Ki Ageng Suryamentaram
Rasa benar sebagai penghibur
Di sini ada kesukaran dalam perkembangan ukuran keempat, yakni perkembangan rasa untuk menghayati rasa orang lain. Merasa salah itu mengandung rasa berkorban amat besar bagi rasa “merasa benar”. “Merasa benar” inilah yang menjadi gangguan dalam perkembangan ukuran keempat dalam pergaulan.
Rasa salah ini rasanya tidak enak, sebab rasa ini ialah rasa keinginan yang tidak tercapai, dan oleh karena itu menimbulkan rasa susah. Bila disertai idam-idaman, maka rasa “merasa salah” ini menjadi rasa celaka. Jadi “merasa salah” yang disertai idam-idaman adalah rasa celaka.
Untuk menutupi rasa celaka, biasanya orang mencari pelipur atau penghibur. Padahal celaka itu hanyalah rasa/merasa salah. Maka hiburan itu dalam rasa hanyalah rasa “merasa benar”, meskipun wujudnya bermacam-macam.
Agar hal di atas menjadi jelas, perlu diberi contoh. Orang yang baru saja habis berselisih dengan siapa pun, biasanya akan membeberkannya pada teman-temannya. Pembeberan itu bermaksud mencari dukungan supaya rasa benarnya diperkuat.
Proses rasa itu sebagai berikut: Perselisihan itu tidak enak rasanya. Rasa tidak enak itu bersamaan dengan rasa “merasa benar” yang disertai kegelisahan. Untuk menutupi rasa tidak enak itu, orang mencari penghibur, dengan maksud untuk memperkuat rasa benarnya.
Jadi, hiburan itu tidak lain adalah rasa bahwa dirinya benar. Sedangkan ukuran keempat menyebabkan orang merasa salah dalam suatu hubungan yang tidak enak. Maka berkembangnya ukuran keempat melenyapkan rasa diri-benar dalam hubungan yang tidak enak.
Bila sebelum ukuran keempat berkembang, ada orang mengalami kesusahan tanpa mempunyai hiburan, maka kesusahan semacam itu tentu saja hebat. Tidak heranlah kalau orang yang susah itu lebih suka menyalahkan para tetangganya daripada merasa diri sendiri yang salah.
Bila dalam hubungan tidak enak itu, rasa “merasa salah” menjadi subur, timbullah rasa tidak mungkin salah yaitu “Yang salah bukanlah aku, melainkan Kramadangsa”. Rasa yang tidak bisa salah ini senang dan bahagia.
Timbulnya rasa tidak mungkin salah, membuat orang dapat meneliti kesalahan diri sendiri dan menghayati rasa orang lain. Dari sini mulai terbukalah dunia rasa yang tadinya tertutup oleh kepentingan sendiri. Dunia rasa itu baru bagi yang baru saja mengalami, maka memerlukan penyelidikan.
Penyelidikan itu berupa penelitian proses perkembangan rasa yang menunjukkan kesalahan diri sendiri. Dalam penyelidikan itu terdapat dua macam rasa, yaitu rasa tidak enak karena merasa salah dan rasa enak karena mengetahui kesalahan yang sudah “bukan aku”. Jadi bahan penyelidikan itu ialah rentetan rasa salah.
Di sini terdapat kesulitan berupa pendapat seolah-olah ukuran keempat ini melemahkan jiwa orang-perorang. Pendapat ini keliru, karena berkembangnya ukuran keempat terjadi setelah jiwa orang itu kuat. Dan kekuatan jiwa orang-perorang disebabkan oleh kemajuan ukuran ketiga. Kemajuan ukuran ketiga membuat jelas perbedaan antara diri sendiri dan orang lain.
Ada perkembangan rasa dari ukuran keempat namun tidak disengaja, seperti yang digambarkan dengan ungkapan “Ikut-ikutan tanpa tahu permasalahannya” (dari bhs. Jawa: “Atut grubyug ora weruh ing rembug“). Jalan rasa di atas tanpa keinsafan dan tanpa ukuran ketiga. Maka perkembangan rasa itu dilahirkan dari jiwa yang lemah.
