“Puasa dan sabar adalah sebuah “mata uang” bersisi dua yang menempel pada “koin” yang disebut ma’rifat. Puasa tanpa tujuan ma’rifat akan kehilangan makna dan kehilangan pencapaiannya”
Oleh: alHajj Ahmad Baihaqi*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku yang dicintai Allah, salah satu sifat yang diharapkan terbentuk di bulan Ramadhan adalah sifat sabar. Pembentukan itu bukan tanpa tujuan atau semata-mata untuk hiasan diri saja.
Allah SWT memaklumatkan bahwa puasa itu akan melahirkan manusia-manusia bertaqwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183). Tahap awalnya, seseorang yang berpuasa semestinya tergiring untuk bertanya tentang Tuhan. Di dalam dirinya mesti muncul pertanyaan tersebut. Pada QS. Al-Baqarah [2]: 186, Allah SWT memberikan sinyalemen tentang kerinduan seorang yang berpuasa kepada Tuhannya:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ۞
wa idzã sa’alaka ‘ibãdî ‘annî fa innî qarîb, ujîbu da‘watad-dã‘i idzã da‘ãni falyastajîbû lî walyu’minû bî la‘allahum yarsyudûn
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Berkaitan dengan pembentukan sifat-sifat yang berkaitan dengan kerinduan dan kedekatan akan Tuhan, Rasulullah SAW mengaitkan puasa dengan sifat sabar. Karena sifat sabar itu sangat dekat dengan Tuhan. Beliau SAW bersabda:
اَلصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ
Ash-shaumu nishfush shabri
“Puasa itu setengah sabar” (HR. Imam At-Tirmidzi dari seorang laki-laki dari suku Bani Salim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali secara khusus membahas sabar dalam kaitannya dengan amaliyah ibadah puasa. Menurutnya, sabar ada 3 macam: pertama, sabar atas ketaatan kepada Allah. Kedua, sabar atas hal-hal yang diharamkan Allah dan ketiga, sabar atas ketetapan Allah yang pahit atau susah (musibah).
Selanjutnya, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan bahwa dalam pelaksanaan ibadah puasa berkumpul tiga kesabaran sekaligus yaitu kesabaran atas yang diharamkan Allah yaitu nafsu syahwat dan kesabaran atas sesuatu yang dihasilkan orang berpuasa yaitu kesusahan lapar, haus, lemahnya diri dan badan. Menyengaja untuk lapar dan haus, karena mentaati perintah Allah, menghindari larangan-Nya, dan bersiap merasakan kesusahannya, merupakan tindakan yang dapat mempertajam kesabaran manusia.
Nah, mulai dari sifat sabar inilah perjalanan Tauhid seorang yang berpuasa dimulai. Lalu, apa itu sabar? Apa kaitannya dengan puasa? Dan bagaimana sifat sabar itu dibersamai oleh Tuhan? Sebagaimana firman-Nya SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ ۞
Yã ayyuhal ladzîna ãmanus-ta’înû bish-shabri wash-shalãti innallãha ma’ash shãbirîn
“Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153)
Sabar itu berasal dari bahasa Arab, ash-shabru, yang sudah diserap menjadi istilah dalam bahasa Indonesia menjadi kata “sabar”. Padanan kata sabar dalam bahasa Arab adalah al-man’u (mencegah), atau al-habsu (menahan atau mengekang).
Sedangkan istilah puasa bukanlah berasal dari bahasa Arab tetapi berasal dari bahasa sanskerta yang artinya juga menahan diri, merupakan gabungan dua kata yang terdiri dari upa (menahan) dan wasa (diri). Istilah puasa dalam bahasa Arab memakai kata shaum atau shiãm yang padanannya adalah al-imsãku yang artinya juga menahan, mengekang, atau menggenggam.
Istilah “sabar” merupakan sebuah sifat atau prilaku bathin yang mendatangkan berbagai macam fadhîlah (keutamaan) terutama secara ruhani. Karena itu, sifat sabar selalu dihubungkan secara langsung kepada makna puasa. Lantaran makna puasa, ya tadi itu, artinya menahan, mengekang atau menggenggam. Perintah puasa dan sifat sabar merupakan persenyawaan yang dapat menghantarkan seseorang untuk sampai kepada fitrahnya, takdirnya atau potensi awal kejadian dirinya.
