Home / Agama / Improvisasi Salik / Thahârah Indrawi dan Thahârah Maknawi

Thahârah Indrawi dan Thahârah Maknawi

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku dan para sahabatku, bahwa betapa pentingnya fokus pembahasan agama yang disentralisasi oleh fiqih dititik-beratkan pada spiritualitasnya, bukan pada materialitasnya. Kecenderungan aktifitas amaliyah dan ibadah yang diajarkan oleh para da’i dan muballigh yang berbasis fiqih harus terfokus pada pembentukan bathin.

Sesuai namanya, bahwa al-fiqh dalam bahasa Arab dipadankan artinya dengan al-fahmu al-‘amîq (pemahaman yang dalam). Jadi, kalau al-fiqh secara bahasa diartikan sebagai pemahaman, maka pemahaman yang dimaksud di sini adalah pemahaman yang dalam. Bukan semata-mata sekedar paham secara ‘aqliyah materialistik semata.

Karena itu, Guru kami, Mursyid kami, Syeikh al-Akbar Muhyiddîn Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya, al-Futuhât al-Makkiyyah, sangat menitik-beratkan pembahasannya pada wilayah bathiniyah. Begitu spektakulernya kitab tersebut, sehingga Sya’rani mengomentarinya sebagai berikut:

“Ketahuilah, wahai saudaraku, sesungguhnya saya sudah menelaah beberapa kitab para ulama yang tidak dapat saya hitung, namun saya tidak menemukan kitab yang paling mencakup ucapan ahli tarekat melebihi kitab “al-Futuhât al-Makkiyyah”, terlebih lagi apa yang terkandung di dalamnya dari rahasia-rahasia syariat dan penjelasan perdebatan para mujtahid (ahli ijtihad dalam fiqih) dalam menetapkan hukum. Jika seorang mujtahid membaca kitab tersebut, niscaya ilmunya akan bertambah, bahkan dia akan mengetahui rahasia-rahasia dalam berbagai sudut pandang tentang penetapan hukum dan dengan alasan-alasannya yang autentik dari apa yang belum diketahuinya. Jika seorang mufassir (ahli tafsir) al-Qur’an, atau pensyarah hadits-hadits nabi, atau mutakallim (ahli kalam), atau muhaddits (ahli hadits), atau ahli bahasa, ahli qari, atau penafsir mimpi, atau ahli fisika dan kedokteran, atau ahli matematika, atau ahli nahwu, atau ahli logika, atau sufi, atau orang ‘alim yang mengetahui alam nama-nama ilahi, atau orang alim yang menguasai ilmu huruf membaca kitab itu, maka mereka akan menemukan hal-hal yang baru,” (Sya’rani, Al Kibrit al Ahmar. 1998. p. 8)

Rahasia Thahârah (Kesucian)
(Gambaran Umum Bab 68 Kitab al-Futuhât al-Makkiyyah Ibnu ‘Arabi)

Guru kami, Syaikh Ibnu ‘Arabi membuka bab ini dengan menegaskan bahwa thahârah yang diwajibkan syari‘at terbagi menjadi dua, thahârah indrawi dan thahârah maknawi. Thahârah indrawi adalah thahârah untuk anggota-anggota tubuh, dan thahârah maknawi adalah thahârah qalbu. Setiap anggota tubuh manusia yang dibebani taklif thahârah indrawi juga memiliki thahârah maknawi yang terkait dengan jiwa, akal dan sirr mereka.

Guru kami juga menegaskan bahwa ketika Allah Swt. bertitah kepada manusia dalam bentuk perintah, larangan, aturan dan semisalnya, titah tersebut selalu ditujukan pada keseluruhan diri manusia, baik sisi lahir maupun batin. Tetapi, tidak semua da‘i dan penyeru agama memahami hal ini. Kebanyakan mereka hanya menyibukkan diri dengan sisi lahiriah hukum-hukum syari‘at, namun lalai terhadap titah Ilahi untuk sisi batin.