Perkembangan negara-negara
Kekurangan dalam perkembangan ukuran keempat ini, sering menyebabkan perkembangan negara yang mula-mula membubung hingga gilang-gemilang, kemudian kian merosot suram hingga jatuh. Maka perkembangan negara-negara itu sebentar menjulang tinggi sebentar menurun jatuh. Apakah perkembangan negara seperti di atas itu memang sudah sifat alam yang tidak dapat diubah? Teranglah tidak demikian.
Negara itu berdasarkan pergaulan hidup para warga negaranya. Bila negara itu memuaskan para warganya, negara itu makmur atau gilang-gemilang dalam rasa warganya. Keadaan demikian itu tidak akan menimbulkan pemberontakan. Bila kepuasan para warganya tetap, kegemilangan negara itu pun tetap. Kebalikannya, bila negara tidak memuaskan para warganya, maka hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan. Jadi pemberontakan itu timbul dari rasa tidak puas.
Bila negara itu mengandung hal-hal yang tidak memuaskan warganya, berarti negara itu mengandung benih pemberontakan. Sedangkan pemberontakan ialah keruntuhan negara. Maka dalam kegemilangannya, negara itu sudah mengandung keruntuhannya sendiri.
Di sini ada dua macam kepuasan, yakni kepuasan hidup dan kepuasan pada negara. Bila tidak puas akan hidupnya, orang tidak puas akan segala sesuatu, juga pada negaranya. Jadi puas atau tidaknya akan kehidupan ini, mempengaruhi puas atau tidaknya pada negara.
Kepuasan hidup tidak menyebabkan puas pada negara, karena kepuasan hidup itu berbeda dengan kepuasan pada negara. Jadi tidak puas pada negara ada dua macam sebabnya, yaitu dari orangnya dan dari negaranya.
Jadi ada dua syarat untuk negara agar tetap gemilang, yakni kepuasan hidup dan kepuasan pada negara dari warganya. Kepuasan hidup timbul karena mengerti tujuan hidup, dan kepuasan pada negara karena mengerti tujuan negara. Jadi tetap gemilangnya negara tergantung dari pengertian warganya atas dua macam tujuan tadi.
Syarat dan rintangan perkembangan ukuran keempat
Syarat perkembangan ukuran keempat tidak lain ialah pengertian bahwa rasa enak dalam berhubungan dengan orang lain hanya didapat dengan jalan menghayati rasa orang lain. Serupa halnya rasa enak dalam hubungan dengan benda-benda hanyalah dengan jalan mengerti benda-benda itu. Pengertian di atas menimbulkan ikhtiar supaya bisa menghayati rasa orang lain. Ikhtiar yang timbul dari pengertian itu membuat orang tidak henti-hentinya berusaha sehingga mencapai tujuan itu.
Rintangan-rintangan yang menghalangi perkembangan ukuran keempat ialah rasa luka. Pengalaman tidak enak yang lampau, pedih di hati menjadi luka-hati. Pada waktu berhubungan dengan orang lain, luka itu merupakan rasa balas dendam. Maka luka itu menghalangi orang merasakan rasa orang lain, karena luka itu menjadi kacamata dalam mengamati orang lain. Jika seorang laki-laki pernah bercerai dalam perkawinan, ia menanggapi wanita lain hatinya sama jahat seperti istri yang diceraikannya dan sebagainya.
Obat luka itu ialah pengertian, bahwa hubungan yang tidak enak itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Pengakuan salah itu mendorong orang mencari kesalahan sendiri sampai bertemu. Bila si salah yang menyebabkan luka itu ia temukan, orang kemudian tidak lagi bersatu dengan si salah, dan bisa merasakan: “yang salah bukanlah aku”.
Bila si salah itu diteliti, dapat diketahui bahwa dulu ketika orang itu melakukan hubungan, ia tidak menghayati serta bertentangan dengan rasa orang yang dihadapinya, dan itu disebabkan terhalang oleh kepentingan dirinya sendiri. Jadi jelaslah bahwa kebutuhan diri sendiri ialah sumber dari pertikaian dan hubungan tidak enak.
Bila diteliti lebih jauh, dapat diketahui bahwa kebutuhan diri sendiri yang menimbulkan sengketa itu, ialah kebutuhan yang telah terlepas keluar dari pokoknya. Seperti kebutuhan sandang yang melebihi orang lain, ini sudah keluar dari pokok kebutuhan. Jadi ingin berlebih-lebihan dalam hal sandang bukanlah kebutuhan pokok.
