Home / Relaksasi / Renungan / Wafatnya Sang Mursyid Tarekat yang Gemar Tertawa

Wafatnya Sang Mursyid Tarekat yang Gemar Tertawa

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Dia seorang Mursyid Tarekat yang tidak punya peguron dan tidak punya santri yang menetap. Beliaulah Tuan Guru H. Ahmad Tretetet (diberi gelar itu karena suka tertawa-tawa). Hidup dalam kesederhanaan, dunia tidak lagi menjadi tempatnya bergantung.

Bila saja beliau berkehendak maka di dalam jubahnya bisa keluar uang atau apapun yang diminta kaum dhuafa.

Karomah Tuan Guru

Nama beliau adalah Tuan Guru Haji Ahmad, tapi beliau lebih familiar dengan nama “Tuan Guru Tretetet”. Gelar “Tretetet” itu konon disematkan padanya karena beliau gemar tertawa, dan suara tawa beliau serupa itu. Beliau adalah seorang waliyullah, Kekasih Allah, Murobbi Mursyid tanpa murid, Tuan Guru tanpa pesantren.

Ketika beliau meninggal, banyak beras diantar ke rumah beliau. Warga terhenyak karena di tiap butir beras terdapat ukiran asma Allah. Bahkan butir beras hormat pada beliau. Sebab, jangankan makan, apapun yang beliau lakukan nama Allah turut serta. Berdiri, “Allah”. Berjalan, “Allah” . Tidak ada yang tidak Allah. Semuanya Allah.

Ada kisah paling legendaris tentang Tuan Guru Tretetet. Tersebutlah seorang buruh tani asal Dasan Geres, Lombok Timur. Ia ingin sekali melihat menemui ka’bah. Majikannya sendiri (asal Pohgading) akan berangkat haji lagi tahun ini. Dengan penghasilan sebagai buruh, mungkin seratus tahun lagi ia bisa pergi haji. Tapi suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Tuan Guru Tretetet di jalan. Tiba-tiba Tuan Guru berseru dan menunjuk mukanya: “Haji kamu, haji. Allah”. Si buruh ternganga. Tapi Tuan Guru bahkan memintanya roah (selametan).

Dalam keadaan ragu luar biasa, ia memberitahu istri dan timbullah kepanikan. Bagaimana mau roah (selametan), kalau untuk makan besok siang saja tidak ada? Tapi mereka memutuskan untuk tetap mengundang keluarga dan tetangga, sambil menahan malu.

Esok paginya, Tuan Guru datang bersama beberapa orang yang membawa sapi, beras, dll. “Gorok sapi ini, gorok. Haji kamu. Allah”. Kemudian beliau pergi. Si buruh mengundang lebih banyak orang lagi. Berbilang waktu setelah majikannya berangkat ke Mekkah, si buruh masih di desa. Gunjingan sudah menyebar, menertawainya, menyebutnya mulai sakit jiwa karena terobsesi naik haji tapi tidak sadar diri sebagai orang miskin.

Tapi saat putus asa hampir menguasai sepenuhnya, Tuan Guru muncul di muka rumahnya dan memenuhi janji. “Berangkat kamu. Allah”. Si buruh tidak lantas gembira karena oleh Tuan Guru ia malah dibawa ke kebun singkong. Si buruh pasrah, terutama ketika Tuan Guru menyuruhnya tidur di gubuk. Si buruh memejamkan mata, patuh dan tidur.

Ketika terjaga, entah bagaimana tiba-tiba ia sudah berada di Kota Suci Mekkah. Si buruh melongo. Untuk memastikan dirinya tidak bermimpi, si buruh meminta izin Tuan Guru untuk mencari majikannya. Tuan Guru Tretetet menunjukkan tempat majikannya, tapi ia sendiri enggan diketahui. Si buruh diminta untuk menjaga rahasia keberadaan Tuan Guru. Si Buruh menyanggupi.

Ketika disambangi buruhnya yang lapuk, giliran si majikan yang melongo. “Kamu ni?”.

“Inggih Bapak”.

“Tetu kamu ni (ini betulan kamu)?“.

Tetungku Bapak (betul, bapak)“.

“Sai kancem (kamu sama siapa)?”.

“Ndeqku kanggo becerite (saya ndak boleh cerita)”.

Sebanyak tiga kali si buruh menemui majikannya. Ia sempat pula pamit pada si majikan setelah lunas seluruh proses haji. Si buruh pulang dengan proses yang sama, yakni tidur dan tiba-tiba sudah di kebun singkong saja. Tuan Guru Tretetet berseru riang ketika ia terbangun: “Sekarang namamu Muhammad Soleh, Terima hajimu, Mabrur, Allah”.

Lantas, Muhammad Soleh diminta memakai jubah. Seumur-umur tidak pernah ia berjubah. Ketika pulang ke kampung, tetangga menertawainya. Semakin menjadi-jadilah gunjingan itu. Malu betul dia. Sampai akhirnya, ketika si majikan pulang ke Lombok dan mengadakan tasyakkuran, si majikan menuturkan pertemuannya dengan si buruh di Mekkah sebanyak tiga kali. “Hebat, sang walin Neneq kancen lalo (hebat, mungkin dia pergi bersama waliyullah)”.

Gegerlah orang-orang di kampung itu karena pengakuan si majikan tersebar. Di kemudian hari, si buruh bahkan dianggap sebagai waliyullah dan dipertuan-gurukan dengan nama: Tuan Guru Haji Muhammad Soleh.

Kisah singkatnya ada di link berikut :

About admin

Check Also

Amalan Nisfu Sya’ban Berjama’ah

“Salah satu amalan yang sudah mentradisi di Indonesia adalah membaca Surat Yasin tiga kali pada ...