Keutamaan orang berpuasa terletak pada sifat sabar yang secara langsung dihubungkan kepada Tuhan. Karena istilah sabar juga merupakan nama Tuhan, yakni ash-Shabûr. Ash-Shabru dengan Ash-Shabûr merupakan dua kata hasil perubahan dari sumber kata dasar (tsulãtsil mujarrad) yang sama, yakni shabara.
Ash-Shabûr adalah nama Tuhan yang bermakna Maha Sabar. Karena itu, wajar saja jika dikatakan bahwa seseorang yang memiliki sifat sabar lebih dekat dengan Tuhannya, “inallãha ma’ash shãbirîn“, sebagaimana ayat di atas. Bahwa orang sabar itu disayang Tuhan, dasar inilah yang menjadi alasan saya mengatakan bahwa sifat sabar itu punya tiang ke-Tuhan-an.
Sabar itu tidaklah semata-mata suatu perbuatan yang realitasnya sekedar menahan diri, tapi menahan diri karena Tuhan. Menahan diri karena suatu alasan ke-Tuhan-an adalah kenyataan sinergisme antara hamba dengan Tuhan. Diri yang bersabar (ash-Shãbir) akan manunggal dengan Yang Maha Sabar (ash-Shabûr).
Kemanunggalan hamba dengan Tuhan melalui sifat sabar adalah makna hakiki dari sifat ikhlas. Karena itu juga saya katakan bahwa lapisan terdalam setelah sifat sabar adalah ikhlas. Artinya, ketika sifat sabar “dibedah”, lapisan terdalamnya adalah ikhlas. Cocoknya lagi bahwa istilah “ikhlas” itu bermakna melepaskan atau menanggalkan. Nah, prilaku ikhlas itu pada realitasnya adalah sebuah kepasrahan total yang dinisbahkan kepada Tuhan. Sebuah pentahapan untuk memasuki gerbang tauhid. Coba perhatikan baik-baik surat al-Ikhlãsh dalam al-Qur’an. Isi surat al-Ikhlãsh secara keseluruhan menjabarkan tentang Tuhan, tidak menyebut istilah ikhlas yang menjadi nama surat itu sendiri. Tak ada kata “ikhlas” dalam surat al-Ikhlãsh, yang ada hanyalah penjabaran tentang Tuhan. Tahap inilah yang disebut sebagai “Tauhid”.
Tauhid adalah kemanunggalan hamba dengan Tuhan, bukan persatuan. Meski ia berasal dari kata satu (wãhid), istilah tauhid itu merujuk kepada sifat-sifat Tuhan yang sudah mempribadi. Karena itu, Tuhan dalam surat al-Ikhlãsh tidak disebut sebagai Wãhid, tetapi Ahad. Ahad adalah manifestasi Wahid sebagai implikasi dari adanya pelepasan jubah kemakhlukan yang disebut ikhlas. Sejauh ini, sifat ikhlas itu menjadi unique untuk dimiliki oleh seorang manusia. Karena kedalaman ikhlas itu tak terbatas. Jadi, Tauhid adalah representasi pentahapan akhir setelah sabar dan ikhlas. Sosoknya disebut sebagai Ahad.
Kembali ke laptop. Nah, jadi apa sih rahasia puasa itu? Saya katakan bahwa puasa dan sabar adalah sebuah “mata uang” bersisi dua yang menempel pada “koin” yang disebut ma’rifat. Puasa tanpa tujuan ma’rifat akan kehilangan makna dan kehilangan pencapaiannya. Karena itu, puasa ibarat gerbang untuk memasuki “lorong” sabar yang nantinya akan bertemu dengan “ruang” keikhlasan. Di sisi ini, kalimat singkatnya, bahwa puasa itu merupakan jalan menuju Tuhan (suluk).
Menjadi sebuah keniscayaan, ketika seseorang menetapkan dirinya pada jalan Tuhan (suluk) disebut sebagai seorang yang menjalankan puasa sepanjang waktu. Setiap niat yang mendahului perbuatannya adalah manifestasi dari permohonan ampunan (istighfãr). Puasa menjadi sebuah tekad dan perhiasannya sehari-hari. Mengingat bahwa menuju Tuhan itu adalah mutlak bagi setiap manusia dalam kehidupannya di dunia. Tuhan menjadi tujuan hidupnya dan berada di atas semua kepentingan.
