Di tengah hiruk perbincangan seputar kasus penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia terhadap sejumlah tokoh pemimpin dunia yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, pakar komputer dan mantan anggota CIA dan NSA, yang diikuti ketegangan sewaktu para politisi dan pengamat politik mengecam keras pelanggaran etika dan aturan internasional itu yang diikuti langkah tegas pemerintah Indonesia terhadap Australia yang dianggap meremehkan kasus itu, hacker Indonesia dan hacker Australia sudah bertempur di dunia maya dengan saling rusak situs masing-masing Negara.
Sufi Kenthir, Dullah, Johnson, dan Azumi yang mengikuti jalannya pertempuran antar hacker itu berkali-kali melonjak gembira sambil bertepuk tangan, ketika mendapati statemen resmi pemerintah Australia terkait kerusakan dan gangguan situs-situs resmi milik Polisi Federal Australia, Reserve Bank Australia dan bahkan Departemen Pertahanan Australia. “Hacker Australia nggedabrus, pembual besar. Ngancam mau merusak situs-situs penting Indonesia, ternyata yang dirusak cuma situsnya Koperasi, Usaha Kecil Menengah, BPR, Salon, Perajin Tempe, Usaha Rumahan yang dikelola orang-orang Gaptek, hacker kita sudah buktikan kemampuan serang situs resmi negeri criminal itu,” seru Dullah bangga.
“Memangnya anak-anak kita sudah dikenal hebat di kalangan hacker dunia?” gumam Sufi tua yang mendekat.
“Bukan saja hebat pakde, tapi ditakuti,” sahut Dullah.
“Oo apa iya?”
“Reputasinya sudah termasyhur, pakde.”
“Apa buktinya?”
“Kerajaan Malaysia pernah merasakan bagaimana sakitnya “dihajar” hacker Indonesia yang merusak sekitar 116 situs. Israel yang termasyhur kecanggihan teknologinya, sempat marah-marah dan mengancam-ngancam akan menghancurkan situs-situs Indonesia karena situs Israel dalam jumlah ratusan diretas hacker Indonesia, dan ancaman Israel tidak pernah terbukti,” ujar Dullah.
“Ooo begitu ya,” Sufi tua manggut-manggut,”Itu artinya, orang-orang tua seperti aku tidak perlu khawatir bahwa nasionalisme akan pupus dan hilang dari negeri ini.”
“Ya tidak perlu khawatir pakde, karena nasionalisme anak-anak negeri ini tumbuh secara alamiah seiring perubahan. Memang sampeyan sudah khawatir dengan nasionalisme bangsa kita?” tanya Dullah ingin tahu.
“Ya mengikuti polemik penyadapan terkait isu yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, terus terang aku cemas. Karena semua yang berkomentar soal penyadapan, kelihatan sekali tidak memahami secara substantif dan esensial kasus semacam ini. Mulai pengamat sampai presiden menyatakan heran dengan tindakan Australia melakukan penyadapan terhadap Indonesia yang dianggap sebagai Negara sahabat. Semua orang kita seolah sepakat berkata – Kok tega-teganya Australia mengkhianati kita, menyadap pembicaraan pemimpin negeri kita yang sudah sangat percaya terhadap Australia,” kata Sufi tua dengan nada mengeluh.
“Bukankah itu pikiran khusnudz-dzan yang dianjurkan agama, pakde?” sahut Johnson menyela.
“Khusnudz-dzan gundulmu itu,” sergah Sufi tua.
“Menurut pakde, apa pemikiran orang kita terhadap Australia bukan tergolong khusnudz-dzan namanya?” kata Johnson dengan nada Tanya.
“Bukan,” sahut Sufi tua berang, ”Mereka berkomentar seperti itu karena buta terhadap realita sejarah yang pernah meluluh-lantakkan negeri dan bangsanya.”
“Meluluh-lantakkan negeri dan bangsa Indonesia?” Sahut Azumi menyela, ”Memangnya presiden Indonesia sebelum SBY pernah disadap, pakde?”
“Bukan hanya disadap, tapi juga diintervensi oleh jaringan UKUSA dan ECHELON.”
