“Dasar penghitungan waktu dibagi dua; solar (matahari) dan lunar (bulan). Solar sering dinisbahkan pada sistem waktu Masehi, disebut juga Syamsiyyah atau Miladiyyah, sedangkan lunar dinisbahkan pada sistem waktu Hijriyyah, disebut juga Qamariyyah. Keduanya menjadi pedoman bagi umat Islam untuk beribadah”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Dalam sistem penghitungan waktu, kalender Masehi dan kalender Hijriyah memiliki perhitungan yang berbeda. Karena itulah, maka hari raya umat Islam biasanya tak pernah berada di tanggal yang sama pada kalender Masehi.
Perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi) digunakan sebagai basis penghitungan kalender Masehi. Sedangkan perputaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan) digunakan untuk menentukan kalender Hijriyah.
Sistem penanggalan Masehi ditentukan berdasarkan kala revolusi bumi. Namun, pada sistem penanggalan Hijriyyah ditentukan berdasarkan kala revolusi bulan. Hal ini berakibat pada berbedanya sistem penghitungan pada kedua kalender tersebut.
Tahun Masehi
Tahun masehi dihitung menurut perputaran bumi mengelilingi Matahari (revolusi). Karena itu tahun masehi juga disebut tahun Syamsiyyah atau tahun Matahari. Satu hari adalah jumlah waktu yang diperlukan bumi untuk melakukan rotasi. Satu tahun adalah jumlah waktu yang diperlukan Bumi untuk mengelilingi Matahari. Satu tahun revolusi sama dengan 365, 25 hari.
Sejarah kalender Masehi amat panjang. Namun, secara singkat bisa disebutkan bahwa di zaman Kerajaan Romawi pada masa pemerintahan Julius Caesar, 1 tahun ditetapkan 365 hari. Pertanyaannya, di mana sisa 1/4 hari (0,25 hari atau 6 jam)-nya?
Ternyata 1/4 hari (0,25 hari atau 6 jam)-nya yang terkumpul selama 4 tahun atau sama dengan 1 hari itu ditambahkan ke dalam bulan Februari yang hanya terdiri dari 28 hari. Jadi, genap jumlah hari dalam 4 tahun itu adalah: 365 hari x 4 tahun + 1 hari = 1.461 hari
Sejak itu, setiap 4 tahun sekali Februari memiliki 29 hari. Tahun itu disebut tahun kabisat. Tahun kabisat terjadi jika suatu tahun habis dibagi 4, misalnya tahun 2012, 2016, dan tahun 2020.
Satu tahun Masehi dibagi menjadi 12 bulan dengan pembagian jumlah hari sebagai berikut:
- Januari: 31 hari
- Februari: 28/29 hari
- Maret: 31 hari
- April: 30 hari
- Mei: 31 hari
- Juni: 30 hari
- Juli: 31 hari
- Agustus: 31 hari
- September: 30 hari
- Oktober: 31 hari
- November: 30 hari
- Desember: 31 hari
Tahun Hijriyyah
Tahun hijriah disebut juga Tahun Bulan. Karena, dasar perhitungannya adalah lama bulan mengitari Bumi. Karena itu, kalender Hijriyyah dikenal dengan nama lain, yaitu tahun Qamariyyah atau juga tahun Islam.
Revolusi bulan mengelilingi Bumi memerlukan waktu lebih kurang 29,5 hari. Jadi 1 tahun Hijriyyah terdiri atas 354 hari. Dalam penghitungannya, pembulatan kalender Hijriyyah mengakibatkan usia tiap bulan diselang seling antara 29 dan 30 hari, kecuali pada bulan Dzulhijjah. Tahun kabisat Hijriyyah berusia 355 hari. Penghitungan tahun kabisat Hijriyyah adalah setiap jangka 30 tahunan sejak pertama kali tahun tersebut ditetapkan, yaitu pada tahun 638 Masehi.
