Oleh: Ahmad Baihaqi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, hari ini, umat muslim di sejumlah negara, termasuk Indonesia, merayakan Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah. Bulan Dzulhijjah ini adalah bulan ke-12 atau bulan terakhir pada penanggalan tahun hijriyah. Keputusan Idul adha pada hari ini, 1442 H./2021 M., juga dilaksanakan oleh Kerajaan Arab Saudi. Negara yang sering dijadikan rujukan untuk menentukan momentum hari besar Islam.
Setidaknya, ada dua momentum di hari ini yang dijadikan sebagai ibadah, yakni ibadah Qurban dan ibadah Haji. Keduanya sama-sama mengandung nilai serta makna pengorbanan yang amat tinggi sebagai penopang keimanan dan pengabdian total kepada sang Maha Pencipta. Itu pula sebabnya Idul Adha kerap disebut dengan Hari Raya Qurban atau Lebaran Haji.
Idul Adha dilaksanakan oleh umat muslim di seluruh dunia, tidak peduli dalam situasi perang maupun damai, di tengah situasi normal maupun dalam situasi pandemi seperti sekarang ini. Kedua ibadah itu tetap saja dilaksanakan. Khusus untuk pelaksanaan ibadah haji, Pemerintah Arab Saudi membatasi kuota jamaah haji untuk tahun ini, 1442 H./2021 M., hanya 60.000 orang, dan dipioritaskan untuk penduduk lokal Arab Saudi.
Saudaraku terkasih, ada baiknya kita yang bukan penduduk Arab Saudi, yang sudah dua tahun belakangan ini tidak bisa berhaji karena pandemi covid-19, mari kita renungkan makna qurban sebagai bahan untuk mengaktualisasikan amal nyata kita.
Qurban adalah Manifestasi Cinta Hakiki
Sejarah qurban sering kita rujuk dasar pelaksanaannya pada kisah mimpi Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm yang diperintahkan oleh Allah subhânahû wata’âlâ untuk menyembelih anaknya, Nabi Isma’il ‘alaihissalâm. Kisah ini dalam ibadah haji dimaknakan menjadi hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah), yakni keraguan Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm akan kebenaran mimpinya, yang kemudian terjawab keraguan itu di hari Arafah (9 Dzulhijjah). (Silahkan baca artikel kemarin tentang tema ini: “Tahukah Kamu Mengapa Dinamakan Hari Tarwiyah dan Hari Arafah?”)
Telah kita ketahui bersama bahwa kelahiran Isma’il dipandang oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm adalah sebuah peristiwa yang berada di luar nalar umum. Pasalnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm sudah berusia lanjut, yakni sekitar 85 tahun. Secara psikologis, kelahiran Isma’il melalui rahim isterinya yang kedua, Sayyidah Hajar, membuat Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm mengalami kebahagiaan yang sangat. Isma’il adalah seorang putera yang begitu sangat dinanti.
Peristiwa di luar nalar pun terjadi lagi setelah 15 tahun kelahiran Isma’il, yakni kelahiran Ishaq melalui rahim isterinya yang pertama, Sayyidah Sarah. Di usia senja, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dianugerahkan oleh Allah subhânahû wata’âlâ kebahagiaan bertubi-tubi. Peristiwa yang tidak masuk akal ini pun membuat Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bertanya-tanya, sebagaimana diabadikan oleh Allah subhânahû wata’âlâ di dalam al-Qur’an:
قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَىٰ أَنْ مَسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ ۞
Berkata Ibrahim: “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?” (QS. Al-Hijr: 54)
Ayat tersebut adalah rangkaian kisah ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm didatangi tamu yang tak pernah dikenalnya sehingga Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm muncul rasa takut. Tamu itu adalah Malaikat yang diutus oleh Allah subhânahû wata’âlâ untuk mengabarkan tentang kelahiran seorang anak. Kisah selengkapnya, silahkan buka QS. Al-Hijr mulai dari ayat 51 dst.
Saudaraku terkasih, jika kita membaca sejarah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm yang dianugerahi kebahagiaan oleh Allah subhânahû wata’âlâ di usianya yang sudah senja, maka akan kita rasakan bagaimana dahsyatnya kebahagiaan itu. Bahkan seringkali, secara psikologi manusia pada umumnya, kebahagiaan itu cenderung menutup cahaya hati dan kejernihan pikiran. Kebahagiaan itu akan menjadi hijab tersendiri yang menutup pandangan-pandangan jernih akan Ketuhanan.
Kelahiran anak dalam pandangan manusia umum adalah sesuatu yang sangat berharga, apalagi hal itu terjadi di usia senja, di mana perasaan untuk memiliki keturunan sudah hilang. Nilai kebahagiaan lahirnya seorang anak kandung melebihi kebahagiaan apapun yang bersifat materil. Cinta terhadap anak adalah titik episentrum segala kecintaan. Ia mengungguli segala kecintaan terhadap apapun. Itu pandangan psikologi manusia pada umumnya. Bagaimana dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm? Apakah psikologi beliau sama dengan psikologi manusia umum?
Jika diperbandingkan dengan segala kecintaan yang bersifat materil, rasa sayang dan cinta kasih Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm terhadap anaknya jelas lebih dalam daripada manusia umum. Lalu bagaimana jika diperbandingkan rasa sayang dan cinta kasih terhadap buah hati itu diperhadapkan dengan cinta kepada Allah subhânahû wata’âlâ, Sang Pencipta dan Pemilik segala sesuatu sikap antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dengan manusia pada umumnya?
