Home / Relaksasi / Renungan / WC Berbayar dan Pelajaran Berharga Bagi Mursyid Kami

WC Berbayar dan Pelajaran Berharga Bagi Mursyid Kami

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Allãhumma shalli ‘alã Sayyidinã Muhammad wa ‘alã ãli Sayyidinã Muhammad

اَللّٰهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ وَالْمُعَافَةَ الدّآئِمَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَالْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّجَاةَ مِنَ النَّارِ

Allãhumma innã nas-alukal ‘afwa wal-‘ãfiyata wal-mu’ãfatad dã’imata fid-dunyã wal-ãkhirati wal-fauza bil-jannati wan-najãta minan-nãri

“Ya Allah, kami mohon ampunan, kesehatan dan perlindungan yang terus menerus di dunia dan di akhirat, kemenangan masuk surga serta keselamatan dari api neraka.

Inilah kisah ketika Allah mengajarkan kepada Mursyid kami yang agung Syeikh Yazid Al-Bisthami. Sebagai anak dan murid beliau kami masih memegang teguh ajaran Jawa “Kacang manut lanjaran“, anak akan mengamati, meniru, serta mengikuti perilaku, sikap ataupun tingkah laku dari orang tuanya. Orang tua yang baik tentu akan memberi contoh atau mengajarkan budi pekerti, adab dan sopan santun yang luhur kepada anaknya. Maka dari itu kami turunkan kisah ini semoga kami bisa mengambil hikmah daripadanya.

Suatu hari, Imam Abu Yazid Al-Bisthami, salah seorang tokoh pembesar sufi kelahiran tahun 188 H (804 Masehi) berjalan-jalan ke pasar. Ketika berada di pasar, beliau sakit perut dan ingin qadha hajat. Beliau segera menuju WC umum di pasar itu. Namun, oleh penjaganya WC umum itu harus berbayar alias tidak gratis.

Imam Abu Yazid yang uangnya sudah habis di saku meminta diiizinkan oleh si penjaga masuk ke dalam WC. Ia berjanji akan membayar keesokan harinya. Sebab, hari itu uang beliau sudah habis. Tapi, oleh si penjaganya beliau malah dibentak-bentak dan dimarahi.

“Hei orang tua, ini WC umum berbayar. Jika kamu tidak punya uang, tidak perlu kau masuk ke dalam sana,” kata si penjaganya kasar.

“Aku sangat berhajat dengan tempat ini, bolehkah aku masuk hari ini dan aku bayar keesokan harinya,” pinta Imam Yazid.

“Hari ini kau punya uang, hari ini kau boleh memasukinya. Jika kau punya uang besok, berarti baru esok hari kau boleh memasukinya!” kata si penjaga WC itu kasar sembari mendorong tubuh Abu Yazid al-Bisthami hingga tersungkur ke tanah.

Saat tersungkur itulah, Imam Abu Yazid menangis. Sembari menangis beliau berkata:

“Duhai Allah. Betapa aku tahu bahwa tidak ada tempat yang paling hina di muka bumi ini, kecuali tempat qadha hajat ini, tempat kotoran manusia yang sangat menjijikkan”.

“Namun, untuk memasukinya saja orang harus membayarnya. Jika tidak memiliki uang, maka dia akan terusir dari penjaganya dan harus terhina seperti diriku ini”.

“Bagaimana dengan surga-Mu yang sangat agung. Bagaimana mungkin kami bisa memasukinya secara cuma-cuma. Bagaimana mungkin kami bisa membayarnya tanpa memiliki ketaatan ibadah kepada-Mu?”

“Di tempat terhina di dunia sekalipun, bila kami tidak mampu membayarnya, maka kami akan terusir, bagaimana dengan tempat termulia yang Engkau janjikan bagi orang beriman, bila kami ingin memasukinya jika hanya dengan angan-angan?”

“Ya Allah, kami menginginkan surga-Mu, tapi kami lalai memperbanyak beribadah padamu. Kami menginginkan surga-Mu, tapi hati kami memalingkan pada kenikmatan duniawi semata. Kami menginginkan akhirat, sedangkan hati kami dipenuhi rasa cinta pada dunia.”

Begitulah pembelajaran dari orang-orang sufi yang hatinya dipenuhi cinta pada akhirat. Mereka memandang kemewahan dunia ini tak berarti apa-apa dibandingkan kenikmatan di akhirat. Semewah-mewahnya dunia, dia tetaplah menjadi tempat yang menampung banyak kotoran di dalamnya.

Demikianlah sebagai murid beliau maka kita wajib mengambil hikmah dari tiap kejadian baik dan buruk yang menimpa kita karena di dalamnya pasti ada pelajaran Allah untuk sama-sama kita renungkan.

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...