Oleh: Raden Mahmud Sirnadirasa*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Aku telah membaca sebuah hadits, di mana Rasulullah SAW mengatakan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Innamã bu’isttu li-utammima makãrimal akhlãq
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi)
Hadits ini menggugah hati saya, di mana di zaman sekarang sangat jarang sekali bisa ditemukan orang-orang yang mengajarkan akhlak sebagaimana diamanahkan oleh hadits ini.
Pembinaan akhlak dan olah batin tentunya haruslah memiliki patokan-patokan dan pondasi akhlak yang harus ditanamkan dalam diri setiap insan. Itulah pentingnya mempelajari Tasawuf ataupun Tarekat yang memiliki Guru Mursyid yang mempunyai sanad silsilah, bersambung hingga ke Rasulullah SAW. Agar jelas dari mana asal ilmunya dan bisa dipertanggungjawabkan.
Secara umum, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna tasawuf secara khusus. Menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad, tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu yang agung, dan sulit untuk diraih. Ia bagaikan pohon kurma yang diminati oleh banyak kalangan, namun hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu. Siapa pun yang bisa mempunyai ilmu tasawuf dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi perantara selamat dunia dan akhirat. Karena ilmu tasawuf laksana obat bagi jiwa yang sedang sakit disebabkan dengki, iri, sombong, dan penyakit lainnya. Ilmu tasawuf akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela tersebut.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad memberikan penjelasan bahwa ilmu tasawuf memiliki dua pilar penting; yaitu istiqamah menjalin hubungan dengan Allah SWT; dan harmonis menjalin hubungan dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, siapa saja yang bisa istiqamah bersama Allah, berakhlak baik dengan makhluk-Nya, dan bersosial dengan mereka secara santun dan rukun, maka ia adalah orang tasawuf (sufi).
Ada 5 pilar penting dalam ilmu tasawuf menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad dalam kitab Mausû’ah al-Yusûfiyyah fî Bayãni Adillatis Shûfiyyah, yaitu:
1. Shafã’ul qalbi wa muhãsabatuhã (kebeningan hati dan introspeksi)
Maksudnya, sebagai orang Islam yang ingin mencapai puncak muqarrabîn (istimewa) di sisi Allah SWT, harus mempunyai hati yang bersih dari semua sifat tercela, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadap Dzat Yang Mahamulia dan Mahasuci dari semua kekurangan. Hal itu tentu harus dimulai dengan cara mengintrospeksi diri sendiri, apakah sudah layak atau tidak menghadap-Nya. Jika tidak, tentu ia harus lebih meningkatkan kembali.
Tidak hanya itu, juga harus menimbang semua amalnya di dunia sebelum Allah menimbangnya di akhirat, serta membersihkan dirinya dari semua sifat-sifat tercela. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallãhu ‘anhu, yaitu:
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا، وَزِنُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا
“Periksalah dirimu sendiri sebelum kalian diperiksa (kelak di akhirat), dan timbanglah dirimu sendiri sebelum (amal) kalian semua ditimbang”. (Syekh Yusuf Khattar Muhammad, Mausû’ah al-Yusûfiyyah fî Bayãni Adillatis Shûfiyyah, [Damaskus: Dar al-Albab, 1999], juz 1, h. 18).
2. Qashdu wajhillãh (tujuannya hanya Allah semata)
Semua orang Islam yang ingin menjadi istimewa di sisi Allah SWT dengan cara menekuni dan mengamalkan ilmu tasawuf harus dengan tujuan yang tulus karena Allah dalam semua sepak terjangnya, seperti ucapan dan tindakannya. Membersihkan hatinya dengan membiasakan ikhlas karena Allah semata. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۞
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya” (QS Al-Kahf: 28).
Juga disebutkan dalam ayat yang lain, Allah berfirman:
وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى ۞
“Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi”. (QS Al-Lail: 19-20).
Dan ayat di atas memberikan sebuah gambaran, betapa pentingnya ikhlas dengan tujuan Allah semata dalam semua pekerjaan, temasuk di antaranya, yaitu, ketika menempuh jalan mendekatkan diri pada Allah SWT. (Syekh Yusuf, Mausû’ah al-Yusûfiyyah, 1999, I: 18).
3. At-Tamassuk bil-faqri wal-iftiqãr (hidup zuhud dan selalu merasa butuh kepada Allah)
Pilar ketiga dari ilmu tasawuf yaitu, harus mempunyai sikap zuhud pada dunia dan perhiasannya, dengan melepas (kecintaan dan ketergantungan pada) semua urusan dunia yang bisa membuat lupa pada Allah. Karena dengan zuhud artinya seseorang berusaha melepas hubungan dirinya dengan setan, sehingga ia bisa fokus beribadah pada Tuhannya.
Merasa butuh pada Allah maksudnya menyendiri dari urusan dunia, dan melepaskannya agar fokus meningkatkan ketakwaan. Serta meyakini, bahwa tiada daya dan upaya, tiada nyaman begitupun sengsara, melainkan telah ditentukan oleh Allah SWT. Dan ini merupakan prinsip yang dijadikan pedoman oleh ulama tasawuf.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengisahkan seseorang yang hatinya tidak bisa lupa pada Allah meski dengan adanya dunia. Yaitu:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۞
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah” (QS An-Nur: 37).
