Home / Agama / Kajian / Ujian Adalah Sunnatullah

Ujian Adalah Sunnatullah

Kisah dari Jalaluddin Rumi yang tercantum dalam kitabnya ‘Fihi Ma Fihi’ berikut ini, sebenarnya juga bisa menjelaskan makna ayat Qur’an Q. S. 29 : 2,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak akan diuji lagi?” (Q. S. 29 : 2)

Ayat berikutnya (Q. S. 29 : 3) juga menerangkan bahwa salah satu fungsi ujian bahwa salah satu fungsi ujian adalah memisahkan mereka yang ‘shiddiq’ (benar) dari mereka yang ‘kidzib’ (dusta).

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Dan sesungguhnya, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya, Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” – (QS.29:3)

Juga bisa disimpulkan, beberapa dari makna ayat Q.S. 29 : 2 jika dijabarkan adalah:

  • Tidak ada keimanan tanpa ujian.
  • Ujian adalah sunatullah yang pasti berlaku.
  • Ujian adalah proses penanggalan hijab di dalam qalb seseorang.
  • Sesuatu yang menghijab adalah sesuatu yang terikat di qalb, biasanya sesuatu yang sangat kita sukai.

Silahkan dinikmati prosa Rumi dari Fihi Ma Fihi berikut ini. Saya terjemahkan ulang dari “Signs of The Unseen: The Discourses of Jalaluddin Rumi”.

: : : : : : :

ADA diantara para hamba Tuhan yang mendekati-Nya melalui Al-Qur’an. Ada pula yang lain, yang lebih khusus, yang memang datang dari Tuhan hanya untuk mendapatkan Al-Qur’an disini, untuk kemudian semakin meyakini bahwa memang Tuhan lah yang menurunkannya.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan ‘Adz-Dzikra’ dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q. S. 15 : 9)

Para pensyarah mengatakan bahwa ayat ini adalah tentang Al-Qur’an. Ini baik dan boleh saja, tapi sebenarnya masih terdapat makna lain disini, seperti “Telah Kami letakkan dalam dirimu sebuah hakikat, sebuah hasrat pencarian, sebuah kerinduan. Dan Kami sendirilah penjaganya. Kami tak akan membiarkannya sia-sia, dan Kami pasti akan menumbuhkannya hingga berbuah.” (Ingat akar kata ‘Dzikra’ = ‘dzikir’ = mengingat —pen.)

Sebutlah “Tuhan” satu kali dan berdirilah dengan penuh keteguhan, karena dengan itu semua bala bencana akan menghujani dirimu.

Pernah seseorang datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Aku mencintaimu.”

“Berhati-hatilah dengan perkataanmu,” jawab Sang Nabi.

Lagi, lelaki itu mengulang, “Aku mencintaimu.”

“Berhati-hatilah dengan perkataanmu,” Sang Nabi mengingatkan kembali.

Tapi untuk ketiga kalinya lelaki itu berkata, “Aku mencintaimu.”

“Sekarang berdirilah dengan penuh keteguhan,” jawab Sang Nabi, “karena kini aku harus membunuhmu melalui tanganmu sendiri. Kau akan sengsara.”

: : : : : : :

Pada masa kehidupan Sang Nabi saw, pernah seseorang berkata, “Aku tidak menginginkan diin ini. Demi Tuhan aku tidak menginginkannya! Ambil kembali diin ini! Sejak aku memasuki agamamu ini, belum pernah kualami satu pun hari yang tentram. Aku kehilangan hartaku, aku kehilangan istriku, tiada lagi anak-anakku yang tersisa. Tak ada lagi kemuliaan, kekuatan, dan hasrat yang tersisa pada diriku!”