“Sebentar pakde, sebentar,” Dullah terlonjak kaget dan langsung memburu,”Apa itu UKUSA dan ECHELON?”
“Sejarah mencatat pernah ada Perjanjian antara Britania Raya dengan Amerika Serikat yang disebut UKUSA (United Kingdom-United States of America), yaitu perjanjian multilateral untuk kerjasama dalam sinyal intelijen antara Kerajaan Inggris dengan Amerika Serikat, di mana perjanjian ini pertama kali ditandatangani pada 5 Maret 1946 oleh Inggris dan Amerika Serikat dan kemudian diperluas mencakup tiga bekas koloni Inggris, yaitu Canada, Australia dan New Zealand. Menurut Joan Coxsedge dalam The Guardian, 12 December 2001, Perjanjian UKUSA ini merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Brusa (British-USA) tahun 1941, yaitu perjanjian kerjasama selama Perang Dunia II atas masalah-masalah intelijen. Dokumen UKUSA ini ditandatangani oleh Kolonel Patrick Marr-Johnson yang mewakili Dewan Sinyal Intelijen Kerajaan Inggris dengan Letnan Jenderal Hoyt Vandenberg yang mewakili Dewan Komunikasi Intelijen Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat,” kata Sufi tua menjelaskan.
“Kalau ECHELON, pakde, apa sama dengan UKUSA?”
“Tahun 1960 jaringan UKUSA diperluas dalam koleksi Echelon dan Jaringan Analisis Sinyal Intelijen (SIGINT) yang dioperasikan atas nama lima negara penandatangan dalam Persetujuan Keamanan Inggris-AS (Australia, Canada, New Zealand, Inggris, dan Amerika Serikat), yang dikenal sebagai AUSCANZUKUS,” kata Sufi tua menjelaskan.
“Berarti aktivitas sadap-menyadap yang dilakukan Amerika dan Australia itu sejatinya terorganisasi dan tersistematisasi pakde,” sahut Dullah menyimpulkan.
“Ya pasti itu,” jawab Sufi tua menjelaskan,”Sebab berdasarkan Perjanjian UKUSA, Markas Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) dan US National Security Agency (NSA) telah berbagi informasi data intelijen Uni Soviet, Republik Rakyat China, dan beberapa negara Eropa Timur yang dikenal sebagai Exotics. Setiap anggota aliansi UKUSA secara resmi diberikan tanggung jawab utama untuk pengumpulan informasi intelijen dan analisisnya di berbagai belahan dunia. Australia, misal, ditugasi melakukan perburuan untuk pengumpulan data komunikasi intelijen yang berasal di Indocina, Indonesia dan Cina selatan. Hal serupa, dijalankan pula dalam operasi Echelon.”
“Jancuk,” tukas Azumi misuh-misuh, “Berarti selama ini Australia memang bertugas menyadap dan mengganggu jaringan informasi intelijen Negara kita.”
“Faktanya seperti itu.”
“Kalau UKUSA dibentuk 1946 dan bahkan sejak bernama Brusa tahun 1941, berarti operasinya sudah sangat lama pakde,” kata Dullah ingin penjelasan.
“Sejak pendudukan Jepang tahun 1943-1945, UKUSA sudah beroperasi di Indonesia karena itu tentara Australia secara sporadis tersebar di berbagai tempat untuk mengumpulkan data intelijen Jepang. Sewaktu Indonesia merdeka, UKUSA sudah mengobok-obok negeri kita dan ikut campur mulai soal perundingan Linggarjati, Renville, KMB sampai kasus pemberontakan PRRI/Permesta. Itu sebabnya, Bung Karno yang sudah tahu kejahatan UKUSA itu sering berteriak mengecam,”Jangan takut menghadapi Nekolim. Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” dan berulang-ulang mengecam Amerika dengan makian keras,”Go to hell with your aid!”, terutama saat Negara Uncle Sam itu sangat ikut campur urusan dalam negeri Indonesia,” kata Sufi tua menjelaskan.
“Berarti sangat mungkin jatuhnya Bung Karno ada hubungan dengan UKUSA dan Echelon, pakde?” tanya Dullah ingin tahu.
