Susastra kidung, berbeda dengan kakawin. Kakawin memakai irama (Chanda) yang berasal dari India, sedang kidung menggunakan irama atau tembang yang memang berkembang di Jawa dan Bali terutama pada saat kejayaan hingga keruntuhan kerajaan Nusantara Majapahit. Di Bali kidung yang dibawa dari Jawa sangat populer ditembangkan, terutama pada saat pelaksanaan upacara Pañca Yajña mengiringi doa pandita, seperti juga pembacaan kakawin yang diikuti dengan terjemahannya ke dalam bahasa Bali. Adapun macam-macam kidung yang populer hingga kini, antara lain: Harsavijaya, Raòga Lave, Soràndaka, Kidung Sunda, cerita-cerita Pañji, dan lain-lain. Sebagian besar atau hampir keseluruhan susastra ‘kidung’ tidak ada menjadikan Itihàsa (dalam arti Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata) sebagai sumber utama penyusunannya, kecuali Sudamala dan Úrì Tañjung. Umumnya tema yang dipakai adalah ceritra-ceritra yang bersumber kepada ‘babad’ atau sejarah kerajaan Hindu masa sebelum Majapahit, pada zaman Majapahit dan sesudah sesudah Majapahit.
Dua kidung terakhir, yakni Sudamala dan Úrì Tañjung oleh P. J. Zoetmulder (1983:545) tidak dikelompokan ke dalam sastra Jawa Kuno, ia memasukan ke dalam sastra dan bukan sastra? Berikut diketengahkan teologi dalam dua kidung, yakni Sudamala dan Úrì Tañjung.
1) Sudamala
P. J. Zoetmulder (1983:540) membuat ikhtisar kidung Sudamala ebagai berikut. Adapun cerita Sudamala sebagai berikut: Dewi Umà hidup dalam sejenis makhluk jahat dengan memakai nama Ra Nini di perkebunan Gandamayu, karena ia terkena kutukan karena ia main serong. Ia harus menebus dosanya dan pada akhir tahun ke-12 ia akan dibebaskan oleh Bhaþàra Guru yang menjelma dalam diri Sahadeva, saudara bungsu kelima Pàóðava itu. Dua penghuni sorga lainnya yaitu Citrasena dan Citraògada sedang disiksa kerana sikapnya yang kurang hormat terhadap dewa yang sama dan dikutuk menjadi Kalàntaka dan Kalañjaya, dua makhluk jahat. Mereka menawarkan jasanya kepada Kaurava. Kuntì ibu para Pàóðava yang cemas mengenai nasib anak-anaknya yang sedang memerangi musuh-musuh yang demikian kuat itu, meminta kepada Ra Nini untuk membunuh Kalàntaka dan Kalañjaya. Sang Devì bersedia megabulkan permintaannya asal Kuntì menyerahkan Sahadeva kepadanya. Sampai dua kali Kuntì menolak permintaan tersebut, tetapi seorang pembantu Ra Nini, juga suatu makhluk jahat masuk ke dalam diri Kuntì dan dalam keadaan itu si pembantu berhasil membawa Sahadeva ke Gandamayu, di sana ia diikat pada sebatang pohon. Bermacam-macam makhluk jahat berusaha menakut-nakuti Sahadeva. Akhirnya Ra Nini nampak dalam wujudnya yang menggemparkan lalu memberi perintah kepada Sahadeva untuk mengusir setan dari tubuhnya. Sahadeva mengatakan bahwa ia tidak mempunyai kesaktian untuk berbuat itu, tetapi sang dewi mendesak dan menjadi marah sekali, sehingga hampir saja ia membunuh Sahadeva. Bhaþàra Guru yang menerima khabar dari Nàrada segera datang untuk membantu Sahadeva. Ia memasuki tubuh Sahadeva sehingga dia lalu dapat melakukan upcara pengusiran roh jahat dengan memusatkan segala tenàga batinnya serta mempergunakan mantra-mantra yang tepat diiringi persembahanbunga dan percikan air suci. Akibatnya sang dewi mendapatkan kembali kecantikan dan kecemerlangannya yang dahulu. Ia mengubah nama penebusnya dijadikan Sudamala ‘yang membersihkan segala noda dan kejahatan’, memberinya senjata-senjata untuk membunuh musuh-musuhnya lalu menganjurkan untuk pergi ke pertapaan Prangalas. Di sana ia akan menyembuhkan pertapa Tambapetra dari kebutaannya dan menikahi kedua puterinya. Kalikà, abdi Ranini yang juga kemasukan roh jahat, mohon anugerah yang sama seperti yang diterima majikannya, tetapi permohonan ini ditolak. Sêmar yang mengikuti Sahadeva memperolok-olok Kalikà sambil sambil melakukan pengusiran roh jahat yang hanya bersifat sandiwara.
