Penulis Dan Tiga Panglima TNI
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Jokowi (JKW), ada enam yang menjadi Panglima TNI. Dari enam, ada tiga yang penulis kenal dan bersentuhan. Selama ini TNI masih sangat dipercaya sebagai ujung tombak sekaligus kunci keselamatan bangsa Indonesia. Pada era pemerintahan Pak SBY, dan Presiden Jokowi ada perbedaan kepemimpinan, karena biografi dan kultur yang berbeda dari keduanya. Nah, inilah sedikit tentang ketiganya, sebagai back boone Indonesia.
Pertama, Marsekal Djoko Suyanto dari TNI AU, waktu pendidikan Seskoau-26, penulis pernah bersama-sama satu kelas, bahkan satu sindikat selama 11 bulan di kelas Staf Umum dan Komando. Pak Djoko dipercaya sebagai ketua Senat. Karena selalu bersama-sama day by day selama 11 bulan, penulis makin mengenal alumnus Akabri Udara 1973 ini. Djoko perwira yang smart, pengetahuannya luas, wise, baik dan bisa tegas. Di TNI AU diakui sebagai pilot tempur handal yang mampu lulus pendidikan tertinggi fighter pilot di AS, Top Gun. Saat itu Djoko bersama-sama Suprihadi (Marsdya Pur, mantan Sekjen Kemhan), adik ipar dari penulis.
Sebagai insan intelijen yang juga ikut spotting, saat di Sesko penulis membuat prediksi intelijen, Mayor Djoko (pangkat saat Seskoau) ini penulis sebut sebagai salah satu calon pimpinan tertinggi TNI AU (Kasau). Ternyata karirnya berjalan lancar, takdir menggariskannya tidak hanya menjadi Kasau, tapi terpilih sebagai Panglima TNI dan bahkan Menkopolkam. Sampai kini Pak Djoko masih aktif menghimpun dan mengurusi PPAU sebagai Ketua Umum.
Kedua, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (GN), alumnus Akmil 1982, penulis kenal saat pangkatnya Kolonel sebagai Dan Brigif-1/ Pam Ibukota. Penulis dikenalkan oleh seorang konglomerat. Karirnya lancar dan terus bersinar. Saat menjabat Kepala Staf TNI AD, penulis sempat makan siang di kantornya, para Asisten dan Waas diundangnya, katanya untuk menyimak kita berdua berdiskusi soal ancaman nasional dan masalah geopolitik. Energi sebagai Latar belakang konflik, Teori Malthus 1798, perkembangan Lingstra, trend perang saat ini proxy dan hybrid war serta masalah globalisasi. Pray diberi buku oleh Pak Gatot yang berjudul “Memahami ancaman, menyadari jati diri sebagai modal membangun, menuju Indonesia emas.” GN menyebut penulis pengamat intelijen, karena sering jadi narsum di TV.
Takdir juga menjadikannya GN menjadi Panglima TNI. Setelah purna, penulis heran kenapa GN tidak bisa jadi capres/cawapres. Jaringannya cukup luas dan ia dekat dengan kekuatan Islam. Saat akan jadi Panglima GN saat berdiskusi dengan penulis menyebut penggantinya, tidak akan memilih mereka yang berada di bawah kontrol politik. Nampaknya GN tipe yang kurang dekat (kurang suka) dengan pengaruh kekuatan partai politik. Pak Gatot ini tipe orang pasukan, kadang bicaranya keras bahkan agak-agak kotroversi.
Dia bebas buka front ke Polri. Penulis pernah mengeritik saat diundang di Kompas TV tentang ucapannya soal info intel A-1 pembelian 5.000 senjata. Menurut penulis itu informasi bukan intelijen. Dari strategi intelijen, sebetulnya daripada Sandiaga, kenapa Prabowo (08) tdk sekalian ambil GN saja sebagai Cawapres, akan lebih menggigit. Orang bilang pasangan TNI dengan TNI tidak laku, belum tentu juga. Publik itu sederhana, kalau kurang puas dengan pimpinan nasional sipil, mereka bisa dengan mudah pindah ke calon militer. Thn 2004, SBY menang karena rakyat tidak puas/kecewa dengan kepemimpinan sipil yang dianggap lemah.
Posisi 08 dengan Sandi kok rasanya kurang kuat melawan Jokowi alone, kecuali ada momentum khusus. Walaupun Peneliti LSI Denny JA, Adrian Sopa menyatakan (27/11), dari hasil survei selisih dari kedua pasangan tersebut mencapai 20 persen, Jokowi-Ma’ruf masih unggul. Untuk yang belum menentukan pilihan sebesar 15,6 persen. Tapi ya sudah, sepertinya GN hanya akan menjadi penggembira dalam pilpres nanti atau sebagai pejabat pada pemerintahan 2019-2024.