Setiap perbuatan yang dinisbahkan kepada Tuhan, tanpa terkecuali (bahkan buang air besar di WC sekalipun -maaf), akan berimplikasi pada pengampunan dosa meski ia tidak meminta-minta ampunan. Lho, kok tidak meminta ampunan? Ya, karena nafasnya itu adalah realitas permohonan ampunan dosa itu sendiri. Ia include ke dalam pencaharian dan perjalanannya menuju Tuhan. Hal itu dimunculkan dengan sebuah kesadaran tentang dirinya kepada Tuhan. Menyadari keadaan dirinya saat ini adalah sebuah ihtisãb (cermin) dan sekaligus menjadi permohonan ampunan dosa (istighfãr). Puasa dalam makna ini akan menggiring diri menuju fitrah hakiki, yakni pelepasan baju kemakhlukan yang menjadi makna ikhlas dan secara bertahap dicapai melalui sifat sabar.
Fadhilah kekayaan bathin dalam sifat sabar melalui puasa akan memunculkan hikmah yang tiada bandingannya. Inilah yang dikatakan sebagai “Ketetapan Ramadhan” (qãma ramadhãna). Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang bangun di malam bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, ia telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Man qãma ramadhãna îmãnan wah-tisãban ghufira lahû mã taqaddama min dzanbih
Jadi, “…qãma ramadhãna…” bukan sekedar bangun malam dan menjalankan shalat tarawih, tapi mengandung makna meneguhkan iman dan membuka khazanah kesadaran diri (ihtisãb). Ihtisãb adalah introspeksi (bercermin) dengan khidmat sebagai makna terdalam shalat tarawih. Iman dan ihtisãb di malam Ramadhan itu saya katakan sebagai “Ketetapan Ramadhan”, yakni sebuah ketetapan diri untuk berada pada jalan Tuhan (suluk).
Orang yang berlapar-lapar dan berhaus-haus tanpa tujuan tauhid, hanya akan mendapatkan kelelahan dalam ibadah (anti-klimaks). Karena itu, penekanan Ramadhan berada pada keistiqomahan diri dalam sifat sabar untuk bisa mencapai “Ketetapan Ramadhan”.
Asyiknya lagi, bahwa untuk mencapai “Ketetapan Ramadhan” itu dimulai dengan ru’yah dan hisab di awal penentuan mulainya puasa. Secara syar’ie, ru’yah bermakna melihat bulan dan hisãb bermakna menghitung jarak bulan dari tempat terbitnya (ufuk).
Pada hakikatnya, ru’yah itu adalah penglihatan “cahaya bulan” dalam makna majazi. Ia diterjemahkan pada makna cahaya kebenaran Tuhan dalam bentuk sosok insani yang dikatakan Ahad tadi. Ketika kehalusan sosok cahaya insaninya terlihat, walau hanya sekejap (seperti melihat bulan di awal Ramadhan yang hanya berupa garis putih dengan hitungan detik saja), maka wajib baginya berpuasa. Artinya, wajib baginya menetapkan diri pada jalan Tuhan dengan cara iman dan ihtisãb dengan tahapan-tahapan sabar, ikhlas dan tauhid. Sebuah makna terdalam dari hanya sekedar berlapar-lapar dan berhaus-haus.
Jika belum terlihat cahaya kebenaran Tuhan dalam bentuk sosok insani walau hanya sekejap, maka gunakanlah metode istikmãl (menggenapi/menyempurnakan) hitungan Sya’ban. Menurut catatan sejarah, Sya’ban adalah sebuah penyebutan yang dinisbahkan pada usaha atau perjuangan orang Arab saat itu yang secara beramai-ramai keluar rumah untuk mencari air. Mereka melakukannya dengan cara berpencar ke segala penjuru mata angin. Istilah berpencar ke segala penjuru itulah yang disebut sebagai Sya’ban.
Pada hakikatnya, menyempurnakan hitungan Sya’ban (istikmãl) setelah tidak tercapai ru’yah itu bermakna menyempurnakan riyadhah dan mujahadah (upaya dan kesungguhannya) untuk bisa meniti “Ketetapan Ramadhan”-nya. Sedangkan Hisãb bermakna hakiki juga sebagai ihtisãb (bercermin). Jadi, Sya’bannya (jihadnya untuk mendapatkan “Ketetapan Ramadhan”) itu harus disempurnakan. Subhãnallãh, sebuah makna yang sempurna dan lengkap keberkaitannya satu sama lain. Syari’at dan hakikat bersinergi dalam jiwa untuk sebuah proses mencapai “Ketetapan Ramadhan” sehingga puasa (Ketetapan pada jalan Tuhan) wajib dijalankan.
