Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, beberapa waktu lalu, ada artikel yang kami sajikan tentang “thahârah inderawi dan thahârah maknawi“.
Kali ini, akan kami sajikan sebuah artikel yang mendetilkan artikel yang lalu dalam hal thahârah. Utamanya tentang wudhu berdasarkan perspektif hakikat.
Pengertian Dasar (Syari’at) tentang Thaharah
Wudhu dalam Kitab-kitab fiqih klasik merupakan salah satu pembahasan yang masuk dalam bab tentang thahârah (penyucian).
Pembahasan tentang wudhu tak bisa dilepaskan dari pengetahuan dasar tentang air, najis dan hadats, cara beristinja, dst.
Jika belum mengerti tentang kajian-kajian dasar fiqih dalam hal thahârah, maka tak perlu melanjutkan membaca tulisan ini. Karena tulisan singkat ini merupakan salah satu petikan kajian dari sekian banyak kajian hakikat yang ketika menyelaminya harus dengan penguasaan dasar fiqih syar’ie.
Status wudhu dalam kaitannya dengan amaliyah ibadah begitu sangat penting. Meskipun hukum dasarnya sunnah, namun ketika dikaitkan dengan shalat maka hukumnya menjadi wajib. Tanpa wudhu, maka shalatnya tidak sah.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ -صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَقْبَل اللّٰهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَث حَتَّى يَتوضَّأَ.
“Dari Abu Hurairah ra., berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kalian saat sedang berhadats, hingga ia berwudhu“.
Beliau SAW juga bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ
“Kunci shalat adalah kesucian.”
Allah SWT berfirman:
فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْاۚ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ ۞
“Di dalam masjid itu terdapat orang-orang yang cinta untuk menyucikan dirinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. 9:108).
Nabi Saw. juga bersabda:
اَلطُّهُوْرُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
“Kesucian adalah separuh dari iman.” (Tirmizî, Da‘awât 3519)
Allah SWT berfirman:
مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلٰڪِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ ۞
“Tidaklah Allah hendak menjadikan kesulitan bagi kalian, tetapi yang Dia inginkan adalah menyucikan kalian” (QS. 5:6).
Pengertian Lanjutan (Hakikat) tentang Thaharah
Jika pengertian dasar di atas lebih memfokuskan pada kebersihan-kebersihan lahiriyah, maka pada pengertian lanjutannya adalah memfokuskan diri pada kebersihan bathiniyyah (sirr).
Jika proses manusia dalam menuju Allah SWT melalui empat etape; syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat, maka thahârah tingkat lanjut berada pada etape hakikat, setelah sebelumnya mesti didahului dengan pernyataan diri untuk berada pada bimbingan seorang guru yang menjamin dalam sisi thariqatnya.
Betapa pentingnya memahami hakikat segala sesuatu yang terdapat dalam ajaran syariat yang tertulis dalam fiqih. Para pemilik mata batin (bashîrah) memahami berdasarkan arti lahiriah nash di atas bahwa perkara yang paling penting dalam hal ini adalah penyucian secara sirr, hakikat, atau bathiniyyah.
Sebab, sungguh jauh jika dikatakan bahwa maksud dari sabda Rasulullah SAW “Kesucian adalah separuh dari iman” adalah menjaga bangunan fisik dengan kebersihan lewat air yang disiramkan, namun pada saat yang sama merobohkan kesucian batin dengan membiarkannya dipenuhi oleh hal-hal keji dan kotor. Sungguh mustahil itu yang dimaksud!
Jika dalam perintah shalat diajarkan juga tata caranya secara syari’at, maka ia akan mengandung makna hakikat yang penegakkannya menyasar pada bangunan bathin. Inilah yang disebut shalat dâim.
Ketika seseorang sudah masuk dan berada pada shalat dâim sebagai manifestasi hakikat, maka seluruh tema penyucian (thahârah) yang mendahuluinya juga mesti dinyatakan dengan hakikat. Karena itu, shalat hakikat harus didahului dengan wudhu hakikat.
