Dalam buku “Wejangan Kawruh Beja Sawetah”, Ki Ageng Suryo Mentaram mengatakan bahwa di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian, manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa “jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”.
Intinya adalah keinginan dan ketakutan, harapan dan kekhawatiran, pencapaian dan penghindaran. Seiring dengan itu, muncullah kebahagiaan dan penderitaan, kesenangan dan kesusahan. Sebuah bentangan mekanisme yang menyebabkan hidup terus berjalan. Tak peduli siapapun diterjang; tua-muda, kaya-miskin, lelaki-perempuan, dst. Bentangan itu dimunculkan oleh dua kutub; satu di ufuk timur satu lagi di ufuk barat, keinginan dan ketakutan.
Kebahagiaan dan penderitaan menyebabkan manusia berevolusi secara spiritual. ia seperti sebuah mesin yang menghasilkan segala macam produk. Merubah energi menjadi tenaga penggerak untuk mencapai dan menghasilkan sesuatu. Keinginan dan ketakutan menghiasi hari-hari kita tanpa bisa kita tolak. Karena penolakan itu sendiri adalah sebuah keinginan. Sebaliknya pula, keinginan itu adalah sebuah penolakan. Menginginkan sesuatu di satu sisi, menolak di sisi lain. Demikian sebaliknya.
Mekanisme keinginan dan penolakan itu melahirkan sifat-sifat yang sangat mendasar bagi manusia, yakni sering bermimpi dan suka mengeluh. Sekecil dan sehalus apapun, dua tabiat tersebut mesti ada, setidaknya di dalam pikiran. Ramainya alam dunia ini disebabkan karena adanya dua sifat manusia tersebut.
Lha, trus gimana dong, apa manusia gak boleh punya keinginan? Gak boleh bermimpi gitu? Atau sebaliknya, manusia gak boleh mengeluh gitu?
Hah, saya tidak berbicara tentang apologi miniatur manusia yang (katanya) punya kesempurnaan. Sebab, secara materil gak terbayang juga seperti apa sih cara hidup sosok manusia sempurna itu. Agama secara tekstual mengajarkan manusia tentang sebuah kesempurnaan, sehingga manusia harus begini, begitu, begono, dan tidak boleh begono, begitu, begini. Secara fisik, aturan-aturan itu mungkin bisa diikuti. Tapi, apa iya 100% plek, plek, ada sosok manusia yang hidup dengan cara sempurna? Jawaban singkatnya menurut saya; tidak ada. Lha, trus, ajaran agama itu utopis dong?
Begini say, kitab suci itu kan membuat suatu garis-garis besar haluan hidup bagi manusia. Meskipun hidup itu sendiri sebenarnya tidak perlu haluan. Maksudnya, istilah “hidup” itu merupakan gambaran kecerahan, kebangkitan, kejernihan, kecerdasan, ketenangan, ketentraman, kemakmuran dan dorongan-dorongan spiritual lainnya yang dinisbahkan kepada Tuhan sebagai Pemilik Hidup. Nah, garis-garis besar haluan hidup bagi manusia yang tertulis dalam kitab suci itu hanyalah ‘pengingat’ agar hidup kembali kepada fitrah dan azalinya. Toh, kitab suci secara tekstual pun memberikan ruang kepada manusia untuk tetap mengambil bagian dalam dunianya.
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash: 77)
Lha, bagaimanapun kehidupan dunia itu kan “segala sesuatu” selain dari Allah. Lalu sampai dimana yang dikatakan batasan keduniaan tersebut. Jelas, Allah telah memberikan kode etik dalam ayat tersebut; “berbuat baiklah dan jangan merusak”. Hasan dan fasad (kebaikan dan kerusakan) dalam ayat tersebut adalah implikasi dua kutub yang saling bertolak belakang. Karena dua kutub (keinginan dan ketakutan) yang melilit sistem hidup kemanusiaan itulah, maka muncul terminologi pahala-dosa, hadiah-sanksi, dan sorga-neraka. Hukum ruhani yang memunculkan hikmah sehingga hidup bagi manusia bisa terus ber-evolusi secara ruhani.
Teks-teks kesucian yang tertulis dalam kitab suci itu merupakan gambar dari kesucian hidup itu sendiri. Hidup pada azalinya adalah suci. Teks-teks itu dikatakan kitab suci, karena merupakan pancaran dari “Hidup” yang dikatakan suci. Trus, apa hubungannya dengan keinginan dan ketakutan? Lho, keabsahan dua kutub itu ditentukan oleh “Kitab Suci” yang kesuciannya terus menerus hidup. Semacam distampel, gitu.
Karena itu, saya katakan juga bahwa segala perbuatan yang muncul dari keinginan dan ketakutan itu harus punya ketuntasan. Ketuntasan itu menunjukkan sebuah rangkaian yang cabang dan rantingnya menyentuh langit. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi. (Tuhan itu abadi dan tak bisa diperumpamakan, menjadi asal dan tujuan kehidupan)
Dengan demikian, sangatlah maklum dan manusiawi jika manusia dalam menjalankan laku keinginan (dan ketakutannya) selalu bereksperimen mencari format agar keinginannya itu keluar dari sesuatu yang “Hidup” dalam dirinya. Sehingga keinginan itu sah menjadi perbuatan yang dikatakan berdasarkan kitab suci. Prototipe kesempurnaan manusia berada pada ketuntasan dalam berprilaku.
Lalu, seperti apakah eksperimen prilaku itu bisa memberikan ketahanan dalam kehidupan manusia di dunia? Mengingat, manusia itu seringkali mengeluh, putus asa, dan pesimis dalam mencari format kehidupannya?
Atas dasar itulah, manusia memaksa untuk selalu ingin agar keinginan dan mimpi-mimpinya tercapai. Menginginkan suatu keinginan dan mimpi agar terpenuhi adalah bagian dari ketuntasan. Sebab terpenuhinya keinginan tersebut dikendalikan oleh tujuan dari eksperimen tadi, yakni sebuah ketuntasan. Karena itu, kembalilah kepada garis-garis besar haluan hidup. Terpenuhi atau tidak, keberhasilan itu ditentukan oleh tuntas atau tidak tuntasnya sebuah prilaku. Wilayah ini yang harus dipahami dan terus menerus dilatih.
Ki Ageng Suryo Mentaram memberikan sebuah haluan agar mekanisme keinginan dan ketakutan beserta seluruh implikasinya perlu disadari agar kehidupan manusia punya ukuran dan tidak terlepas dari kewaspadaan diri. Bukanlah sebuah persoalan memiliki keinginan dan mimpi yang tinggi, jika ia dituntaskan oleh sesuatu yang “hidup” dan menjadikannya suci.
- Oleh: alHajj Ahmad Baihaqi
- Pasulukan Loka Gandasasmita