Rasanya, pertanyaan itu sudah jelas jawabannya. Karena itu, tak perlu dijawab. Tapi hendaklah menjadi bahan perenungan buat kita semua, bahwa hakikat “Qurban” adalah manifestasi pengorbanan untuk sebuah “Cinta”. Cinta yang dimaksud di sini adalah segala manifestasi akumulasi cinta manusiawi yang dipertaruhkan dengan “Hakekat Cinta”, yakni Pemilik Cinta, Allah subhânahû wata’âlâ.
Pada titik usia senja, ketika harapan untuk punya keturunan sudah pudar, ketika jiwa raganya sudah pasrah untuk memasuki masa yang usianya sudah tidak produktif lagi, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm justru “dipermainkan” Tuhan. Seolah Tuhan “mengaduk-aduk” jiwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dengan memberinya anak, darah dagingnya, baik melalui Sayyidah Hajar maupun dari Sayyidah Sarah. Entah apa yang muncul dari hati Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm setelah itu.
Ternyata “Permainan” Tuhan tidak cukup sampai di situ. Setelah sedemikian bahagianya karena kelahiran anak, lalu muncul setelah itu rasa sayang dan cinta kasihnya terhadap anak, hingga tak ada bandingannya di antara rasa kecintaan kepada sesuatu yang lain, lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm diperintah untuk menyembelih buah hatinya. Dapatkah kita membayangkan? Terus terang, bergetar hati kita ketika membayangkan titik ini. Kadang ketidak-sanggupan kita membayangkan titik ini tergantikan dengan linangan air mata.
Sang Pecinta Hakiki adalah Manifestasi-Nya
Betapa “Cinta Hakiki” kerapkali menguji si pecinta untuk menanggalkan segala bentuk kecintaannya terhadap apapun. Cinta Hakiki tak ingin dipersandingkan dengan bentuk cinta yang lain. Ia utuh dan hanya satu. Ia menginginkan si pecinta untuk fokus hanya kepada-Nya. Ia menginginkan si pecinta untuk “bersetubuh” hingga mata si pecinta dipakai untuk penglihatan-Nya, telinga si pecinta dipakai untuk pendengaran-Nya, mulut si pecinta dipakai untuk ucapan-Nya. Setelah itu, prilaku si pecinta terhadap sesama makhluk lain adalah bentuk aliran rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
Ketika si pecinta mencintai sesamanya, maka itu adalah wujud dari cinta-Nya. Ketika si pecinta marah kepada sesamanya, maka itu adalah wujud dari marah-Nya. Ketika si pecinta memerintahkan sesamanya untuk berbuat suatu kebaikan, maka itu adalah wujud dari perintah-Nya. Ketika si pecinta memerintahkan sesamanya untuk meninggalkan keburukan, maka itu adalah wujud dari larangan-Nya.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm melaksanakan mimpinya yang berupa perintah untuk menyembelih buah hatinya adalah wujud pengorbanan tertinggi dalam sejarah kemanusiaan. Pengorbanan itu adalah bentuk Cinta yang paling agung yang pernah Allah tunjukkan kepada makhluk-Nya yang lain. Lalu beberapa abad kemudian, sosok pecinta sempurna yang mempertaruhkan jiwa raganya setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm adalah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pecinta sempurna yang menjadi rahmat-Nya di muka bumi. Matanya adalah Penglihatan-Nya, telinganya adalah Pendengaran-Nya, mulutnya adalah Ucapan-Nya, dan prilakunya adalah Af’al-Nya.
Mencintai Karena Allah
Dari Habib bin ‘Ubaid, dari Miqdam ibnu Ma’dy Kariba –dan Habib menjumpai Miqdam ibnu Ma’di Kariba, ia berkata, “Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya hendaklah dia memberitahu saudaranya itu bahwa dia mencintainya.” (HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrod, no. 421/542, shahih kata Syaikh Al-Albani)
Dari Mujahid berkata, “Ada salah seorang sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku lalu ia memegang pundakku dari belakang dan berkata, “Sungguh saya mencintaimu.”
Dia lalu berkata,
أَحَبَّكَ اللّٰهُ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ لَهُ ۞
“Semoga Allah yang membuatmu mencintaiku turut mencintaimu karena-Nya.”
Dia berkata, “Kalau sekiranya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Jika seorang pria mencintai saudaranya hendaklah dia memberi tahu bahwa dia mencintainya“, maka tentulah ucapanku tadi tidak kuberitahukan kepadamu.” Dia lalu menyodorkan sebuah lamaran kepadaku sambil berkata, “Kami memiliki seorang budak perempuan dia buta sebelah matanya (silahkan engkau mengambilnya).” (HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad, 422/543).
Adapun keutamaan mencintai karena Allah disebutkan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga perkara yang bisa seseorang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai saudaranya hanyalah karena Allah, (3) ia benci kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana ia tidak suka jika dilemparkan dalam api.” (HR. Bukhari, no. 21 dan Muslim, no. 43).
Saudaraku yang terkasih, semoga Allah subhânahû wata’âlâ melimpahkan berkah dari keagungan dan kekuatan Cinta Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada Pemilik Cinta Hakiki. Semoga Allah subhânahû wata’âlâ memberikan kekuatan kepada kita untuk mencintai Kekasih-Nya, Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam hingga rahmat dan berkah terlimpah juga kepada kita, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِيْ يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ ۞
Allâhumma innî as`aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wal ‘amalal ladzî yuballighunî hubbaka. Allâhummaj‘al hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mâ’il bârid
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih kucintai daripada diriku, keluargaku, dan air yang dingin (di padang yang tandus)”. (HR. Tarmidzi)
Wallâhu A’lam.