Selama 30 tahun ada 11 tahun kabisat, yaitu tahun ke-2, ke-5, ke-6, ke-10, ke-13, ke-16, ke-18, ke-21, ke-24, ke-26, dan tahun ke-29. Menurut penghitungan, jika suatu tahun Hijriyyah dibagi 30 menyisakan angka-angka di atas, maka tahun itu termasuk tahun kabisat. Pada tahun kabisat Hijriah, jumlah hari dalam bulan Dzulhijjah adalah 30 hari. Satu tahun Hijriyyah dibagi menjadi 12 bulan dengan pembagian jumlah hari sebagai berikut:
- Muharam: 29 hari
- Safar: 30 hari
- Rabiul Awal: 29 hari
- Rabiul Akhir: 30 hari
- Jumadil Awal: 29 hari
- Jumadil Akhir: 30 hari
- Rajab: 29 hari
- Syaban: 30 hari
- Ramadan: 30 hari
- Syawal: 30 hari
- Dzulqa’dah: 29 hari
- Dzulhijjah: 29/30 hari
Berdasarkan hal itu, hari-hari besar Islam setiap tahun bergeser lebih awal 11 hari pada tahun Hijriyyah biasa, dan bergeser 12 hari pada tahun kabisat.
Rahasia Waktu
Penghitungan di atas adalah teori penghitungan kalender untuk menyatakan satuan waktu: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Namun pada hakikinya, waktu itu bersifat abstrak. Sama abstraknya dengan pengetahuan tentang ruang. Sebab waktu dan ruang hanyalah sebuah dimensi untuk mengetahui sebuah pergerakan benda-benda, baik benda mati maupun benda hidup. Semua ilmuwan, sepanjang sejarah, telah menyatakan bahwa waktu dan ruang adalah sebuah misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan dalam teori-teori ilmiah.
Berkenaan dengan benda-benda langit yang memunculkan waktu, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ ۞
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui”. (QS. Yunus [10]: 5)
Allah SWT menjadikan matahari dan bulan berbeda sifat fisisnya. Matahari bersinar karena memancarkan cahayanya dari proses reaksi nuklir di dalam intinya, sedangkan bulan bercahaya karena memantulkan cahaya matahari.
Pergerakan bulan mengitari bumi menyebabkan pemantulan cahaya matahari oleh bulan berubah-ubah bentuknya, dari bentuk sabit sampai purnama dan kembali menjadi sabit lagi, sesuai dengan posisinya. Keteraturan periode bulan mengitari bumi dijadikan sebagai perhitungan waktu bulanan. Dua belas bulan setara dengan satu tahun.
Kemudian, dalam hal teori penghitungan waktu, Allah SWT juga memberikan sinyalemen penghitungan tahun yang terdiri dari 12 bulan. Sebagaimana firman-Nya:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ ۞
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhul Mahfudz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah [9]: 36).
Allah SWT menetapkan periode orbit bumi mengitari matahari selama setahun yang setara dengan dua belas bulan, yaitu dua belas kali ketampakan bulan sabit akibat bulan mengitari bumi. Keteraturan periode waktu inilah yang menjadi patokan untuk perhitungan waktu. Hanya saja, perbedaan teori penghitungan waktu antara sistem penanggalan Miladiyyah dengan Hijriyyah terletak pada titik pusat orbitnya. Sistem penanggalan Masehi ditentukan berdasarkan kala revolusi bumi, artinya matahari sebagai titik poros orbit bumi, sementara pada sistem penanggalan Hijriyyah ditentukan berdasarkan kala revolusi bulan, artinya bumi sebagai poros orbit bulan.
Dalam Surat Yunus ayat 5 di atas, diterangkan bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dan yang berkuasa atas Arsy-Nya telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Matahari dengan sinarnya merupakan sumber kehidupan, sumber panas dan tenaga yang dapat menggerakkan makhluk-makhluk Allah yang diciptakan-Nya. Dengan cahaya bulan manusia dapat berjalan dalam kegelapan malam dan beraktivitas di malam hari.
Ayat ini membedakan antara cahaya yang dipancarkan matahari dan yang dipantulkan oleh bulan. Yang dipancarkan oleh matahari disebut “dhiyã‘” (sinar), sedang yang dipantulkan oleh bulan disebut “nûr” (cahaya). Pernyataan yang serupa juga dinyatakan oleh Allah SWT pada ayat lain:
وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا ۞
“Di sana Dia menjadikan bulan bercahaya dan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)”. (QS. Nuh [71]: 16)
Dari ayat-ayat ini dipahami bahwa matahari memancarkan sinar yang berasal dari dirinya sendiri, sebagaimana pelita memancarkan sinar dari dirinya sendiri yakni dari api yang membakar pelita itu. Lain halnya dengan bulan, yang cahayanya berasal dari pantulan sinar yang dipancarkan matahari ke permukaannya, kemudian sinar itu dipantulkan kembali berupa cahaya ke permukaan bumi.
Matahari dan bulan adalah dua benda langit yang banyak disebut dalam Al-Quran. Kata bulan terdapat dalam 27 ayat dan matahari disebut dalam 33 ayat. Seringkali kedua benda ini disebut secara bersamaan dalam satu ayat. Sejumlah 17 ayat menyebut matahari dan bulan secara beriringan. Biasanya ayat yang menyebut matahari dan bulan secara beriringan adalah ayat yang menjelaskan aspek kauniyyah dari kedua benda langit ini. Di dalam 3 ayat, kedua benda langit ini disebut bersamaan dengan bintang, benda langit lainnya. Ayat 5 Surah Yunus di atas adalah contoh ayat yang menyebutkan matahari dan bulan secara beriringan.
Ayat tersebut (QS. Yunus [10]: 5), mengisyaratkan tiga aspek penting dari terciptanya matahari dan bulan. Pertama, dalam ayat ini Allah menyebut matahari dan bulan dengan sebutan yang berbeda. Meskipun kedua benda langit ini sama-sama memancarkan cahaya ke bumi, namun sebutan cahaya dari keduanya selalu disebut secara berbeda. Pada ayat ini, matahari disebut dengan sebutan dhiyã’ dan bulan dengan sebutan nûr. Hal ini untuk membedakan sifat cahaya yang dipancarkan oleh kedua benda ini.
Ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa cahaya matahari berasal dari reaksi nuklir yang menghasilkan panas yang sangat tinggi dan cahaya yang terang benderang. Sementara cahaya bulan hanya berasal dari pantulan cahaya matahari yang dipantulkan oleh permukaan bulan ke bumi. Istilah yang berbeda ini menunjukkan bahwa memang Al-Quran berasal dari Allah sang Pencipta, karena pada waktu Al-Quran diturunkan pengetahuan manusia belum mencapai pemahaman seperti ini.
Selain itu, dalam surat Nuh [71] ayat 16 Allah SWT menyebutkan bahwa matahari disebut sebagai sirãj (lampu) dan bulan disebut sebagai munîr (cerah berbinar-binar). Ayat lain yang serupa disebutkan juga:
تَبٰرَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِى السَّمَاۤءِ بُرُوْجًا وَّجَعَلَ فِيْهَا سِرٰجًا وَّقَمَرًا مُّنِيْرًا ۞
“Maha Memberkahi (Allah) yang menjadikan gugusan bintang di langit serta padanya pelita (matahari) dan bulan yang bercahaya”. (QS. Al-Furqan [25]: 61)
وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًاۙ ۞ وَّجَعَلْنَا سِرَاجًا وَّهَّاجًاۖ ۞
“Kami membangun tujuh (langit) yang kukuh di atasmu. Kami menjadikan pelita yang terang-benderang (matahari)”. (QS. An-Naba [78]: 12-13)
Dalam ayat ini, matahari disebut sebagai sirãj dan wahhãj (terang membara).
Kedua, penegasan dari Allah bahwa matahari dan bulan senantiasa berada pada garis edar tertentu (wa qaddarahû manãzila). Garis edar ini tunduk pada hukum yang telah dibuat Allah, yaitu hukum gravitasi yang mengatakan bahwa ada gaya tarik menarik antara dua benda yang memiliki masa. Besarnya gaya tarik menarik ini berbanding lurus dengan massa dari kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak antara keduanya.