Kesadaran akan pentingnya ibadah batiniah di samping ibadah lahiriah adalah sesuatu yang sudah mendarah daging di kalangan sahabat dan tabi‘in. Namun seiring berjalannya waktu, kesadaran ini mulai pupus dan terlupakan. Mayoritas orang-orang yang diklaim dan mengklaim diri sebagai “ulama” hanya berkutat pada hal-hal lahiriah dan bersikap terlalu keras untuk hukum-hukum lahir, namun cenderung lunak dan abai terkait ibadah-ibadah batin.

Keresahan mengenai hal ini juga dirasakan oleh Imam Al-Ghazâlî ra. beberapa abad sebelum Syaikh Ibn Al-‘Arabî ra. Kritik keras beliau untuk “para ulama lahiriah” tertuang di pendahuluan kitab Rahasia-rahasia Thahârah dalam magnum opus beliau Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Penting kiranya kami sertakan di sini uraian panjang dari Imam Al-Ghazalî ra. dalam kitab tersebut sebagai pendamping untuk bab ini, agar pembaca dapat memahami urgensi ibadah-ibadah batiniah yang saat ini cenderung terlupakan, sekaligus mengambil berkah dari qaul Para Ahlullâh dan ulama billâh agar cahaya-cahaya pemahaman bisa merasuk ke dalam qalbu.

Berkata Imam Abû Ḥâmid Muḥammad bin Muḥammad Al-Ghazâlî ra.:

Nabi Muḥammad Saw. bersabda:

بُنِيَ الدِّيْنُ عَلَى النَّظَافَةِ

Agama dibangun berasaskan kebersihan.

Ar-Râfi‘î dalam at-Tadwîn fî Akhbâr al-Qazwîn (DKI 1987 juz 1 hal. 176) meriwayatkan hadits ini dari Abû Hurayrah ra. dengan lafal:

فَإِنَّ اللّٰهَ بَنَى الْإِسْلَامَ عَلَى النَّظَافَةِ

Sesungguhnya Allah membangun Islam dengan berasaskan kebersihan.”

Beliau juga bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ

Kunci shalat adalah kesucian.”
(Abû Dâwud, Thahârah 61; Tirmizî, Thahârah 3; Ibn Mâjah, Thahârah 275)

Allah Swt. berfirman:

فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْاۚ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ ۞

Di dalam masjid itu terdapat orang-orang yang cinta untuk menyucikan dirinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. 9:108).

Nabi Saw. juga bersabda:

اَلطُّهُوْرُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ

Kesucian adalah separuh dari iman.” (Tirmizî, Da‘awât 3519)

Allah Swt. berfirman:

مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلٰڪِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ ۞

Tidaklah Allah hendak menjadikan kesulitan bagi kalian, tetapi yang Dia inginkan adalah menyucikan kalian” (QS. 5:6).

Para pemilik mata batin (bashîrah) memahami berdasarkan arti lahiriah nash di atas bahwa perkara yang paling penting dalam hal ini adalah penyucian sirr. Sebab, sungguh jauh jika dikatakan bahwa maksud dari sabda Rasulullah Saw., “Kesucian adalah separuh dari iman” ialah menjaga bangunan fisik dengan kebersihan lewat air yang disiramkan, namun pada saat yang sama merobohkan kesucian batin dengan membiarkannya dipenuhi oleh hal-hal keji dan kotor. Sungguh mustahil itu yang dimaksud!

Thahârah memiliki empat level:

1. Penyucian fisik dari segala hadats, noda dan kotoran.
2. Penyucian anggota badan dari perbuatan jahat dan dosa.
3. Penyucian qalbu dari akhlak-akhlak buruk dan segala perbuatan hina yang tercela.
4. Penyucian sirr dari segala sesuatu selain Allah Swt.

