahui apa tujuan hidup kita, yakni untuk menyembah kepada Allah.
Nama yang ditemukan di nurani bukanlah huruf atau suara, melainkan suatu kenyataan yang lebih nyata dari apapun. Inilah yang disebut penyaksian atau musyahadah.
Mari kita saksikan dalam video berikut ini penjelasan dari Tuangku Syaikh Muhammad Ali hanafiah Al-Quthub Ar-Rabbani.