Sudamala mengikuti petunjuk Umà dan menuju Prangalas; di sana ia membebaskan Tambapetra dari kebutaannya dengan suatu upacara pensucian, yang sama seperti dilakukan sebelumnya, lalu menikahi kedua putri itu, Padapa dan Soka. Dalam pada itu Sakula tiba di pekuburan untuk mengikuti saudara kembarnya k alam maut. Setelah diberitahu oleh Kalikà apa yang telah terjadi ia menuju Pangralasa juga; disana Sudamala memberikan Soka, yang lebih muda di antara kedua istri itu, kepada Sakula. Bersama-sama mereka pulang untuk membantu saudara-saudaranya yang terlibat dengan pertempuran seru dengan pasukan makhluk-nakhluk jahat yang dipimpin oleh Kalàntaka dan Kalanjaya. Kedua makhluk itu dibunuh oleh Sudamala. Mereka memperoleh kembali wujudnya semula sebagai makhluk-nakhluk surgawi dan mengucapkan terima kasih kepada Sudamala yang telah membebaskan mereka daeri kutukan itu.
Bila kidung Sudamala dapat dibandingkan dengan cerita wayang, yang kita kenal sekarang, maka kemiripan dalam ceritanya cukup menyolok. Teman Sahadeva sama dengan Sêmar yang dikenal dari wayang purwa, dan tidak hanya karena namanya sama. Ia memiliki sifat-sifat khas seperti layaknya seorang punakawan; dalam kisah-kisah epos Jawa Kuno mereka tidak muncul di tengah-tengah rekan-rekan yang mengitari para tokoh, namun kelihatan pada relief-relief dari jaman Majapahit. Sampai sekarang ini dalam repertoar wayang kita menjumpai lakon-lakon ruwat atau cerita-cerita yang dipentaskan untuk menghapus suatu kutukan jalau marabahaya yang menghancam atau mengimbangi kekuatan jahat yang muncul pada`peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi tertentu.
Kisah Sudamala dapat disebut sebuah lakon ruwat dalam bentuk kidung. Bahwa fungsi kidung ini sama dengan sebuah lakon ruwat jelasnya dari baris-baris terakhir; disana pengarang mengatakan, bahwa mereka yang mendengarkan atau membaca kidung ini akan dibebaskan (kalukat) dari mara bahaya dan kemalangan. Dengan demikian ajaran teologi yang di kandung dalam susastra ini adalah teologi pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu keduniawian.
2) Úrì Tanjung
P. J. Zoetmulder (1983:542) membuat ikhtisar kidung Úrì Tanjung sebagai berikut. Úrì Tanjung merupakan kelanjutan dari Sudamala dan menyajikan kisah tentang kedua cucu Tambapetra, yakni Siddhapakûa, putra Sakula dan Úrì Tanjung, puteri Sahadeva.