Thahârah yang terakhir adalah thahârahnya para nabi dan orang-orang terpercaya (ash-Shiddîqîn). Tetapi, thahârah pada setiap level di atasnya hanyalah separuh dari amal masing-masing level. Tujuan utama dari amal sirr adalah tersingkapnya Keagungan dan Kebesaran Jalâl Allah Swt., baginya (yang bersuci; al-Anbiyâ wash-Shiddîqîn). Tapi ma‘rifah tentang Allah Swt. tidak akan bisa benar-benar menempati sirr selama di dalamnya masih ada sesuatu selain Allah Swt. Karena itu, Dia Swt. berfirman,

قُلِ اللّٰهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ ۞

Katakanlah, ‘Allah!’ dan tinggalkanlah mereka!” (QS. 6:91)

Sebab dua hal tersebut (ma‘rifah dan sesuatu selain Allah Swt.) tidak mungkin bisa berkumpul di dalam qalbu, dan Allah Swt. tidak menjadikan bagi seseorang dua qalbu dalam rongga dadanya.

مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ ۚ ۞

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya” (QS. 33:4).

Adapun tujuan utama dari amal qalbu adalah terpenuhinya qalbu dengan akhlak-akhlak terpuji dan akidah-akidah yang sejalan dengan ketetapan syari‘at. Tetapi, qalbu tidak mungkin bisa terhiasi oleh hal-hal tersebut jika belum dibersihkan dari lawan-lawannya, yaitu akidah-akidah yang rusak dan akhlak-akhlak yang hina dan tercela. Dengan demikian, penyucian qalbu hanyalah satu bagian dari dua bagian amal qalbu, dan ia menjadi separuh pertama yang menjadi syarat untuk tercapainya separuh kedua.

Berdasarkan makna inilah kesucian menjadi salah satu bagian dari iman. Demikian pula dengan penyucian anggota-anggota tubuh dari segala perbuatan yang dilarang, ia adalah satu dari dua bagian amal anggota tubuh, dan memenuhinya dengan ketaatan adalah bagian yang kedua.

Ini semua adalah maqâm-maqâm iman, dan setiap maqâm menjadi sebuah tingkatan. Seorang hamba tidak akan bisa mencapai tingkatan yang lebih tinggi sebelum berhasil melewati tingkatan di bawahnya.

Ia tidak akan bisa menyucikan sirr dari sifat-sifat tercela dan memenuhinya dengan sifat-sifat terpuji sebelum menyucikan qalbu dari akhlak tercela dan mengisinya dengan akhlak terpuji. Dan ia tidak akan bisa mencapai semua itu sebelum menyucikan anggota-anggota badannya dari perbuatan terlarang dan memenuhinya dengan ketaatan.

Semakin agung dan luhur sebuah tujuan, jalan yang ditempuh pasti semakin sulit, lintasannya akan panjang dan banyak aral melintang. Karena itu, jangan pernah kau berpikir bahwa perkara ini bisa dicapai hanya dengan angan-angan dan dapat diperoleh dengan bermalas-malasan.

Benar memang, barangsiapa buta mata hatinya dari melihat perbedaan tingkatan-tingkatan tersebut, tidak akan bisa memahami level-level thahârah kecuali derajat paling rendah yang berada seperti kulit paling luar jika dibandingkan dengan isi yang menjadi tujuan. Akibatnya, ia hanya berkutat pada derajat itu dan mendalami bahasan-bahasannya, hingga menghabiskan seluruh waktunya untuk beristinja, mencuci pakaian, membersihkan fisik dan sibuk mencari air yang alirannya deras.

