Home / Budaya / Filsafat / Ukuran Keempat (3)

Ukuran Keempat (3)

Ki Ageng Suryomentaram

Pendidikan ukuran keempat

Pendidikan ukuran keempat ini termuat dalam suatu semboyan: “Siapa mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya, sama dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri.” Ungkapan tersebut berarti “tak ada keenakan kecuali mengenakkan orang lain”. Jadi rasa enak itu hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan orang lain, lain daripada itu tak ada.

Enak tanpa mengenakkan orang lain, adalah sebagai tali yang menjerat lehernya sendiri. Karena rasa enak yang diperoleh dengan tidak mengenakkan orang lain, tercampur rasa tidak enak yang lebih berat bobotnya, maka rasa itu tidaklah murni. Misalnya ketika seseorang menikmati makanan, karena makanannya serba enak tidak seperti biasanya, maka tentu timbul rasa tidak enak: “Wah, bagaimana supaya dapat makan makanan yang serba enak serupa ini lagi. Bila keinginannya terlaksana, tentu muncul rasa tidak enak lagi: “Wah, bagaimana supaya setiap hari dapat makan serba enak serupa ini?” demikian seterusnya.

Perbuatan mengenakkan orang lain sering bersifat tidak mengenakkan orang lain. Umpama seorang suami membelikan pakaian untuk istrinya dengan maksud “supaya istrinya tidak cerewet”. Perbuatan itu sebenarnya bukan mengenakkan istrinya, tetapi menyuap istrinya dengan pakaian.

Oleh karena itu rasa enak hanya dapat diperoleh dengan jalan mengenakkan orang lain. Karena dalam suatu hubungan orang dengan orang lain, kedua belah pihak bersama merasa enak atau tidak enak. Jadi orang lain itu tidak terpisah sebagai “kamu”.

Orang menganggap orang lain dalam hubungan sebagai “kamu”, karena mengira bahwa enak dan tidak enaknya berat sebelah atau tidak berbarengan. Anggapan di atas disebabkan campurnya peristiwa dan perasaan. Bila peristiwa dan perasaan terpisah, dapatlah dimengerti bahwa rasa enak dan tidak enak timbul bersamaan dengan pihak yang dihubungi.

Umpama jika orang melihat orang lain terbentur kepalanya hingga benjol maka ia tentu merasa tidak enak walaupun tidak mengalami benjol. Jadi dalam peristiwa benturan di atas, yang bersamaan ialah rasanya tidak enak, sedang yang berbeda ialah benjolannya di kepala.

Semboyan “enak hanyalah mengenakkan orang lain” didasarkan atas anggapan bahwa orang lain bukanlah kamu. Sikap jiwa yang menganggap orang lain bukan kamu, mewajarkan tindakannya mengenakkan orang lain, dan memungkinkannya melihat rasa enak atau tidak enak orang lain.

Orang melihat rasa orang lain; pertama-tama tentu saja di dalam hubungannya terdekat, yakni suami/istrinya. Dan tatkala mulai melihat rasa pasangannya, timbullah rasa takut, karena bertentangan dengan anggapannya. Ternyata ia menyusahkan pasangannya. Si suami menyusahkan si istri, si istri menyusahkan si suami.

Untuk dapat merasa bahwa dirinya menyusahkan pasangannya, adalah lebih mudah daripada untuk mengerti. Adapun untuk mengertinya sebagai berikut. Orang menderita susah disebabkan oleh cacat pasangannya. Cacat-cacat itu ada tiga macam, yaitu cacat badan, hati dan pikiran. Jadi dengan demikian cacat diri sendirilah yang menyusahkan pasangannya.

Apabila ia merasa tidak punya cacat, perasaan demikian itulah sebagai cacatnya. Cacat ini adalah cacat pikiran yang besar, yaitu kebodohan, karena ia tidak mengerti cacatnya sendiri.

Di sini akan diberi contoh bagaimana orang menyusahkan pasangannya yang disebabkan cacatnya. Misalkan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun memperistri seorang perempuan muda berusia dua puluh tahun. Ia menyusahkan istrinya itu dengan usianya yang empat puluh tahun itu.

Mengetahui diri sendiri yang menyusahkan pasangannya, orang sering merasa takut. Takut ini mendorongnya mencari dalih sebagai landasan rasa, seolah-olah ia membahagiakan pasangannya. “Suami/istriku sekarang lebih senang daripada di waktu dulu. Dulu bila ia ingin ganti baju, tidak mudah diperolehnya. Tetapi kini ia tinggal pakai saja, sebab saya sudah membelikannya.” Demikian alasan orang takut menyadari bahwa dirinya menyusahkan pasangannya.

