Oleh: Hendri T. Asworo
Suara kendaraan bermotor meraung di siang bolong. Diiringi suara teriakan dan kecaman dari gerombolan massa. Ada yang membawa balok kayu, bambu hingga spanduk bertuliskan kecaman.
“Rumah ini dilarang untuk dipakai beribadah,”begitu tulisan spanduk itu. Kemudian spanduk putih dengan tulisan hitam tersebut dipasang di tembok rumah yang dijadikan tempat ibadah umat Kristiani.
Peristiwa tersebut terjadi 4 tahun lalu. Di sebuah perumahan Komplek Sarua Permai, Pamulang, Tanggerang Selatan. Sampai saat ini, bagunan itu terlihat sepi. Tidak ada aktivitas peribadatan lagi. Masih tampak coretan pelarangan di dinding yang belum diplester itu.
Tak jauh dari lokasi itu, terdapat masjid Ahmadiyah. Beberapa waktu lalu, tempat itu sempat disatroni ‘segerombolan orang berjubah’ seiring kerusuhan di desa Cikeusik, Pandeglang, Banten. Beruntung polisi sigap menjaga tempat ibadah sehingga aman dari pengrusakan.
Tempat ibadah umat minoritas seakan-akan menjadi fasilitas mahal di tengah-tengah keyakinan kaum mayoritas. Intimidasi psikis dan fisik mewarnai perbedaan. Akar toleransi seakan hilang pada saat memasuki orde reformasi.
Bahkan, sikap intoleransi seakan menjadi keterbiasaan di lingkungan masyarakat pada era kebebasan ini. Hal tersebut semakin diyakinkan dengan adanya survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2012.
Survei bertema Demokrasi Minim Toleransi pada Februari-Maret 2012 itu mengungkapkan fakta bahwa masyakat Indonesia masih bisa menerima bertetangga dengan suku lain dengan presentasi tidak keberatan 83,4%, menolak 11,4%, dan sisanya abstain.
Namun, saat dimintai pendapat mengenai bertetangga dengan agama lain persentase tidak keberatan menurun menjadi 59,5% dan menyarankan lebih baik tidak menjadi 33,7%.
Penolakan pendirian rumah ibadah lain di lingkungan pun meningkat signifikan 68,2%, sedangkan yang menerima hanya 22,1%. Penolakan pernikahan beda agama pun meningkat cukup ekstrime, yakni 79,3%. Adapun yang menerima hanya 12,9%.
Peneliti CSIS Philips J Vermonte menyampaikan bahwa penolakan rumah ibadah agama lain terlihat dari persetujuan penurunan patung Buddha di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang mencapai 49%, sedangkan yang menolak diturunan hanya 23,5%.
Hasil survei juga mendukung adanya persetujuan masyarakat untuk pendirian tempat ibadah, yang mencapai 91,5%, dan yang menolak hanya 3,1%. Mereka juga mendukung pembubaran Ahmadiyah yang mencapai 61,1% dan hanya 1,3% yang mendukung memberikan kebebasan.
Sikap intoleransi pun mencuat dari pendukung partai politik. Simpatisan Partai Demokrat yang mendukung bertetangga dengan agama lain mencapai 80,7%, sedangkan bertetangga dengan rumah ibadah agama lain hanya 19,1%.
PDI Perjuangan yang mengklaim partai nasionalis hanya memberikan dukungan bertetangga dengan agama lain 59,2% dan mendukung keberadaan agama lain 31,4%. Hal itu sebaliknya dengan PKS dan Golkar yang masing-masing memiliki komposisi dukungan 55,6% dan 8,3% serta 72,8% dan 18,4%.
“Partai telah gagal memberikan pemahaman kepada pemilihnya terhadap toleransi umat beragama. Partai nasionalis justru cenderung menentang bertetangga dengan agama lain. Ini perlu dikoreksi,” ujarnya.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan menilai sikap toleransi justru lebih tinggi pada saat orde baru. Namun, sambungnya, sikap intoleransi kian meningkat pada era reformasi. Menurutnya, ini merupakan kemunduran.
“Memang pada orde baru sikap toleransinya semua, karena selalu dihantui sepatu laras dan senjata. Tapi, apakah dengan era reformasi ini harus dilakukan sikap represif seperti itu? Tentu kan tidak. Campur tangan pemerintah yang kurang,” tuturnya.
Kurangnya campur tangan pemerintah terlihat dari momen mengiatkan sikap toleransi hanya terjadi setahun dua kali, yakni perayaan hari lahir Pancasila 1 Juni dan Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Menurutnya, perlu ada program untuk mendorong masyarakat lebih bertoleransi.
Apakah memang peran pemerintah kurang dalam membina sikap toleransi? Bisa jadi benar. Tapi, setidaknya kita bisa mulai bertolerasi di lingkungan saat pemerintah belum bisa diandalkan. (JIBI/nel)