Semua itu karena ia menyangka lantaran was-was dan kekacauan pikirannya bahwa thahârah yang dituntut dan paling tinggi kedudukannya hanyalah thahârah fisik. Juga karena kebodohannya tentang sirah kaum muslimin di masa awal Islam, bagaimana mereka menghabiskan seluruh perhatian dan pikirannya terfokus kepada penyucian qalbu, sedangkan untuk perkara lahiriah mereka cenderung bersikap ringan dan mudah. Sampai-sampai seorang ‘Umar bin Al-Khaṭṭhâb ra., meski memiliki kedudukan tinggi, mau berwudlu dengan air dari kendi milik orang Nasrani. (Lihat: Al-Bayhaqî dalam as-Sunan al-Kubrâ -DKI 2003 jilid 1 hal. 52, hadits no. 129 dan 130). Bahkan, para sahabat biasa tidak mencuci tangan dari lemak/minyak dan sisa makanan, tetapi cukup mengusapkan jemari tangan mereka ke telapak kaki, mereka menganggap usynân (sejenis rerumputan yang biasa dipakai sebagai bahan untuk mencuci tangan atau baju) adalah bid‘ah yang diada-adakan.

Para sahabat biasa melakukan shalat di masjid-masjid yang berlantaikan tanah dan berjalan telanjang kaki di jalanan. Ada juga yang biasa tidur di atas tanah tanpa beralaskan apapun, dan yang melakukan itu adalah seorang pembesar di kalangan sahabat. Sayyidina ‘Alî bin Abî Thâlib ra. diberi julukan oleh Rasulullah Saw. “Abû Turâb” (Bapak Debu) karena Nabi Saw. pernah mendapati beliau tidur beralaskan tanah hingga debu menempel di punggung beliau (Bukhârî, Adab 6204, Isti’zân 6280; Muslim, Faḍâ’il ash-Shahâbah 2409). Sahabat-sahabat Nabi Saw. juga sering beristinja cukup dengan bebatuan.

Abû Hurayrah ra. dan sahabat lain di kalangan Ahlush shuffah —semoga Allah Swt. meridlai mereka!— berkata, “Suatu saat kami sedang makan daging bakar saat masuk waktu shalat. Maka kami memasukkan jemari tangan kami ke sela-sela bebatuan kecil dan menggosoknya dengan tanah. Lalu kami langsung mengangkat takbir mendirikan shalat.” (Ibn Mâjah, Ath‘imah 3311)

‘Umar ra. pernah berkata, “Di zaman Rasulullah Saw., kami tidak mengenal usynân. Sapu tangan kami waktu itu adalah telapak kaki kami. Setiap usai memakan makanan berlemak, kami mengusap tangan kami ke telapak kaki.” Ada yang mengatakan bahwa bid‘ah yang muncul pertama kali setelah wafatnya Rasulullah Saw. ada empat: ayakan tepung, usynân, meja makan dan kekenyangan. (Lihat: Abû Thâlib Al-Makkî, Qût al-Qulûb -DKI 2016 jilid 1 hal. 239).

Ini artinya seluruh perhatian sahabat Nabi Saw. lebih terfokus pada kebersihan batin. Sampai-sampai di antara mereka ada yang berpendapat bahwa shalat dengan memakai alas kaki lebih afdhal. Sebab, ketika orang-orang melepas alas kaki mereka saat melihat Rasulullah Saw. melepas alas kakinya pada waktu shalat karena diberitahu Jibrîl as. bahwa di dalamnya ada najis, beliau bertanya pada mereka, “Kenapa kalian melepas alas kaki kalian?” (Lihat: Abû Dâwud, Shalâh 650; Aḥmad, Musnad Abî Sa‘îd Al-Khudrî no. 11096).

An-Nakhâ‘î berkata tentang orang-orang yang melepas sandal (ketika shalat), “Aku berharap ada orang yang memerlukan sandal dan menemukan sandal-sandal mereka lalu mengambilnya.” Beliau berkata seperti itu karena menentang pelepasan sandal ketika shalat. (Diriwayatkan oleh Ibn Abî Syaybah dalam al-Mushannaf, Maktabah ar-Rusyd 2004 juz 3 no. 7956).

