SUDAH tentu benar apa yang dikatakan John Medison (1836); “Seandainya manusia adalah Malaikat, maka pemerintah tidak diperlukan lagi”. Pengandaian ini tentu dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya pemerintah di dalam suatu negara. Karena pada hakikatnya negara dibentuk untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal, dan kesejahteraan rakyat adalah salah satunya (Harorl J. Laski, 1931).
Pemahaman seperti itu menuntut pemerintah selaku penyelanggara negara untuk berlaku efektif dan mengarah pada pemenuhan harapan rakyat guna memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Namun sebagaimana yang terjadi, “pemerintah” saat ini merasa belum berjalan secara efektif.
Maka, perlu dipilih alternatif yang resikonya paling rendah dalam melakukan pembenahan pemerintahan, agar harapan masyarakat tersebut dapat terpenuhi. Salah satu alternatif penting yang dapat dipertimbangkan adalah pembentukan lembaga “wakil menteri”.
Dalam hal itu, sekurang-kurangnya ada lima hal yang dapat dijadikan alasan: Pertama, struktur puncak organisasi kementerian kita ini dipimpin oleh para pejabat eselon I. Sehingga tidak ada satu jabatan eselon I pun yang dapat mewakili kedudukan menteri. Fakta ini akan menyulitkan dalam melakukan harmonisasi dan koordinasi internal pada saat menteri yang bersangkutan berhalangan. Mengingat kedudukan mereka sederajat, sama eselon I.
Kedua, karena sistem multi-partai yang kita anut, maka konsekuensinya kebinet diisi oleh orang-orang partai (kabinet koalisi). Dalam keadaan ini biasanya kolega menteri dibawa masuk untuk mengisi jabatan-jabatan strategis (eselon I dan II) di kementeriannya. Hal ini tentu berpotensi mengganggu sistem birokrasi yang ada didalamnya, baik dalam kaderisasi maupun perumusan kebijakannya.
Ketiga, di era menguatnya peran parlemen seperti saat sekarang sering menyulitkan kemenetrian untuk menunjuk wakilnya pada saat menteri berhalangan hadir untuk memenuhi undangan DPR.
Keempat, untuk memperkuat lembaga kementerian. Masyarakat menilai bahwa di beberapa kementerian saat ini dipimpin oleh orang-orang parpol yang kurang diharapkan.
Kelima, keperluan lembaga wakil menteri ini bukan monopoli negara kita. Bahkan boleh dibilang kita hanya melakukan benchmarking dari negara-negara lain. Di mana hampir semua lembaga kementerian di negara-negara tersebut memiliki lembaga wakil menteri, yang dapat mewakili menteri pada saat menteri berhalangan.
Dalam konteks di atas, maka di setiap kementerian ditetapkan 2 wakil menteri, yakni Wakil Menteri Bidang Administratif atau Wakil Menteri Bidang Internal yang mengurus persoalan-persoalan internal dalam
kementerian; dan Wakil Menteri Bidang Eksternal yang bertugas mewakili menteri untuk urusan-urusan ke luar, termasuk untuk merespon kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh DPR, atau memenuhi undangan lembaga negara lainnya. jika menteri berhalangan. Kecuali, Departemen Luar Negeri dapat ditetapkan 3 wakil menteri, yakni ditambah Wakil Menteri Bidang Otonomi Daerah. Mengingat saat ini adalah eranya otonomi daerah. Agar politik luar negeri kita berpijak pada kepentingan nasional yang berdimensi otonomi daerah.
Dengan dibentuknya lembaga wakil menteri ini tentu dapat menimbulkan penolakan, khususnya menyangkut isu akan membengkaknya “anggaran”. Hal ini bisa saja terjadi jika tidak ada perubahan di dalam struktur organisasi kementerian. Karena itu agar tidak menimbulkan penambahan anggaran belanja, maka 2 jabatan eselon I dapat dihilangkan, yaitu Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal. Selanjutnya kepemimpinan Sekretariat Jenderal digantikan oleh Wakil Menteri Bidang Internal. Sedangkan Inspektorat Jenderal menjadi salah satu stuktur didalam lingkup bidang internal. Mengingat “pengawasan” merupakan salah satu fungsi manajemen.
Secara operasional kelembagaan Wakil Menteri Bidang Eskternal tersebut dapat ditunjang oleh struktur organisasi hingga jenjang yang terbatas untuk diisi oleh kolega Menteri. Hal ini dirancang agar tidak mengganggu sistem birokrasi kementerian yang ada. Selanjutnya, mereka (baca: kolega Menteri) akan meninggalkan kementerian bersamaan dengan akhir masa jabatan sang Menteri, dan kekosongan akan diisi oleh kolega Menteri yang baru.
Memang solusi-reformasi kabinet semacam itu hanyalah merupakan satu alternatif yang dapat diperdebatkan dengan altenatif-alternatif lainnya. Namun, dengan dibentuknya lembaga wakil menteri dan diisi oleh orang-orang yang menunjukan jejak rekam yang luar biasa dalam bidang tugasnya, akan menjadi obat mujarab penguat kabinet.
Sebab, betapapun “luar biasa”nya seorang menteri, jika ia berada dalam lembaga kementerian yang belum berubah (baca: korup) maka ia akan larut juga. Sebaliknya, meskipun ia seorang menteri yang “biasa”, tetapi dapat memimpin kementerian yang kuat, bersih dan responsif, pasti akan membawa ke masa depan bangsa yang lebih baik. Dengan hal yang demikian inilah, maka kita dapat menambah “modal dasar” untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara lain yang telah maju terlebih dahulu.
Sumber: kolierharyanto.wordpress.com