Thahârah memiliki empat level:
1. Penyucian badan dari segala hadats, baik hadats kecil maupun besar (Jasadiyyah).
2. Penyucian anggota badan dari perbuatan dan dosa (‘Amaliyyah).
3. Penyucian qalbu dari akhlak-akhlak buruk dan segala perbuatan hina yang tercela (Qalbiyyah).
4. Penyucian sirr dari segala sesuatu selain Allah SWT (Sirriyyah).
Thahârah yang terakhir adalah thahârahnya para nabi dan orang-orang terpercaya (ash-Shiddîqîn). Tetapi, thahârah pada setiap level di atasnya hanyalah separuh dari amal masing-masing level.
Tujuan utama dari amal sirr adalah tersingkapnya Keagungan dan Kebesaran Jalâl Allah SWT baginya (yang bersuci; al-Anbiyâ wash-Shiddîqîn).
Namun, ma‘rifah tentang Allah SWT tidak akan bisa benar-benar menempati sirr selama di dalamnya masih ada sesuatu selain Allah SWT.
Karena itu, Allah SWT berfirman,
قُلِ اللّٰهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ ۞
“Katakanlah, ‘Allah!’ dan tinggalkanlah mereka!” (QS. 6:91)
Sebab dua hal tersebut (ma‘rifah dan sesuatu selain Allah SWT) tidak mungkin bisa berkumpul di dalam qalbu, dan Allah SWT tidak menjadikan bagi seseorang dua qalbu dalam rongga dadanya.
مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ ۚ ۞
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya” (QS. 33:4).
Adapun tujuan utama dari amal qalbu adalah terpenuhinya qalbu dengan akhlak-akhlak terpuji dan akidah-akidah yang sejalan dengan ketetapan syari‘at. Tetapi, qalbu tidak mungkin bisa terhiasi oleh hal-hal tersebut jika belum dibersihkan dari lawan-lawannya, yaitu akidah-akidah yang rusak dan akhlak-akhlak yang hina dan tercela.
Dengan demikian, penyucian qalbu hanyalah satu bagian dari dua bagian amal qalbu, dan ia menjadi separuh pertama yang menjadi syarat untuk tercapainya separuh kedua.
Berdasarkan makna inilah kesucian menjadi salah satu bagian dari iman. Demikian pula dengan penyucian anggota-anggota tubuh dari segala perbuatan yang dilarang, ia adalah satu dari dua bagian amal anggota tubuh, dan memenuhinya dengan ketaatan adalah bagian yang kedua.
Ini semua adalah maqâm-maqâm iman, dan setiap maqâm menjadi sebuah tingkatan. Seorang hamba tidak akan bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi sebelum berhasil melewati tingkatan di bawahnya.
Ia tidak akan bisa menyucikan sirr dari sifat-sifat tercela dan memenuhinya dengan sifat-sifat terpuji sebelum menyucikan qalbu dari akhlak tercela dan mengisinya dengan akhlak terpuji. Dan ia tidak akan bisa mencapai semua itu sebelum menyucikan anggota-anggota badannya dari perbuatan terlarang dan memenuhinya dengan ketaatan.
Semakin agung dan luhur sebuah tujuan, jalan yang ditempuh pasti semakin sulit, lintasannya akan panjang dan banyak aral melintang. Karena itu, jangan pernah kau berpikir bahwa perkara ini bisa dicapai hanya dengan angan-angan dan dapat diperoleh dengan bermalas-malasan.
Benar memang, barangsiapa buta mata hatinya dari melihat perbedaan tingkatan-tingkatan tersebut, tidak akan bisa memahami level-level thahârah kecuali derajat paling rendah yang berada seperti kulit paling luar jika dibandingkan dengan isi yang menjadi tujuan.
Akibatnya, ia hanya berkutat pada derajat itu dan mendalami bahasan-bahasannya, hingga menghabiskan seluruh waktunya untuk beristinja, mencuci pakaian, membersihkan fisik dan sibuk mencari air yang alirannya deras.
Semua itu karena ia menyangka lantaran was-was dan kekacauan pikirannya bahwa thahârah yang dituntut dan paling tinggi kedudukannya hanyalah thahârah fisik (syari’at).
Tata Cara Wudhu secara Hakikat
Jika ada kategori air yang suci menyucikan sebelum menjalankan amaliyah wudhu secara syari’at, maka dalam tingkat lanjutan juga ada dikenal juga dengan “air hakikat” yang suci dan menyucikan. Apa itu?