Demikianlah bagaimana para sahabat cenderung memberi kelonggaran dalam perkara-perkara kebersihan lahiriah. Mereka bahkan biasa berjalan di jalanan tanah hanya dengan bertelanjang kaki, biasa duduk di tanah dan shalat di dalam masjid beralas tanah, biasa makan dari tepung dan gandum yang sudah diinjak-injak atau bahkan dikencingi hewan. Mereka tak pernah menjauh dari keringat unta dan kuda meskipun hewan-hewan itu sering berguling-guling di tempat najis. Tidak pernah ada riwayat yang dinukil dari seorang pun di antara mereka mengenai pertanyaan tentang najis-najis yang halus. Begitulah bagaimana mereka memudahkan untuk perkara najis.

Cukup kita bicara tentang mereka, sekarang kita akan membahas tentang kelompok orang yang menyebut menuruti keinginan nafsu tabiati (ru‘ûnah) sebagai “kebersihan” (nadzâfah) dan mengatakannya sebagai asas agama. Hal ini membuat banyak waktu mereka dihabiskan hanya untuk memperindah sisi lahiriah seperti yang dilakukan perias pada pengantin yang diriasnya. Tetapi, sisi batin mereka roboh dan dipenuhi hal-hal buruk seperti kesombongan, ujub, kebodohan, riyâ’ dan kemunafikan. Mereka tidak pernah berusaha menepis sifat-sifat itu dan tak pernah menganggapnya aneh.

Ketika seseorang merasa cukup beristinja hanya dengan batu, atau berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, atau shalat beralaskan tanah atau hanya dengan tikar masjid tanpa menggelar sajadah, atau berjalan di tanah lapang tanpa melapisi kakinya dengan kulit, atau wudlu dari bejana seorang wanita tua renta atau lelaki yang berpakaian lusuh, maka mereka akan berdiri sigap menentang keras perilaku orang itu dan menyebutnya sebagai orang yang kumuh. Lalu mereka mengucilkannya dari kelompok dan memandang rendah orang itu hingga tak mau makan bersama atau bergaul dengannya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Dengarkanlah! Sesungguhnya al-bazâzah adalah sebagian dari iman!” Beliau mengulangnya dua kali. (Abū Dāwud, Tarajjul 4161).

Mereka menganggap berpakaian lusuh dan kusut masai (bazâzah) yang merupakan sebagian dari iman itu sebagai kekumuhan, sedangkan mengikuti keinginan nafsu tabiat (dengan memperindah fisik) mereka sebut sebagai kebersihan. Lihatlah bagaimana yang munkar menjadi ma’ruf dan yang ma’ruf menjadi munkar, juga bagaimana jejak agama telah terhapus sebagaimana terhapusnya tahqiq dan ilmu tentangnya!

Jika engkau bertanya, “Lantas, apakah berarti engkau mengatakan bahwa adat kebiasaan yang dibuat oleh para sufi terkait cara dan sikap mereka menjaga kebersihan termasuk sesuatu yang terlarang dan kemungkaran?” Maka aku katakan: Semoga Allah Swt. menghindarkanku dari mengatakan semua ini tanpa perincian! Akan tetapi, yang hendak kukatakan adalah beban taklif (hukum syar’i) dan menjaga kebersihan berlebihan yang dibuat-buat ini, hingga menyiapkan wadah-wadah dan alat-alat khusus, memakai pelapis kaki dan sarung penutup untuk melindungi diri dari debu dan segala bentuk tindakan preventif semisalnya, jika dilihat hanya dari substansi perbuatannya, semua itu termasuk hal yang mubah. Dan hal yang mubah terkadang diiringi dengan perilaku dan niat yang bisa menjadikannya sebagai perbuatan ma’ruf dan bisa pula munkar.

Keadaan semua perbuatan tersebut sebagai mubah dalam dirinya cukup jelas, karena pelakunya melakukan semua itu pada harta, badan dan pakaiannya sendiri. Ia boleh melakukan apa pun yang ia inginkan selama di dalamnya tidak terdapat perbuatan yang sia-sia dan pemborosan. Adapun yang mengubah semua itu menjadi kemungkaran adalah ketika seseorang menjadikannya sebagai dasar agama dan memahaminya sebagai maksud dari sabda Nabi Saw., “Agama dibangun berasaskan kebersihan,” hingga kemudian menentang orang yang bersikap mudah dalam kebersihan seperti yang dilakukan para sahabat di masa-masa awal Islam.