Ketiga, Marsekal Hadi Tjahyanto, alumnus 86 ini perwira AU sejati karena performance khas TNI AU, berkumis lebat. Penulis sejak pak Hadi jadi Kadispenau selalu intensif berhubungan, dan hingga kini. Takdir menjadikannya sebagai Kasau dari alumnus genap, sebelumnya selalu ganjil/gasal terus. Penulis mendukung “The Blues” ini, berupa info dan analisis intelijen, ini Pati TNI kedua yang berhasil menjadi Panglima TNI, sebagai pur TNI AU penulis di samping bangga juga punya kewajiban moral mendukungnya. Pak Hadi ini smart, pengetahuannya luas, supel dalam bergaul, low profile tapi tegas. Makin mantap dalam memimpin TNI. Fasih berbahasa Perancis karena Seskonya di Perancis.
Tahun Tantangan Panglima
Nah, penulis mencoba memberikan informasi tentang kemungkinan ancaman yang akan dihadapi Indonesia pada bulan-bulan politik menuju pilpres dan pileg, yang akan dilaksanakan 4,5 bulan lagi. Akhir tahun 2018 hingga TW-1 Tahun 2019 adalah tahun tantangan bagi Panglima TNI dan jajarannya. Bulan-bulan kritis menuju Pilpres dan Pileg yang sama-sama akan dilaksanakan pada 17 April 2019 akan penuh dengan dinamika politik yang suka main kotor. Memang Polri sebagai penanggung jawab keamanan, tetapi dalam kondisi darurat, seperti terjadinya insurgency, TNI yang harus menyelesaikan, karena ini merupakan ancaman nasional. Sebagai contoh, konflik Syria hanya diawali karena kelirunya menangani demo, sehingga memunculkan martir. Tidak terbayangkan Suriah kini sudah belasan tahun hancur lebur, korban dan pengungsi jutaan.
Penulis mendapat informasi adanya sebuah message intelijen dari luar, siapkan TNI sekarang juga, jangan ditunda, karena Indonesia akan menghadapi turbulance. Intelijen melihat turbulance bisa berupa instabilitas keamanan atau runtuhnya perekonomi, dan ujungnya terjadi instabilitas politik. Apa musuh Pilpres dan Pileg? Ancaman bisa datang dari eksternal maupun internal. Ancaman cyber bisa serius, menyesatkan hasil pilpres dan memengaruhi konstituen untuk bertindak radikal .
Berita-berita Hoax bisa di setting oleh mereka yang profesional. Bukan tidak mungkin ada intervensi cyber canggih yang menyebabkan turbulensi dengan target stabilitas keamanan dan ekonomi. Saat Pilpres, negara sedigdaya AS saja bisa di intervensi, lantas, bagaimana kesiapan kita? Persaingan politik dalam sistem demokrasi itu biasa, tapi bila kebebasan dimanfaatkan untuk membenturkan emosi di grass root, ini yang berbahaya. Kalau skenario ini yang akan dimainkn, di sinilah peran TNI untuk menetralisir terjadinya perpecahan dan terjadinya konflik horizontal yang bisa bergeser ke konflik vertikal. Bukan tidak mungkin akan muncul ancaman insurgency. Target utamanya menjatuhkan Presiden, justru sebelum pilpres.
Sebagai contoh, jelas terlihat dari beberapa sisi, jatuhnya Pak Harto, dan juga penyebab kejatuhan Gus Dur. Sementara dalam skala kecil kekalahan Ahok sebagai petahana adalah permainan conditioning. Perang dagang AS vs China dan sulitnya perekonomian dunia kini sudah menyentuh Indonesia. Sangat mungkin kita bisa terjebak dalam perseteruan dua raksasa tersebut.
Bila salah posisi, Indonesia bisa dinilai sebagai calon musuh ataupun musuh oleh raksasa yang berseteru. Mereka berusaha mencari mitra, China dengan BRI dan AS dengan konsep Indo Pacific (InPac). Konsep keduanya melalui Indonesia, nah di sini Indonesia menjadi prominent target. Secara signal, apakah Indonesia kini lebih dekat ke China? Harus siap-siap kalau AS marah, kan begitu membacanya. Agak heran juga, bila masalah ini dianggap sepele oleh para pemegang amanah dan pelaku politik.
Turbulance terkait keamanan bisa disebabkan karena rentannya emosi dan kondisi psikologis penduduk pulau Jawa yang padat, cuaca yang semakin panas dan adanya disparitas kaya dan miskin. Gesekan, sangat mudah terjadi dan sangat mungkin diciptakan sebagai awal konflik. Itulah sebagian potensi ancaman yang harus diwaspadai TNI dan juga Polri. Jelas masih banyak lagi ATHG apabila dianalisis, tapi inilah warning info intelijen luar yang menurut penulis perlu dicermati lebih lanjut. Kita ingin pilpres aman-aman saja, jangan berfikir mau merusak, yang rugi ya kita sendiri, rakyat akan sengsara. Percaya?
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen, www.ramalanintelijen.net