“Itu pasti,” jawab Sufi tua, “Karena usaha penggulingan Bung Karno dimulai dengan kemunculan Dokumen Gilchrit, yaitu nama Duta Besar Inggris dewasa itu.”
“Dokumen Gilchrist yang mengadu domba kekuatan pendukung Bung Karno, pakde?” Sufi tua menganggukkan kepala.
“Termasuk The Dead List yang berisi nama-nama 5000 orang kader PKI bikinan CIA yang diserahkan kepada Soeharto?” tanya Dullah penasaran. Sufi tua mengangguk,” Semua berkaitan dengan dokumen intelijen UKUSA.”
“Tapi pakde, menurut saya, Bung Karno pantas disadap dan dikacaukan jaringan intelijennya karena jelas-jelas tidak bersahabat dengan Inggris dan Amerika, sebaliknya dekat dengan RRC dan Uni Soviet. Sedang rezim yang sekarang berkuasa ini kan sangat bersahabat dengan Amerika dan Australia, untuk apa disadap-sadap?” tanya Dullah penasaran.
“Asal kamu tahu, Dul, dua orang anggota intelijen Australia, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann, yang menjalankan tugas memasukkan pasokan narkoba ke Indonesia ketangkap tangan membawa narkoba dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun. Australia berkepentingan untuk membebaskan anggota intelijennya itu. Nah, sewaktu Presiden Yudhoyono menghadiri KTT G-20 di London, pembicaraannya disadap oleh UKUSA Inggris. Hasil sadapan itu diserahkan Inggris kepada Perdana Menteri Australia, Kevin Ruud,” kata Sufi tua mengutip harian Sydney Morning Herald.
“Hasilnya, muncul Keppres No.22/y/2012 tertanggal 15 Mei 2012, yang memberikan grasi pengampunan pengurangan masa tahanan kepada dua terpidana narkotika, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann,” kata Sufi tua berspekulasi.
“Selain itu, pakde?”
“Rencana Angkatan Laut membeli Kapal Selam ke Rusia yang teknologinya lebih canggih daripada kapal selam Australia, terbukti mengambang dan terkatung katung. Kemungkinan karena Australia punya data sadapan pejabat-pejabat tinggi negeri ini,” jawab Sufi tua.
“Kita benar-benar dikentuti, dikencingi, diberaki, diludahi oleh Australia,” kata Dullah.
“Susahnya, kita tidak tahu bahwa Australia bagian dari jaringan UKUSA dan Echelon.”
“Jancuk..jancuk!” Azumi menampar keningnya keras-leras,”Betapa gobloknya kita selama ini selalu berprasangka baik kepada Australia dan bahkan merasa lebih rendah dari mereka. Padahal, Australia itu Negara koloni, vassal dan jajahan Inggris. Bagaimana pemimpin-pemimpin kita merasa sederajat dan bahkan merasa lebih rendah dari Negara koloni seperti Australia, bukankah kita bangsa yang merdeka dan berdaulat?”
“Mental inlander,” sahut Sufi tua,”Mental kacung, jongos, babu, kuli, budak. Itulah kendala yang paling aku cemaskan dari kecenderungan elit pemimpin negeri ini.”
“Padahal, hacker kita membuktikan bahwa kualitas manusia Australia jauh lebih goblok dalam penguasaan teknologi informasi dibanding anak-anak kita,” sahut Sufi Kenthir ketawa terkekeh-kekeh.
“Ya jelas lebih goblok dari bangsa kita,” sahut Sufi tua menimpali,”Australia itu kan benua tempat pembuangan para pelaku tindak kriminal Inggris sampai abad ke-19. Jadi bangsa itu secara genealogis adalah keturunan perampok, maling, bajak laut, pencoleng, pembunuh, pemerkosa, tukang copet, mata-mata asing, pengedar opium, budak, dan pengkhianat Negara.”
“Ooo begitu ya..?” tukas Johnson, Dullah dan Azumi bersamaan,”Pantas saja bangsa biadab itu sering melakukan pelanggaran norma dan etika. Rupanya mereka keturunan.. BAND..IT”.