“Air hakikat” dalam pembahasan ini adalah pikiran kita sendiri. Pikiran kita sama seperti air; ada yang kotor, ada yang suci, dan ada yang suci menyucikan. Dari mana sumber air itu?
Sumber “air hakikat” yang suci dan menyucikan dalam diri kita diambil dari sebuah ‘wadah yang lapang’ yang disebut dengan jiwa.
“Air hakikat” yang berupa pikiran jernih itu berada pada jiwa yang lapang. Jiwa yang sempit tak akan mungkin bisa memunculkan pikiran jernih atau “air hakikat”.
Jiwa yang sempit akan membuat air pikiran menjadi kotor. Kekotoran air pikiran secara perlahan akan menjadi jernih hingga dapat menyucikan semua perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan, jika wadah yang menjadi tempatnya semakin dilapangkan.
Lalu bagaimana cara meluaskan ‘wadah’ dari “air hakikat” tersebut sehingga ia bisa dikategorikan sebagai suci dan menyucikan?
Pada prinsipnya, jiwa tak bisa begitu saja diupayakan menjadi lapang tanpa ada pemicu yang membuatnya menjadi lapang. Kelapangan jiwa dapat tercapai jika dipicu oleh gesekan-gesekan dari ‘elemen’ kesengsaraan dan penderitaan. Kesengsaraan dan penderitaan itu tak bisa dibuat-buat melalui rekayasa-rekayasa tertentu. Allah SWT yang menentukan itu.
Tertimpa musibah dunia adalah salah satu elemen penderitaan yang bisa membuat gesekan pada jiwa sehingga ia menjadi lapang. Terjangkiti penyakit, dagangan yang bangkrut, jabatan yang lepas, kehilangan harta benda, dll, adalah elemen-elemen penderitaan yang bisa membuat gesekan pada jiwa sehingga ia menjadi lapang.
Dari sanalah akan terjadi suatu proses dimana jiwa akan mengalami keluasannya. Jiwa yang lapang akan memunculkan pikiran yang jernih. Pikiran yang jernih itulah yang bisa menyucikan seluruh perbuatan anggota badan dan panca indera kita.
Bisa saja elemen penderitaan tak diperlukan dalam meluaskan wadah jiwa sehingga ia memunculkan air pikiran jernih yang suci menyucikan, asalkan ia memiliki modal “air pikiran” yang tidak terlalu kotor. Namun itu sangat jarang sekali.
Dahsyatnya proses wudhu hakikat disebabkan oleh nafsu manusia yang menyelimuti kejernihan “air pikiran”. Nafsu manusialah yang memunculkan kebutuhan akan elemen penderitaan untuk proses wudhu hakikat. Berat ringannya tergantung dari tebal tipisnya karat yang menyelimuti jiwanya.
Membasuh wajah dalam wudhu secara syari’at, pada hakikatnya adalah menyucikan perbuatan yang keluar dari anggota panca indera yang ada di wajah; menyucikan penglihatan dari mata, menyucikan penciuman dari hidung, dan menyucikan ucapan dari mulut.
Membasuh kedua tangan juga seperti itu, yakni membersihkan segala perbuatan yang dilakukan oleh kedua tangan.
Membasuh sebagian kepala (rambut) adalah menyucikan kepala atau rambut dari sinyal-sinyal keburukan yang diakibatkannya.
Begitupun mencuci telinga, yakni membersihkan perbuatan mendengar yang dilakukan oleh telinga. Hingga berakhir di kaki, yakni menyucikan segala perbuatan yang muncul dari kaki.
Dengan demikian, wudhu hakikat adalah sebuah penyucian prilaku dari hadats perbuatan buruk. Perbuatan buruk yang dilakukan oleh anggota tubuh adalah hadats yang bisa membatalkan wudhu hakikat.
Semoga Allah SWT memberikan kita kemudahan dalam menghadapi proses-proses yang bisa membuat jiwa menjadi lapang sehingga memunculkan air hakikat yang suci menyucikan yang bisa dipakai untuk wudhu hakikat, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.