Rasa ingin berlebih-lebihan itu bila diteliti tentu sebagai berikut “bila terlaksana akan senang selamanya, dan bila tidak terlaksana akan susah selamanya”. Padahal senang atau susah selamanya itu tidak pernah ada. Jadi dalam meneliti kebutuhan sendiri ini, akan diketahui rasa sendiri yang mencari senang selamanya.
Rasa mencari senang selamanya inilah sumber luka. Luka ini melahirkan sikap suka dan benci terhadap hubungannya. Maka suka dan benci ini menghalangi orang menghayati rasa orang lain dalam berhubungan.
Jadi mengobati luka ialah meneliti rasa lukanya sendiri sampai pada rasa yang menyebabkannya. Bila diteliti demikian, luka itu lenyap dan ini berarti orang merasa bahwa “luka itu bukanlah aku”. Jadi berlangsungnya luka itu disebabkan pengertian bahwa yang luka itu aku.
Bila salah satu luka lenyap, akan muncul luka lain, dan bila luka ini pun diobati sehingga lenyap, pasti akan muncul lagi luka baru lain. Demikian seterusnya sampai semua luka sirna.
Bila luka lama lenyap, orang akan dapat melihat luka baru yang mudah diobati, sebelum melahirkan tindakan yang membuat luka berikutnya. Bila luka baru senantiasa diketahui dan diobati, maka orang dapat melihat proses perkembangan rasa ketika menimbulkan luka.
Keterangannya sebagai berikut.
Marah merupakan salah satu rasa yang melukai. Padahal bila melukai orang lain, diri sendiri pun terkena luka. Jadi marah adalah rasa melukai pihak sana dan pihak sini.
Ketika si marah belum reda, luka baru belumlah terlihat. Tetapi bila si marah reda, maka luka baru jadi terlihatan belumuran darah, berwujud menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Bila kemudian luka itu dibalut dengan rasa “merasa salah” maka luka baru itu tidak nyeri lagi.
Di sini ada kesulitan demikian. Orang marah, sering tidak mengerti bahwa ia sedang marah. Sebaliknya, melihat orang lain marah adalah mudah. Maka tindakan pertama untuk mengetahui marahnya sendiri (yang menimbulkan luka), ialah menyamakan marah orang lain dengan marahnya sendiri, dan memisahkan rasa marah dari tindakan yang berasal dari rasa marah.
Bila rasa marah diketahui sebelum melahirkan tindakan, sehingga orang merasa “yang marah bukanlah aku”, marah itu berubah sifatnya, karena berganti unsurnya. Sebelum diketahui, marah itu tercampur rasa merasa-benar; setelah diketahui, tercampur rasa merasa-salah. Maka berkelahilah rasa merasa-benar dengan rasa merasa-salah. Bila si merasa-salah menang, rasa marah lenyap dan tidak menimbulkan luka baru. Demikianlah bekerjanya rasa yang membuat luka. Jadi jiwa marah itu adalah si merasa-benar.
Kecuali dari diri sendiri, orang pun menerima marah dari lawannya. Tentu saja marah dari orang lain ini membangkitkan marah dalam diri sendiri. Sebagaimana dijelaskan di muka, lenyapnya marah mesti disebabkan oleh rasa merasa-salah.
Ikhtiar memusnahkan marah sering keliru, yaitu usaha supaya orang lain merasa salah. Ikhtiar semacam itu, bagaikan memadamkan rumah terbakar dengan menyiramkan bensin. Peristiwa semacam itu terjadi pada setiap perkelahian.
Seharusnya dimulai dari merasa salah diri sendiri. Bila kesalahan diri sendiri ditemukan, orang baru dapat menyatakan bahwa lawannya benar. Dengan jalan membenarkan orang lain, dapat diredakan rasa marah orang lain.
Demikianlah cara mengobati luka, meredakan luka dan menolak serangan yang melukai.