Begitulah kiranya, bahwa sabar (shabr) pada satu sisi adalah ihtisãb pada sisi lain. Ru’yah (melihat bulan bulan), ketika ia berupa kilasan garis lurus yang sangat cepat, adalah sebuah simbolisasi kehalusan cahaya Tuhan yang super halus (Lathîf). Ketika diri ini mampu melihat kehalusan Tuhan itu, maka wajib baginya berpuasa. Artinya, memulai diri untuk cenderung dan bersinergi dengan Tuhan melalui sifat sabar. Kehati-hatian yang ekstra ketat sangat diperlukan agar diri kita ini tidak lagi dicabut dari penglihatan kepada cahaya Kebenaran Ketuhanan (ru’yah shãdiqah) yang super halus itu (Lahîf). Kiranya, tak akan ada yang dapat menemukan kilatan cahaya itu, kecuali pandangannya telah ditetapkan sebagai saksi. Ketajaman pandangan itu merupakan buah dari adanya kesabaran dan keikhlasan yang dibangunnya lebih awal.
Akhirnya, puasa itu adalah gerbang untuk memasuki sebuah proses Ketuhanan. Ia diisi dengan sifat sabar yang jika disimpulkan menjadi: Puasa → Sabar → Ikhlas → Tauhid → Ma’rifat. Semoga bermanfa’at !
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
اَللّٰهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ هَذَا الشَّهْرِ، وَبِحَقِّ مَنْ تَعَبَّدَ لَكَ فِيْهِ، مِنْ اِبْتِدَآئِهِ إلَى وَقْتِ فَنَآئِهِ، مِنْ مَلَكٍ قَرَّبْتَهُ، أَوْ نَبِيٍّ أَرْسَلْتَهُ، أَوْ عَبْدٍ صَالِحٍ اخْتَصَصْتَهُ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، وَأَهِّلْنَا فِيْهِ لِمَا وَعَدْتَ أَوْلِيآءَكَ مِنْ كَرَامَتِكَ، وَأَوْجِبْ لَنَا فِيْهِ مَا أَوْجَبْتَ لِأَهْلِ الْمُبَالَغَةِ فِي طَاعَتِكَ، وَاجْعَلْنَا فِي نَظْمِ مَنْ اِسْتَحَقَّ الرَّفِيْعَ الْأَعْلَى بِرَحْمَتِكَ .
Allãhumma innî as’aluka bihaqqi hãdzasy syahr, wa bihaqqi man ta’abbada laka fîh, min ibtidã’ihi ilã waqti fanã’ih, min malakin qarrabtah, aw nabiyyin arsaltah, aw ‘abdin shãlihin ikhtashashtah, an tushalliya ‘alã muhammadin wa ãlih, wa ahhilnã fîhi limã wa’adta awliyã’aka min karãmatik, wa awjib lanã fîhi mã awjabta li-ahlil mubãlaghati fî thã’atik, waj’alnã fî nadzhmi man istahaqqar rafî’al a’lã birahmatik
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu melalui kebenaran bulan ini, dan kebenaran mereka yang beribadah kepada-Mu di dalamnya, dari permulaan hingga fananya waktu, dari kerajaan yang telah engkau dekatkan, atau Nabi yang telah Engkau utus, atau hamba shaleh yang telah Engkau khususkan, Engkau bershalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, dan jadikan kami bagian dari kalangan para wali-Mu yang telah Engkau janjikan kemuliaan-Mu, dan tetapkan kami di dalamnya sebagaimana Engkau tetapkan bagi para ahlul mubalaghah sebuah ketaatan kepada-Mu, dan jadikanlah kami dalam rangkaian mereka yang pantas menerima kedudukan tinggi (rafî’ al-a’lã) dengan kasih sayang-Mu”. (Imam Ali Zainal ‘Abidin as-Sajjad).
___________
* Salah satu murid paling junior di Pasulukan Loka Gandasasmita