Adalah Newton yang memformulasikan hukum gravitasi pada abad ke-18. Perhitungan menggunakan hukum gravitasi ini telah berhasil menghitung secara akurat garis edar yang dilalui oleh bulan ketika mengelilingi bumi (revolusi bulan), maupun bumi ketika mengelilingi matahari (revolusi bumi). Hukum gravitasi inilah yang dimaksud oleh Allah ketika Dia berfirman dalam Surah al-A’rãf [7]: 54:
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ۞
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha Berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam”.
“… (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya…”. Matahari, bulan, dan bintang tunduk kepada ketentuan Allah, yakni hukum gravitasi yang mengendalikan gerak benda. Maksudnya adalah bahwa Allah-lah yang telah menetapkan bahwa matahari dan bulan serta bintang-bintang tunduk kepada Allah SWT melalui hukum gravitasi yang telah Dia tetapkan.
Di berbagai ayat lainnya, sering disebutkan juga bahwa Allah-lah yang telah menundukkan bulan dan matahari bagi manusia, diantaranya:
- QS. Ar-Ra’du [13]: 2,
- QS. Ibrahim [14]: 33,
- QS. An-Nahl [16]: 12,
- QS. Luqman [31]: 29,
- QS. Fathir [35]: 13,
- QS. Az-Zumar [39]: 5).
Ketiga, ketentuan Allah tentang garis edar yang teratur dari bulan dan matahari dimaksudkan agar supaya manusia mengetahui perhitungan tahun dan ilmu hisab (lita’lamû adadas sinîna walhisãb).
Bisa dibayangkan, seandainya bulan dan matahari tidak berada pada garis edar yang teratur, atau dengan kata lain beredar secara acak, bagaimana kita dapat menghitung berapa lama waktu satu tahun atau satu bulan? Maha Suci Allah yang Maha Pengasih yang telah menetapkan segalanya bagi kemudahan manusia.
Hal ini dijelaskan pula oleh firman Allah SWT dalam Surah al-Furqan [25]: 61 sebagaimana tersebut di atas: “Maha Memberkahi (Allah) yang menjadikan gugusan bintang di langit serta padanya pelita (matahari) dan bulan yang bercahaya”.
Dalam hakikat dan kegunaannya, terdapat perbedaan antara sinar matahari dan cahaya bulan. Sinar matahari lebih keras dari cahaya bulan. Sinar matahari itu terdiri atas tujuh warna dasar, sekalipun dalam bentuk keseluruhannya kelihatan berwarna putih, sedangkan cahaya bulan lebih lembut, dan menimbulkan ketenangan bagi orang yang melihat dan merasakannya.
Demikian pula dalam kegunaannya. Sinar matahari seperti disebutkan di atas adalah sumber hidup dan kehidupan, sumber gerak tenaga dan energi. Sedangkan cahaya bulan adalah penyuluh di waktu malam. Tidak terhitung banyak kegunaan dan faedah sinar matahari dan cahaya bulan itu bagi makhluk Allah pada umumnya, dan bagi manusia pada khususnya. Semuanya itu sebenarnya dapat dijadikan dalil tentang adanya Allah Yang Maha Esa bagi orang-orang yang mau menggunakan akal dan perasaannya.
Allah SWT menerangkan bahwa Dia telah menetapkan garis edar dari bulan dan menetapkan manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanannya. Pada tiap malam, bulan melalui suatu manzilah. Sejak dari manzilah pertama sampai manzilah terakhir memerlukan waktu antara 29 atau 30 malam atau disebut satu bulan. Dalam sebulan itu bulan hanya dapat dilihat selama 27 atau 28 malam, sedang pada malam-malam yang lain bulan tidak dapat dilihat, sebagaimana firman Allah:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ ۞
“(Begitu juga) bulan, Kami tetapkan baginya tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir), kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.” (QS. Yãsîn [36]: 39)
Allah SWT melalui ayat tersebut telah memberikan petunjuk bahwa bulan itu pada awalnya (awal bulan baru) adalah kecil berbentuk sabit. Kemudian setelah melalui manzilah, ia bertambah besar sampai menjadi purnama, setelah itu kembali lagi kecil secara berangsur-angsur, hingga bentuknya terlihat seperti tandan yang melengkung, akhirnya menghilang dan muncul kembali pada permulaan bulan (bulan baru).