Atau ia meniatkan semua itu hanya untuk menghiasi penampilan lahiriah demi mempesona pandangan makhluk. Sesungguhnya itulah riyâ’ yang dilarang. Perbuatan tersebut menjadi kemungkaran berdasarkan dua hal di atas. Semua perbuatan itu bisa menjadi ma’ruf jika diniatkan untuk kebaikan dan bukan untuk berhias. Juga bila ia tidak menentang siapapun yang tidak melakukan cara-cara tersebut, tidak mengakhirkan shalat dari awal waktu lantaran disibukkan olehnya, tidak membuatnya meninggalkan amal yang lebih utama atau mencari ilmu dan aktivitas lainnya. Apabila tidak diiringi dengan hal-hal seperti ini, maka hukumnya adalah mubah (boleh) dan bisa menjadi sebuah bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt. melalui niatnya.

Tetapi, semua aktivitas tersebut tidak dianjurkan kecuali untuk pengangguran yang suka menyia-nyiakan waktu (al-batthâl), yang jika tidak disibukkan oleh hal-hal tersebut akan menghabiskan waktunya dengan tidur atau berbincang-bincang yang tidak ada manfaatnya. Bagi orang yang seperti ini, menyibukkan diri dengan menjaga kebersihan lahiriah secara ketat menjadi lebih utama. Sebab, menyibukkan diri dengan pelbagai macam thahârah dapat memperbarui zikir mereka kepada Allah Swt. dan mengingatkan pada ibadah-ibadah. Semua itu tidak mengapa asalkan tidak mengeluarkannya kepada kemungkaran atau pemborosan.

Adapun untuk ahli ilmu dan amal, mereka tidak sepatutnya meluangkan waktunya untuk kesibukan menjaga kebersihan lahiriah kecuali seperlunya saja. Bagi mereka, meluangkan waktu untuk hal tersebut melebihi apa yang seperlunya adalah sebuah kemungkaran dan penyia-nyiaan umur, sedangkan umur bagi mereka yang mampu memanfaatkannya adalah sesuatu yang paling bernilai dan berharga. Dan jangan pula mereka merasa takjub akan keindahan dan kebersihan lahiriah, karena derajat kebaikan Al-Abrâr (para abrar/orang-orang saleh) adalah keburukan bagi Al-Muqarrabûn (orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.).

Memang tidak sepatutnya bagi seorang penganggur yang suka menyia-nyiakan waktunya untuk meninggalkan aktivitas menjaga kebersihan dengan ketat. Tetapi ia juga tidak boleh menentang para sufi dan pelaku tasawuf seraya menganggap dirinya telah meniru para sahabat. Sebab, meniru sahabat Nabi Saw. adalah justru dengan menggunakan waktunya hanya untuk apa yang lebih penting dari semua itu. Seperti ketika Dâwûd Ath-Thâ’î ra. ditanya oleh seseorang, “Kenapa engkau tidak menyisir jenggotmu?” Beliau menjawab, “Kalau aku sempat menyisir jenggotku, berarti aku orang yang tidak ada kerjaan!” (Dikisahkan oleh Abû Nu‘aym dalam Ḥilyah al-Awliyâ’ juz 7 hal. 339).

Oleh sebab itu, aku tidak sependapat jika seorang alim dan pencari serta pengamal ilmu menyia-nyiakan waktunya untuk menyuci baju sendiri, hanya lantaran menghindari memakai pakaian yang dicuci oleh tukang cuci, karena menganggap bahwa si tukang cuci kurang bersih bila mencuci. Padahal mereka yang hidup di periode awal Islam biasa shalat dengan memakai kulit yang disamak. Tidak pernah diketahui dari mereka ada yang membedakan antara kulit yang disamak dan pakaian yang dicuci tukang cuci dari segi kesucian dan najis. Tetapi mereka hanya menjauhi najis ketika benar-benar melihatnya, tanpa memperhatikan dan meneliti terlalu mendetail terhadap kemungkinan-kemungkinan terkecilnya.