Orang dengan mudah dapat berganti pakaian ialah keenakan dalam penghidupan, tetapi bukanlah dalam perkawinan. Padahal kesusahan si istri dalam perkawinan, disebabkan bersuami dengan orang berusia empat puluh tahun. Membelikan pakaian tidak mengurangi usia. Jadi bidang penghidupan dan perkawinan itu terpisah. Bila diputar balik kedudukannya akan lebih jelas. Umpama laki-laki berusia empat puluh tahun itu dipersuamikan oleh seorang wanita berusia enam puluh tahun, dan dibelikannya pakaian. Sudah barang tentu laki-laki itu akan merasa tidak enak.

Walaupun orang menyusahkan dan disusahkan oleh pasangannya, namun perkawinannya sering berlangsung sampai mereka tua. Itu karena masing-masing puas dalam saling menyusahkan. Kepuasan semacam itu ialah puas dalam perhitungan untung-rugi, tetapi bukan dalam perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada waktu mereka bertengkar, kedua pihak saling mengungkit-ungkit cacat masing-masing. Masing-masing menaikkan nilainya sendiri sembari menurunkan nilai lawannya.

Maka perkawinan dengan landasan untung-rugi, tetap tidak memuaskan. Karena dalam perkawinan nilai setiap orang tidak tetap dan berubah-ubah. Maka kepuasan dalam perhitungan untung-rugi tercampur kekhawatiran. Misalnya seorang laki-laki tua, berpangkat tinggi, beristrikan seorang wanita muda berpangkat rendah. Suami-istri itu kedua-duanya sama-sama merasa khawatir. Si suami khawatir turun pangkatnya, si istri pun khawatir turun kemudaannya. Maka masing-masing berusaha agar tidak menurun nilainya.

Perkawinan dengan dasar untung-rugi, menimbulkan rasa dijerumuskan atau menjerumuskan. Misalnya orang mempunyai cacat yang telah diakuinya, bila ia memperoleh jodoh, ia merasa bahwa suami/istrinya terjerumus. Sedang suami/istrinya pun sering menjerumuskannya. Maka dalam perkawinan di atas masing-masing pihak saling menjerumuskan.

Setelah orang merasa bahwa dengan cacatnya ia menyusahkan pasangannya, timbullah hasrat minta maaf. Hasrat minta maaf ini mengubah pandangan terhadap pasangannya dan inilah awal rasa rukun dan damai.

Sebelum rasa minta maaf timbul, maka laki-laki berusia empat puluh tahun dalam contoh di atas, bila didamprat oleh istrinya segera membalas mendamprat, sehingga terjadi saling damprat. Tetapi setelah ada rasa minta maaf dan berubah pandangan, maka ia menganggap dampratan istrinya itu benar: “Istriku mendamprat aku itu benar, karena ia kususahkan dengan usiaku yang empat puluh tahun ini.” Rasa demikian itu ialah lenyapnya rasa “kamu”. Jadi hilangnya rasa “kamu” karena mengerti kesalahan sendiri ketika berhubungan dengan orang lain, dan merasa tidak enak.

Bila rasa menyusahkan istrinya itu dipelajari, laki-laki tua itu dapat mengetahui bahwa istrinya berhati sabar. “Istriku ini sabar sekali. Ia seorang wanita baru berusia dua puluh tahun, memperoleh suami tua empat puluh tahun, semacam aku ini. Kesalahanku demikian besar, tetapi ia mendampratku hanya ringan saja. Andaikata aku yang mempunyai istri berusia enam puluh tahun, dampratanku pasti tidak seringan ini.” Padahal kesabaran ialah rasa luhur dan indah. Maka keinsafan bahwa dirinya menyusahkan orang lain dalam berhubungan, membuatnya melihat keindahan orang lain tersebut.

Jadi melihat rasa istrinya itu bersamaan dengan melihat cacat diri sendiri yang menyusahkan istrinya. Pokok rasa menyusahkan di atas itu juga akan lahir dalam rasa perincian. Pokok rasa menyusahkan ini menjadi bumbu dalam rasa menyusahkan secara perincian. Yaitu yang dapat mengobarkan perselisihan hebat antara suami-istri yang disebabkan karena hal-hal sepele saja, sehingga berakhir dengan perceraian, walaupun kemudian rujuk kembali.

Bila melihat cacat diri sendiri yang menyusahkan pasangannya dalam hal-hal perincian, orang akan mengerti kesalahan diri sendiri manakala merasa tidak enak dalam hubungan dengan pasangannya. Kemudian mencari kesalahan diri sendiri itu sampai menemukan. Demikian perkembangan ukuran keempat yang membuat orang senantiasa mengetahui kesalahan diri sendiri dalam hubungan yang tidak enak dengan pasangannya.

