Home / Berita / Wajah Pelacur Indonesia

Wajah Pelacur Indonesia

Wajah Pelacur IndonesiaSaya teringat sebuah tulisan indah hasil goresan pena Goenawan Mohamad (GM). Dalam tulisan itu, ia menceritakan kisah miris tentang seorang pelacur. Nama pelacur tersebut adalah Nur Hidayah, usianya kala itu sudah 35 tahun. Perempuan asal Tulungagung, Jawa Timur ini adalah seorang pemecah batu, yang merangkap (double job) sebagai pelacur. Setiap pagi setelah anaknya berangkat sekolah Nur berangkat ke tempat kerjanya. Lantas seperti apa pekerjaannya itu? Sebagai ‘tukang batu’, ia bekerja mengangkut batu, memecahkannya, lalu kemudian menjualnya. Tengah hari Nur pulang kerumah untuk bertemu atau sekedar bermain dengan anak-anaknya tercinta.

Nah, ketika matahari terbenam wanita ini sudah bersiap-siap untuk melakukan pekerjaannya yang kedua. Sebagai seorang pekerja seks ia tentu saja mesti menjajakan tubuhnya. Di sana bersama pekerja seks lainnya ia menghabiskan malam dengan “menjual” kelaminnya. Menurut GM, tarif yang mereka terima membuatnya begitu terkejut, karena ternyata mereka hanya mendapatkan Rp. 10 ribu. Setiap malam Nur mendapatkan sekitar Rp 30 ribu saja. GM menambahkan, meski demikian tidak nampak kegetiran dalam perbincangan, ketika sederet kata meluncur untuk menceritakan usaha dagang kelamin yang dilakoni  Nur setiap harinya. Rupa-rupanya Nur tidaklah sendiri, menurut data tahun 2002 ada sekitar 600 ribu pelacur, 150 ribu diantaranya berusia di bawah umur (Suara Merdeka 2002).

Kisah di atas memang sudah cukup lama. Namun apa yang ditulis, dan mungkin hendak diangkat GM ke permukaan, sungguh adalah sebuah kisah yang akan selalu terbarukan. Selama masih ada perempuan-perempuan di sekitar kita yang menjadi pelacur demi kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anaknya, maka selama itu juga kisah ini masih akan terus relevan.

Seorang Nur adalah merupakan gambaran mengenai segelintir perempuan Indonesia yang masih harus mengais rejeki dengan melakoni apa saja, untuk tetap dapat bertahan hidup, terutama untuk masa depan anak-anak mereka. Kisah hidup Nur bercerita tentang sebuah pengharapan, sebuah pengorbanan, dan sebuah jalan keluar atas setumpuk persoalan dan kekejaman hidup. Orang-orang seperti Nur mungkin saja akan dihujani berbagai tudingan miring, hinaan, dan terlebih diskriminasi. Banyak di antara kita yang bisa jadi akan memaki dengan ganasnya atas setiap tindakan orang-orang seperti Nur itu. Terlebih, bagi mereka yang merasa sebagai ‘kalangan kelas bermoral’. Perjuangan Nur memang sarat kegetiran, tapi tujuannya sungguh mulia, supaya anak-anaknya bisa hidup, bersekolah, dan kelak tidak akan menjadi seperti dirinya saat ini. Anak-anak bagi Nur adalah harapan. Dan ia akan berusaha sekuat dayanya untuk membuka jalan kepada harapan itu, bukan menutupnya.

Lalu, apakah Tuhan tutup mata melihat orang-orang seperti Nur? Tidak juga. Bukankah Tuhan menugasi kita untuk membantu sesama kita, dan yang pasti sesama itu adalah juga orang-orang seperti Nur. Bukankah juga, kita yang sudah diberkati Tuhan mestinya punya kesadaran untuk membagi berkat itu bagi Nur, serta Nur-Nur yang lain di sekitar kita? Apakah Tuhan menghendaki kita menjauhkan diri dari orang-orang seperti Nur, atau membantunya? Lebih mulia mana membantu orang seperti Nur atau membiarkannya?

Dari sini kita lantas mempertanyakan bagaimana segala moralitas ketika berhadapan dengan wajah perempuan-perempuan Indonesia seperti Nur. Janno Rompas dalam sebuah tulisannya, pernah mengangkat tentang tulisan Emmanuel Levinas (1905-1995), seorang filsuf Perancis yang berbicara tentang wajah. Dalam artikelnya yang berjudul Beyond Intentionality, Levinas menyebutkan bahwa “Wajah” bukan penunjuk atau simbol melainkan secara pasti dan total adalah sebagai “wajah yang memanggil”. Kalau kita tarik sebuah garis utuh, maka seakan-akan si Levinas ini hendak mengingatkan kesadaran kemanusiaan kita, bahwa dengan melihat Nur kita terpanggil untuk bertangung jawab melakukan kebaikan atas ‘Wajah’ itu. Di dalam wajah Nur, kita kemudian dapat melihat wajah kita juga, sebagai ‘wajah yang memanggil’ dan ‘wajah yang terpanggil’.

Problematika keberadaan wajah-wajah seperti Nur dalam konteks kekinian kita di Indonesia, sudah seharusnya menjadi tanggungjawab kita bersama, tidak hanya pemerintah. Wajah-wajah kelam dan penuh kegetiran hidup ini niscaya akan menampar hati dan pikiran setiap kita yang masih punya hati, dan kesadaran moral. Sering memang, moralitas keagamaan telah ‘mereduksi’ wajah keseharian para pelacur di tengah situasi kehidupan mereka yang tak pasti dan tiada menentu arah tujuan itu. Wajah setiap Nur di seluruh pelosok negeri ini, yang tiada henti-hentinya berharap dan mungkin berusaha menemukan pekerjaan lain yang lebih baik untuk ditekuni, yang juga selalu berjuang demi hidup dan anak mereka, dan yang terus berusaha mengikis habis rasa malu demi mempertahankan hidup.

Bisa jadi bukan kebetulan nama Nur ini terangkat ke permukaan. Karena tahukah Anda bahwa ‘Nur’ itu berarti cahaya, itu bisa saja berarti adalah cahaya bagi kita. Cahaya ajakan untuk sejenak memeriksa skema moralitas keagamaan masyarakat kita, agar kita tidak gagap ketika berhadapan dengan wajah-wajah seperti Nur. Wajah realitas banyak perempuan kita saat ini. Wajah seorang pelacur, namun wajah itu menggambarkan peliknya persoalan moral yang dihadapi bangsa ini.

Berkali-kali, wajah seorang Nur kita rajam pakai cambuk, dan kita lempari pakai batu, padahal mereka berjuang demi kehidupan dan masa depan anak-anaknya, yang terancam mati setiap saat karena kurang gizi. Tapi bagaimana wajah para koruptor kita? Selalu dipuja dan dipuji, terpampang mentereng di sana-sini. Padahal wajah-wajah itu bisa jadi justru adalah penyebab bertambahnya wajah-wajah seperti Nur, di negeri yang katanya sangat kaya ini. Semoga kita bisa memunculkan keceriaan di wajah begitu banyak Nur lain di negeri ini.

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com

About admin

Check Also

Gema Takbir Mengiringi Gerhana Matahari Hibrida

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ ...