Home / Agama / Shalawat/Qashidah/Wiridan/Dzikir / Tuntunan Tarekat Syattariyah

Tuntunan Tarekat Syattariyah

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Syattariyah adalah aliran tarekat pertama di india pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbatkan kepada nama Mursyidnya, Abdullah asy-Syattar. Tarekat ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama ‘Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Utsmani, tarekat ini disebut Bisthamiyah.

Martin Van Bruinessen, ahli antropologi menyebutkan bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatera. Tapi antara satu dengan lainnya tidak berhubungan. Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat paling “membumi“ di antara tarekat yang ada.

Ajaran Tarekat Syattariyah

Salah satu dari ajaran Tarekat Syattariyyah yakni hubungan antara Tuhan dengan Alam. Hal ini menjadi salah satu magnum opus dalam i’tiqad (keyakinan) yang mesti dijalankan oleh para salik. Sebagaimana juga sudah menjadi pegangan para Mursyid dari zaman ke zaman di Tarekat Syattariyyah.

Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah SWT dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah SWT, alam berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yãn Tsãbitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah SWT. Setelah itu, A’yãn Tsãbitah menjelma pada A’yãn Khãrijiyyah (kenyataan yang berada di luar). Maka, A’yãn Khãrijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang, dan ia tiada lain dari pada-Nya.

Untuk memudahkan pemahaman, hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:

Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari seorang saja.

Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termasuk dari tangan itu juga.

Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasiNya Yang Maha Benar’.

Guru kami, Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Fansyuri as-Singkiliy, Mursyid Tarekat Syattariyyah di Aceh mengatakan dalam Kitabnya Tanbîh al-Mãsyî al-Manshûb ilã Tharîqil Qusyãsyi:

وَكَذَلِكَ اَيْضًا إِذَا رَأَيْتَ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقُوْلُ اَلْكُلُّ هُوَ الْحَقُّ فَلَيْسَ ذَلِكَ إِلَّا فِى هُوَ أَعْنِى بِهِ فِى الْاَحَدِيَّةِ مِنْ حَيْثُ مَا ذُكِرَ وَقَبْلَ الظُّهُوْرِ، كَمَا قَالَ الشَيْخُ مُحْيِ الدِّيْن قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ « كُنَّا حُرُوْفًا عَالِيَاتٍ لَمْ نَقُلْ مُتَعَلِّقَاتٌ فِى ذِرَى اَعْلَى الْقِلَلِ، أَنَا أَنْتَ فِيْهِ وَنَحْنُ أَنْتَ وَأَنْتَ هُوَ وَالْكُلُّ فِى هُوَ هُوَ فَاسْئَلْ عَمَّنْ وَصَلَ .

Begitu juga, jika engkau melihat seseorang yang mengatakan bahwa al-kull adalah al-Haqq, maka tidak lain, makna yang benar dari pernyataan tersebut adalah segala sesuatu itu ada pada-Nya (Huwa), yakni pada keesaan-Nya sebagaimana telah disebutkan di sini dan dalam konteks zaman dahulu. Sebagaimana Syekh Muhyiddin —semoga Allah menyucikan arwahnya— pernah berkata, “Kami adalah huruf-huruf yang tinggi (namun) tak terucapkan, tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia, dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia, dan al-kull adalah Dia, tanyalah mereka yang telah sampai”.

Dzikir dalam Tarekat Syattariyah.

Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah SWT itu sebanyak gerak nafas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar.

Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu, ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, ‘uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.

Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasithah (tingkat menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat tanziyyah dan ma’rifat tasybiyyah.

Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu i’tiqad bahwa Allah SWT tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah atau hakikatnya. Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengi’tiqadkan bahwa Allah SWT Maha Melihat dan Maha Mendengar’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah SWT dapat selamat dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:

  1. Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan “lã ilãha…” sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan “illallãh…” yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
  2. Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan lã ilãha illallãh, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, “lã ilãha…” ketimbang itsbat-nya, “illallãh…” yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
  3. Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan “illallãh…, illallãh…, illallãh…” yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
  4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan “Allãh…Allãh…Allãh…“, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
  5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir “Allãh-Hû…, Allãh-Hû…, Allãh-Hû…”. Dzikir “Allãh…” diambil dari dalam dada dan “Hû…” dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
  6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir “Hû-Allãh…, Hû-Allãh…, Hû-Allãh…”. Dzikir “Hû…” diambil dari bait al-makmur, dan “Allãh…” dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
  7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir “Hû…, Hû…, Hû…” dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan dan diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.

Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mu’minun ayat 17:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِينَ ۞

Walaqad khalqnã fauqakum sab’a tharãiqa wamã kunnã ‘anil khalqi ghãfilîn

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.

Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:

  1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat; senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
  2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini; enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
  3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya; dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
  4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya; senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
  5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya; zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
  6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya; berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
  7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya; Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Syarat-Syarat Berdzikir.

Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah:

  • Makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal;
  • selalu berkata benar;
  • rendah hati;
  • sedikit makan dan sedikit bicara;
  • setia terhadap guru atau syekhnya;
  • kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
  • selalu berpuasa;
  • memisahkan diri dari kehidupan ramai;
  • berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih;
  • menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri;
  • menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram;
  • membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri;
  • mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Demikianlah ulasan tentang ajaran tarekat Syattariyah, dzikir dan syarat-syarat berdzikir dalam tarekat Syattariyah. Semoga Allah SWT memberikan jalan terbaik untuk menuju-Nya, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

 

 

About byHaqq (Admin)

Pena adalah senjata yang lebih halus dari atom. Kadangkala terhempas angin, terbuang seperti sampah. Kadangkala terkumpul ambisi, tergali seperti ideologi. Manfaat dan mudharat pena adalah maqamatmu...

Check Also

Orang Sombong Tidak Diperkenankan Melihat Allah SWT

”Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihatNya”. Oleh: Admin بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ...