Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.
“Berkah hidup kita berada pada tiap kaum yang membutuhkan kita”.
Ya Allah muliakanlah sahabatku ini, timbulkanlah rasa kasih sayang diantara kami sebagai bentuk perwujudan sifat Rahman RahimMu di alam dunia ini. Ikatkanlah rasa persaudaraan diantara kami dengan ikatan keagungan namaMu ya Ilahi…
Berikut ingin kusampaikan kisah tentang dua orang mursyidku yang tertulis dalam kitab Ta’limul Muta’alim.
اِعْلَمْ، بِأَنَّ طَالِبَ العِلْم لاَيَنَالُ اْلعِلْمَ وَلَا يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ اْلعِلْمِ وَاَهْلِهِ وَ تَعْظِيْمِ الاُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ
Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan menghormati guru.
Bagi para penyelam ilmu tasawuf, tentu tak asing dengan nama Syekh Sirri as-Saqathi. Beliau adalah guru sekaligus paman Imam Junaid al-Baghdadi, tokoh tasawuf masyhur dalam kajian tasawuf. Nama lengkap beliau adalah Abi al-Hasan Sarri ibn al-Mughilis as-Saqathi. Disamping itu beliau juga murid Ma’ruf Al-Karkhi. Kesalehan dan kegigihan Syekh Sirri As Saqathi dalam beribadah bukan menjadi suatu hal yang baginya.
Ia dikenal sebagai ulama besar dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang belum ditemukan bandingannya . Ia menguasai ilmu hadits, ilmu fikih, ilmu sejarah, ilmu tasawuf, ilmu kalam dan filsafat. Beliau ahli ilmu yang juga ahli amal serta gemar menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT.
Hal itu diakui oleh keponakan sekaligus muridnya, Syekh Junaid al-Baghdadi yang kelak menjadi penggantinya. Syekh Junaid Al-Baghdadi pernah berkata, “Aku tidak melihat seorang yang lebih hebat ibadahnya daripada Syekh Sirri as-Saqathi.” Selama 98 tahun beliau tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit jelang wafatnya. Artinya, Sirri as-Saqathi ra senantiasa beribadah kepada Allah swt baik siang atau malam hari. Beliau tidur dalam keadaan duduk, sehingga wudhunya tidak batal. Beliau mendapat julukan dari masyarakat dan muridnya, al-Mughilis, sebab beliau tidak pernah keluar rumah kecuali hanya untuk beribadah.
Syekh Sirri al-Saqathi pernah berkata, ”Sudah 30 tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan alhamdulillah yang pernah ku ucapkan dahulu.” Tentu hal ini membuat banyak orang bingung sehingga bertanya kepadanya, ”Bagaimana itu bisa terjadi?.”
Syekh Sirri berkata, ”Saat itu aku memiliki toko di Baghdad. Lalu suatu hari aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus terbakar dan tokoku berada di pasar tersebut. Aku bergegas ke sana untuk memastikan apakah tokoku terbakar atau tidak. Seseorang lalu memberitahuku, ”Api tidak membakar tokomu”. Aku pun berseru, ”Alhamdulillah!” Namun tak lama kemudian aku pun berpikir, ”Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko orang lain banyak yang terbakar. Ucapan alhamdulilah menunjukkan bahwa engkau bersyukur bahwa api tidak membakar tokomu. Namun lantas engkau telah rela toko-toko orang lain terbakar, asalkan tokomu tidak terbakar! Lalu aku pun terus berkata kepada diriku sendiri, ”Tidak adakah sedikitpun perasaan sedih di hatimu atas musibah yang menimpa banyak orang, wahai Sirri?” Disini Sirri mengambil dari hadits Nabi, ”Barang siapa melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, niscaya bukanlah ia termasuk dari kaum muslimin”. Sudah 30 tahun aku beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu.
Akhirnya harta bendanya yang tersisa dikeluarkan dan dibagikan kepada masyarakat yang terkena musibah, terutama untuk anak yatim dan fakir miskin. Dari hal tersebut, ada baiknya kita menjadikan akhlak Syekh Sirri Saqathi ra sebagai suri tauladan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah renungan diri Sirri al-Saqathi yang menyesali selama 30 tahun karena merasa dirinya egois akibat beliau bersukur terhindar dari musibah sementara orang lain menderita akibat musibah itu, tentunya bagi orang awam hal tersebut tidaklah merupakan kesalahan namun bagi orang tasawuf hal itu dianggap salah. Cinta diri seperti ini meniadakan segala bentuk perhatian pada orang lain. Orang yang mementingkan diri sendiri hanya menghendaki segalanya bagi dirinya sendiri, memberi bukanlah hal yang membahagiakan, sedangkan menerima adalah hal yang begitu menyenangkan. Dunia hanya dipandang dari segi apa yang dapat dia peroleh. Orang yang seperti ini tak mampu melihat apapun selain dirinya. Dia menilai orang lain hanya dari sisi seberapa besar kemanfaatan orang tersebut untuk dirinya. Pada intinya orang seperti ini tidak memiliki kemampuan untuk mencintai orang lain.
Syekh Sirri As-Saqathi Ra. memiliki perhatian yang luar biasa besar terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Suatu waktu, beliau pernah menuturkan: “Barang siapa mendatangi tempat yang dibacakan Maulid Nabi, maka ia telah mendatangi taman Surga, sebab tujuannya mendatangi majelis itu tak lain ialah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah saw.”
Sedangkan Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga” (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin Darul Fikr, juz 3, hal 255)
Syekh Sirri Saqathi al-Mughilis adalah sosok guru yang luar biasa bagi murid-muridnya. Beliau sangat peduli kesejahteraan sesama, tidak pernah makan kecuali bersama fakir miskin, tidak pernah meminta tetapi tidak pernah menolak jika diberi, mudah bergaul dengan berbagai kalangan, dekat dengat rakyat dan disegani pejabat. Begitu istimewanya beliau yang tak pernah memanfaatkan sedikitpun kedekatannya dengan pejabat untuk kepentingan duniawi. Sebut saja Ahmad Yazid, raja masa itu yang berubah akhlaknya menjadi raja yang mencintai kesalehan setelah mendengarkan khutbah Sirri as-Saqathi ra.
Pesan Syekh Sirri as-Saqathi kepada Syekh Junaid al-Baghdadi, saat al-Junaidi menanyakan jalan pintas agar masuk surga. Syekh Sirri kemudian menjelaskan cara pintas agar mudah masuk ke surga yaitu jangan meminta dan jangan mengharapkan sesuatupun dari seseorang, juga jangan menahan sesuatupun untuk diberikan kepada orang lain. (Maulida – disarikan dari “Warisan Para Aulia” Fariduddin Al-Attar dan sumber lainnya).