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ ۞
“Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan”. (QS. Ar-Rahmãn [55]: 5)
Allah menciptakan bulan dan menjadikannya beredar dan berjalan mengikuti garis edar dalam manzilah-manzilah-nya agar dengan demikian manusia dengan mudah mengetahui bilangan tahun, perhitungan waktu, perhitungan bulan, penentuan hari, jam, detik dan sebagainya. Sehingga mereka dapat membuat rencana untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk masyarakat, untuk agamanya serta rencana-rencana lain yang berhubungan dengan hidup dan kehidupannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai hamba Allah.
Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَآ اٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَآ اٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنٰهُ تَفْصِيْلًا ۞
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (QS. Al-Isra [17]: 12)
Kesimpulan
Dengan rangkaian penjelasan benda-benda langit yang berkaitan dengan waktu, tersebutlah waktu itu disusun oleh adanya benda matahari dan bulan. Dari keduanya muncullah perhitungan waktu yang dijadikan pedoman untuk menentukan catatan sejarah, momentum peristiwa, saat-saat untuk beribadah, dll.
Dengan mengetahui benda-benda langit tersebut, tersebutlah perhitungan tahun, bulan, minggu, hari, jam, menit dan detik. Dari kedua benda langit tersebut (matahari dan bulan), dapat ditentukan kemudian waktu-waktu shalat, waktu puasa, waktu menunaikan ibadah haji, waktu turun ke sawah untuk tanam, waktu untuk panen, dan sebagainya.
Ketika matahari tampak, dari terbit hingga terbenam, Allah SWT mengajarkan itulah yang disebut siang. Sehingga betapa banyaknya kegiatan manusia yang terjadi di saat siang. Dan di saat lain, ketika matahari hilang dari pandangan hingga menjadi gelap, Allah SWT mengajarkan bahwa itulah yang disebut waktu malam. Sebagai penerang dalam kegelapan malam, Allah SWT menghadirkan bulan.
Allah SWT menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan semua makhluk itu adalah berdasarkan kenyataan, keperluan, dan mempunyai hikmah yang tinggi. Dan Allah menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya itu kepada orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya dengan benar dan kepada orang-orang yang mau mengakui kenyataan dan beriman berdasarkan bukti-bukti yang diperolehnya itu.
Sebagai poros waktu, syamsiyyah dan qamariyyah, keduanya adalah penanda yang diberikan Allah SWT untuk ‘amaliyyah (kegiatan harian) dan ‘ubudiyyah (ibadah) manusia. Meskipun pola penghitungan tahunnya dimulai dari start point yang berbeda –Miladiyyah dihitung dari kelahiran Nabi Isa dan Hijriyyah dihitung dari hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah– namun sistem penentuan waktunya tetaplah berpedoman pada petunjuk-petunjuk Allah SWT. Miladiyyah berusia 2023 tahun dan Hijriyyah berusia 1445 tahun.
Begitupun nama-nama bulan, meskipun keduanya berbeda –nama bulan pada Miladiyyah difilosofikan dari nama-nama dewa dan Kaisar Romawi, sedangkan nama bulan pada Hijriyyah difilosofikan dari aktifitas tradisional bangsa Arab yang kemudian dilegitimasi oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an– namun sistem penghitungan waktunya tetaplah didasarkan pada benda matahari dan bulan sebagaimana yang diajarkan oleh Allah SWT dalam QS. At-Taubah [9] ayat 36 di atas terdiri dari 12 bulan.
Dengan perkataan lain, tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah ini tidak akan berfaedah sedikit pun bagi orang-orang yang tidak mau mencari kebenaran dan tidak menggunakan akalnya sedikitpun. Karenanya, seringkali fenomena bergantinya siang dan malam itu hanya dipandang sebagai aktifitas rutin alam yang biasa-biasa saja, tak ada makna, tak ada hikmah. Pandangan seperti itu justru menjadi sebuah kegelapan yang menutup rasa syukur, persis seperti kegelapan malam yang tanpa kehadiran bulan. Na’ûdzu billãhi min dzãlik.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
___________
* Source: Dari berbagai sumber