Latihan
Orang merasakan segala sesuatu menggunakan kacamata rasa kebalikan, yang terdapat pada dirinya sendiri. Wujud rasa-rasa yang saling bertentangan adalah seperti suka dan benci, untung dan rugi, dan sebagainya. Rasa inilah yang merintangi orang sehingga tidak dapat merasakan rasa orang lain.
Sebagai contoh rasa suka dan benci; misalnya seorang miskin membenci golongan kaya dan menyukai golongan melarat. Bila berjumpa dengan orang kaya, rasa bencinya timbul yang terungkap dalam kata-kata “orang kaya itu selalu mengejek”. Orang miskin itu tidak dapat menghayati rasa orang kaya.
Bila berjumpa dengan orang melarat, rasa suka si miskin tadi muncul verwujud rasa/kata-kata “orang miskin itu selalu diejek, maka pantas dikasihani”. Orang itu tidak dapat menghayati rasa orang miskin. Demikian suka dan benci merintangi rasa orang lain.
Contoh mengenai rasa untung dan rugi. Misalnya seseorang mendambakan kekayaan, bila menghadapi orang atau perkara, ia bertanya, “Orang atau perkara ini menguntungkan atau merugikan idam-idamanku.” Yang merugikan ditentangnya dan yang menguntungkan dimufakatinya.
Rasa saling bertentangan ini tetap ada pada manusia dan merintangi orang menghayati rasa orang lain. Maka usaha menghapuskan undangan rintangan itu tidak dengan memusnahkan rasa itu. Karena bila orang berusaha memusnahkannya, hasilnya malah melahirkan saling pertentangan yang baru. Umpama orang bersamadi dengan tujuan melenyapkan rasa bertentangan itu. Hasilnya hanyalah kebencian terhadap rasa saling bertentangan dan suka kepada bayangan lenyapnya rasa itu.
Rasa saling bertentangan itu ialah alat bantu untuk dapat mengerti rasa orang lain. Tanpa alat bantu berupa rasa berlawanan itu, orang tidak dapat menghayati rasa orang lain. Contohnya sebagai berikut.
Umpama orang menyebarkan “ilmu bahagia” (bhs. Jawa: kawruh beja), dan orang yang menanggapi mencemoohkan ajaran itu. Tentu saja penyebar ilmu itu benci pada orang tersebut. Bila kebencian itu diteliti dengan rasa merasa-salah, kebencian itu buyar.
Bila kebencian itu buyar, orang akan mengerti bahwa sesungguhnya ia tidak menyebar “ilmu bahagia”, melainkan ingin menundukkan orang lain. Perkembangannya, orang itu akan mengerti bahwa pihak lawannya benar, karena orang ditundukkan pasti merasa tersinggung dan menolaknya dengan cara mencemoohkan “ilmu bahagia” tersebut.
Latihan ini dapat pula dijalankan dalam pekerjaan. Umpama berdagang: ketika sedang laris orang tidak merasa susah, tetapi di waktu tidak laku, ia lalu merasa susah.
Bila kesusahan itu diteliti dengan landasan rasa merasa-salah, dapatlah ditemukan kesalahannya sendiri. Yakni berupa rasa suka untung dan benci rugi, yang merintangi rasa si pembeli. Bila suka dan bencinya sendiri diketahui, orang akan mengerti rasa si pembeli yaitu butuh harga murah dan barang baik. Kemajuannya orang itu ialah mengerti bahwa jika ia tidak dapat mengadakan harga murah dan barang baik, maka ia tidak sesuai dengan pekerjaan itu.
Latihan ini dapat pula dijalankan di antara keluarga. Umpama orang melihat anaknya tidak naik kelas dalam sekolahnya. Bila ia memakai kacamata untung-rugi, ia tidak dapat menghayati rasa anaknya, maka memarahinya.
Bila rasa untung-rugi yang ada pada dirinya diketahui, ia akan merasa salah dan menghayati rasa anaknya. Ternyata rasa anak sekolah yang tidak naik kelas itu tidak enak, seakan-akan putus asa dan ingin bunuh diri. Menghayati rasa anaknya itu, maka tentu saja orang segera berusaha menghilangkan rasa putus asa dan tidak memarahinya.
Bila latihan ini senantiasa dijalankan dalam kehidupan sehari-hari ukuran keempat akan berkembang semakin subur sehingga menimbulkan perubahan sifat jiwa manusia.