Justru yang mereka perhatikan dan pikirkan hingga sedetail-detailnya adalah perkara riya’ dan kezaliman. Sampai-sampai Sufyân Al-Tsawrî ra. pernah berkata kepada seorang teman yang berjalan bersamanya ketika temannya itu memandangi pintu sebuah rumah yang tinggi dan megah, “Jangan kau lakukan itu, sebab jika orang-orang tidak memandangi rumah itu, niscaya pemiliknya tidak akan melakukan pemborosan seperti ini. Maka orang yang memandangi rumah itu ikut andil membuat pemiliknya melakukan pemborosan”. Orang-orang terdahulu benar-benar mengerahkan segenap kecerdasan dan kekuatan lahir batinnya untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan terkait detail-detail yang seperti ini, bukan untuk kemungkinan-kemungkinan najis lahiriah.

Apabila seorang alim menemukan ada orang awam yang mau menyucikan pakaiannya dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian, hal itu lebih baik. Sebab, bagi orang alim lebih baik jika ia mempermudah dalam hal kebersihan. Di sisi lain, si orang awam itu sendiri akan mendapat manfaat dari perkerjaan tersebut, karena dengan pekerjaan itu ia bisa menyibukkan jiwanya yang masih cenderung pada keburukan dengan perbuatan mubah, sehingga pada saat itu ia tercegah dari berbuat maksiat. Karena, jika jiwa tidak disibukkan dengan sesuatu, ia akan menyibukkan pemiliknya.

Apalagi jika orang awam tersebut meniatkan pekerjaannya itu untuk menjalin kedekatan dengan orang alim, hal itu akan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling utama baginya. Bagi orang alim, waktunya terlalu berharga jika ia pergunakan untuk mencuci pakaian seperti itu, sehingga lebih baik ia tetap menjaga waktunya. Adapun bagi orang awam, waktunya yang paling utama adalah ketika mencuci pakaian orang alim itu, sehingga kebaikan mampu ia jalankan dari segala sisinya.

Siapapun hendaknya berlogika seperti perumpamaan di atas dalam pandangannya terhadap amal-amal dan level-level keutamaannya, juga terkait dari segi mana sebagian amal lebih diprioritaskan melebihi yang lain. Sebab, menjaga setiap detik dari umur agar terpakai untuk sesuatu yang utama dengan perhitungan yang cermat lebih penting daripada menyelisik kekayaan dunia dan segala isinya.

Demikianlah penjelasan Imam Abû Ḥâmid Al-Gazâli ra. Bab thahârah dalam kitab ini adalah salah satu penjabaran yang paling komprehensif tentang tingkatan-tingkatan thahârah yang disebutkan Imam Al-Gazâli ra. di atas. Ketelitian Syaikh Ibn Al-‘Arabî ra. dalam menelisik hukum-hukum batin di balik setiap jengkal thahârah lahir, dan perhatian beliau terhadap setiap tingkatan thahârah serta korelasinya antara satu sama lain, bisa menjadi gambaran bagaimana bentuk pemahaman dan pengamalan thahârah yang menyeluruh di setiap tingkatannya.

Semoga Allah Swt. memberi kita taufik dan inayah-Nya untuk selalu bersikap adil dalam ibadah lahir dan batin. Memberi hidayah dan pemahaman untuk segala amal yang Dia titahkan, supaya kita mampu menerapkannya di dua ranah diri, agar selamat sejahtera di alam kehidupan sejati. Âmîn!

وَاللّٰهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ۞

“Dan Allah senantiasa mengatakan kebenaran, dan Dia selalu menunjukkan jalan” (QS. 33:4).

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...