Jadi ukuran keempat ini kecuali memungkinkan orang merasakan rasa orang lain, pun memungkinkan orang mengetahui cacat diri sendiri yang pokok dan yang perincian. Melihat demikian itu disertai melihat gambar (pola) manusia tanpa cacat (sempurna). Jadi ukuran keempat membuat orang dalam berhubungan dengan orang lain, selalu menggembalakan cacat diri sendiri dengan pedoman gambar manusia sempurna.

Setelah pengetahuan rasa suami/istri semakin berkembang, orang akan mengetahui rasa anak-anaknya. Ternyata anaknya pun termasuk orang yang disusahkan oleh cacatnya. Jadi orang itu menyusahkan anaknya dikarenakan cacatnya. Sebagai anak ia mesti merasa susah (celaka) karena cacat orang tuanya. Misalnya merosotnya nilai anak itu setelah menjadi jejaka atau gadis, dapat disebabkan karena orang tuanya.

Dalam masyarakat ada pendapat yang merintangi orang melihat bahwa dirinya menyusahkan anaknya. Pendapat itu sebagai berikut: “Anak itu amat banyak berutang budi kepada orang tuanya”. Betapa banyaknya utang tersebut itu digambarkan dengan ungkapan, bahwa jumlah bulu badan si anak, bila diwujudkan uang mas belum cukup untuk membayar utang itu.

Pendapat di atas sering dipergunakan orang tua untuk menekan anaknya. Ini berarti tambah hebat orang tua itu menyusahkan anaknya. Tekanan-tekanan itu biasanya berupa minta dihormati, disanjung dan diberi apa-apa, dengan semboyan “mikul dhuwur mendhem jero” (memikul tinggi, menanam dalam – orang tua yang mati). Rasa inilah yang sering menyebabkan pertengkaran antara orang tua dan anak.

Setelah sadar bahwa ia menyusahkan anaknya, maka pasti tumbuh dalam diri orang tua, rasa minta maaf kepada anaknya. Ini berarti bahwa pandangannya terhadap anaknya berubah. Bila anaknya tidak taat kepadanya, maka itu dianggapnya benar: “Anakku nakal itu benar, karena telah kususahkan dengan cacatku.” Jadi rasa minta maaf itu datangnya serentak dengan melihat kesalahan dan cacat diri sendiri.

Setelah mengetahui rasa anaknya, maka orang dapat menghayati rasa tetangganya. Ternyata tetangganya adalah orang yang disusahkan oleh cacatnya. Jadi orang itu menyusahkan tetangganya karena cacatnya. Cacat-cacat yang kasar lebih mudah diketahui, seperti tabiat suka mengambil barang orang lain. Tetapi cacat-cacat yang halus lebih sukar diketahui. Maka biasanya melihat cacat sendiri dimulai dari cacat-cacat yang kasar dulu.

Perintang yang menghalangi orang untuk melihat rasa tetangganya ialah kepentingan diri sendiri. Kepentingan diri sendiri ini sering digunakan untuk menilai jahat atau baiknya tetangga. Kalau perbuatan tetangga itu sesuai dengan kehendaknya, maka dianggapnya baik dan kalau tidak, dianggapnya jahat.

Bila dalam hubungan dengan tetangga, kepentingannya itu lenyap, yang berarti bahwa kepentingan itu bukanlah “aku”, maka orang dapat melihat rasa tetangga. Lenyapnya kepentingan sendiri memungkinkan ia melihat bahwa tetangganya itu benar, sedang dirinya yang salah. Jadi menghayati rasa tetangga berarti lenyapnya kepentingan diri sendiri dan mengetahui kesalahan dan cacat diri sendiri.

Melihat rasa tetangga ini disertai rasa minta maaf pada tetangga. Orang akan beranggapan bahwa tetangganya benar dan diri sendiri salah. Inilah rasa bersatu dengan tetangga, yang berarti tetangga itu bukanlah “kamu”.

Bila sudah dapat bersatu dengan tetangga, maka orang akan dapat bersatu dengan siapa pun yang dihubunginya. Jiwa seperti itu dapat dikatakan sebagai jiwa bersatu (jiwa manunggal). Jadi jiwa manunggal ialah rasa “bukan kamu” terhadap siapa yang dihadapinya.

About admin

Check Also

Rajah Kalacakra

“Amalan yang dibaca dan diamalkan oleh Syekh Subakir dalam mengembangkan agama dan menaklukkan Tanah Jawa”. ...