Tapi jawaban dari perkataan itu adalah, “Kepada siapapun agama kami mendatangi, ia tak akan pernah kembali hingga ia mencabut seseorang dari akarnya* dan menyapu bersih rumahnya**.“Dan tak akan menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Q.S. 56 : 79)

Sepanjang engkau masih memiliki setitik rasa cinta diri yang tersisa dalam dirimu, tak akan pernah ada Kekasih yang akan memberikan perhatiannya padamu. Tidak juga kau layak untuk ditemani, dan tak akan ada kekasih yang mengizinkanmu masuk melewati pintunya. Seseorang haruslah benar-benar telah lepas dari ikatan-ikatan jasadiah dan tak lagi bersahabat dengan keduniawian, jika ia ingin Sang Kekasih menampakkan wajahnya. Sekarang ketahuilah, agama kami tak akan pernah mengendurkan incarannya. Ia akan terus demikian sampai ia kukuh mencengkeram sebuah hati, mempersembahkannya kepada Tuhan, dan menceraikan hati itu dari segala sesuatu yang bukan untuknya.

Nabi berkata, bahwa penyebab engkau tak menemukan ketentraman dan terus-menerus menderita, adalah karena penderitaan sebenarnya seperti orang yang sedang muntah. Selama semua kenikmatan masih bersumber dari dalam perutmu, kau tidak akan pernah diberikan makanan*** apapun. Ketika seseorang terus-menerus muntah, maka ia tidak bisa makan apa-apa. Ketika muntahnya telah selesai, barulah ia bisa mulai makan.

Engkau pun demikian, harus menunggu dan menerima penderitaan, karena penderitaan adalah muntah. Setelah muntah selesai, kebahagiaan akan datang, sebuah kebahagiaan yang tanpa penderitaan, mawar yang tanpa duri, anggur yang tidak membuatmu mabuk.

Siang dan malam engkau terus mencari ketenangan dan ketentraman di dunia ini, tapi tidaklah mungkin meraih ketenangan dan ketentraman di dunia ini. Walau demikian, sesaat pun engkau tidak pernah berhenti mengejarnya. Ketentraman apapun yang kau temukan di dunia ini, sama singkatnya seperti cahaya petir yang menyambar. Petir yang seperti apa? Petir yang muncul di tengah hujan batu es, air, dan salju, penuh dengan kesengsaraan.

Ambillah contoh, katakanlah seseorang ingin pergi ke Anatolia, tapi mengambil jalan ke Caesarea. Sekalipun dia tidak pernah berhenti berharap untuk sampai ke Anatolia, tapi mustahil dia akan sampai ke sana dengan jalan yang diambilnya. Tapi seandainya dia mengambil jalan yang benar ke Anatolia, walaupun dia seorang yang lemah dan pincang, pada saatnya ia akan sampai, karena memang di sanalah jalan itu berakhir.

Tidak ada urusan apapun, baik di dunia ini maupun di alam berikutnya, yang bisa diselesaikan tanpa melalui penderitaan. Karena itu maka terimalah penderitaanmu demi kehidupan yang berikutnya, sebab kalau tidak penderitaanmu akan sia-sia belaka.

Kau berkata, “Ya Muhammad, ambil kembali agamaku ini, sebab karenanya aku tak pernah lagi menemukan ketentraman.”

“Bagaimana mungkin ad-diin akan melepaskan mangsanya, sebelum ia berhasil menyeretnya hingga sampai ke tujuannya?” demikianlah Beliau akan menjawab.

[HM]

Keterangan :

* Akar = Simbol kecenderungan duniawi, jasadiyah/badaniah, ikatan-ikatan duniawi pada qalb.
** Rumah = Simbol Qalb.
*** Makanan = Simbol hikmah, pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan.

Dikutip dari buku Thackston; W. M (trans.), “Signs of The Unseen (Fihi Ma Fihi): The Discourses Of Jalaluddin Rumi” (1999: Shambala: Boston & London), ch. 26, hal. 119-121.

Diterjemahkan kembali oleh Herry Mardian.

Source: Suluk

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...