Menurut Syekh Yusuf, sifat zuhud terhadap dunia merupakan pokok terpenting yang harus dijadikan pedoman oleh para salik dalam menekuni ilmu tasawuf menuju Allah. Artinya, dunia hanya ada dalam genggaman tangan, tidak sampai ada dalam hati. Jika dunia tidak ada, maka tidak sampai ada rasa sedih ataupun sampai berpikir tentangnya. Karena apa yang ada di sisi Allah jauh lebih banyak dan lebih sempurna di banding apa yang ada pada genggaman tangannya (Syekh Yusuf, Mausû’ah al-Yusûfiyyah, 1999, I: 19).
4. Tauthînul qalbi ‘alar rahmah wal-mahabbah (memantapkan hati dengan welas asih dan cinta)
Di antara pilar lain yang harus dijadikan pedoman adalah harus mempunyai sikap cinta kepada semua makhluk, dan memberlakukan mereka sebagaimana yang telah diatur oleh Islam, berupa mengagungkan dan menyayanginya. Jika sikap ini sudah melekat dalam jiwa dan tertanam dalam hati, maka Allah akan memberikan cahaya rahmah, manisnya ridha, yang dibalut dengan balutan menerima terhadap semua ketentuan Allah.
Dengan demikian, ia telah mendapatkan apa yang telah diwariskan oleh para nabi, berupa cinta dan ridha, tentu ia telah mendapatkan bagian khusus dari keduanya. Sehingga dengannya, ia tidak akan mudah meremehkan orang lain.
Sahabat Abu Bakar radhiyallãhu ‘anhu berkata:
لَا تَحْقِرْ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَإِنَّ حَقِيْرَ الْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ كَبِيْرٌ
“Jangan pernah meremehkan salah satu dari orang Islam, karena meremehkan orang Islam merupakan dosa besar di sisi Allah.” (Syekh Yusuf, Mausû’ah al-Yusûfiyyah, 1999: juz 1, h. 19)
5. At-Tajammul bil-akhlãqi (menghiasi diri dengan etika yang baik)
Pilar yang terakhir ini merupakan intisari dalam Islam dan akhlak yang selalu dipakai oleh ulama tasawuf, yaitu dengan cara menjadi pribadi yang lemah lembut kepada semua keluarganya, family, sahabat, dan semua umat Islam. Dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah SWT memerintahkan, yaitu:
وقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْناً ۞
“Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia” (QS. Al-Baqarah: 83).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda perihal tanda-tanda ahli surga, yaitu:
أَهْلُ الْجَنَّةِ كُلُّ هَيِّنٍ لَيِّنٍ سَهْلٍ قَرِيْبٍ وَأَهْلُ النَّارِ كُلُّ شَدِيْدٍ قَبْعَثِرِيٍّ
“(Tanda-tanda) ahli surga, yaitu, setiap orang yang lemah lembut, ramah tamah, dan murah hati. Sedangkan (tanda-tanda) ahli neraka yaitu, setiap orang yang keras kepada keluarga, sahabat, dan semua umat Islam”. (Syekh Yusuf, Mausû’ah al-Yusûfiyyah, 1999, I: 19).
Ajaran tasawuf penting dipelajari sebagai kendaraan sosial, kendaraan berdagang, dan kendaraan dalam menjalani berbagai bidang sisi kehidupan yang bisa membawa manusia pada sebuah jalan spiritual ketuhanan.
Fondasinya adalah dengan banyak bermuhasabah (introspeksi) dan membersihkan diri dari penyakit jiwa (tazkiyatun nafsi), semata bergantung dan ingin menggapai ridha Allah, serta menerapkan rasa belas kasih dan cinta terhadap manusia.
Salah satu sikap dalam bertasawuf adalah meningkatkan kepekaan kepada kesulitan saudaranya sesama manusia sebagaimana dikatakan dalam hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَـفَّسَ اللّٰهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ، يَسَّـرَ اللّٰهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا، سَتَـرَهُ اللّٰهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللّٰهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللّٰهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللّٰهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللّٰهِ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَـرَهُمُ اللّٰهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.”
Marilah kita tutup dengan berdo’a :
اَللّٰهُمَّ طَوِّلْ عُمُوْرَنَا وَصَحِّحْ أَجْسَادَنَا وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا وَثَبِّتْ إِيْمَانَنَا وَأَحْسِنْ أَعْمَالَنَا وَوَسِّعْ أَرْزَقَنَا وَإِلَى الخَيْرِ قَرِّبْنَا وَعَنِ الشَّرِّ اَبْعِدْنَا وَاقْضِ حَوَائِجَنَا فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ
Allãhumma thawwil umûranã, wa shahhih ajsãdanã, wa nawwir qulûbanã, wa tsabbit îmãnanã wa ahsin a’mãlanã, wa wassi’ arzãqanã, wa ilal khairi qarribnã wa ‘anisy-syarri ab’idnã, waqdhi hawãijanã fid-dîni wad-dunyã wal-ãkhirati innaka ‘alã kulli syai-in qadîr
“Ya Allah, panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
___________________
*Dr. Supardi, SH., MH., Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.