Siddhapakûa berjumpa dengan Úrì Tanjung ketika ia diutus oleh majikannya, raja Sulakrama dari Sinduraja, dan singgah dipertapaan tempat Úrì Tanjung tinggal bersama kakeknya. Úrì Tanjung dibawa dari sana oleh Siddhapakûa sebagai istrinya. Kecantikannya menimbulkan nafsu sang raja, yang merancanakan sebuah akal agar suami Úrì Tanjung pergi. Siddhapakûa diutus ke Kahyangan Dewa Indra untuk membereskan hutang Dewa Indra pada sang raja, tetapi dalam surat yang diserahkan Siddhapakûa dituduh merencanakan sesuatu kejahatan kepada para Dewa. Ia berhasil mengatasi mara bahaya dalam perjalanan itu dan dalam waktu satu hari ia mencapai sorga berkat baju ajaib yang pernah diterima oleh Sahadeva, ayah Úrì Tanjung dari Ra Nini sebagai tanda terima kasih karena Sahadeva telah membebaskan Ra Nini dari sebuah kutukan.
Selama suaminya tidak ada Úrì Tanjung melawan segala godaan raja. Di sorga Siddhapakûa hampir saja dibunuh, sampai suatu saat identitasnya berhasil diketahui yakni sebagai seorang putra para Pàóðava, dan dengan demikian “cucu” Indra sendiri. Selama tujuh hari ia hidup bersama bidadari lalu pulang ke bumi. Di sana ia diberitahu oleh raja, bahwa isterinya main serong ketika suaminya pergi. Tanpa menanyakan apakah tuduhan itu benar – sebetulnya aneh mengingat pengalamannya sendiri di sorga – ia membawa Úrì Tanjung ke pekuburan Gandamayu dan membunuhnya. Darahnya yang harum menginsyafkan Siddhapakûa isterinya tidak berdosa, tetapi segalanya sudah terlanjur dan ia menjadi gila karena rasa kesal dan duka cita.
Arwah Úrì Tanjung turun ke kerajaan maut, mengunjungi orang-orang yang terkutuk di neraka dan tiba di pintu gerbang surga. Tetapi di sana ia ditolak karena waktu penerimaan baginya belum tiba. Alam raya bergoyang ketika arwah Úrì Tanjung kembali ke tubuhnya yang masih terbaring di perkuburan. Rupanya baru saat itulah para Dewa menjadi maklum akan kematian Úrì Tanjung. Sakti Úiva (masih dalam bentuknya yang mengeTàrkan sebagi Ra Nini) turun kebumi, menghidupkan kembali puteri Sahadeva yang telah berbuat baik padanya, lalu melakukan suatu upacara penyucian terhadapa Úrì Tanjung untuk melindungi terhadap segala macam penyakit dan kesakitan, nasib malang, sihir dan fitnah (dengan meniadakan akibatnya dalam masa yang silam atau menjadikannya kebal terhadap segalanya itu di masa mendatang); sesudah itu Úrì Tanjung diutus ke Prangalas. Di sana Úrì Tanjung menceritakan apa yang terjadi dan kakeknya melakukan suatu upacara lukat lainya baginya. Ra Nini juga membantu Siddhapakûa ketika dia dalam keadaan putus asa datang ke Gandamayu dan mau menikam diri. Atas nasehatnya ia kembali ke Prangalas. Tetapi Úrì Tanjung tidak mau menjumpainya, kecuali bila Siddhapakûa membawa membawa kepala raja Sulakrama. Para pertapa dari Prangalas dan para Pàóðava membantunya dalam mengalahkan tentara Sinduraja dan membunuh rajanya (cerita tiba-tiba terputus di sini).
Ajaran teologi yang dikandung dari susastra ini sama dengan susastra kidung sebelumnya, yakni teologi pembebasan.
Dua kidung tersebut di atas merupakan karya sastra yang berkaitan langsung atau mengambil sumber kitab-kitab Mahàbhàrata berbahasa Sanskerta atau yang telah disadur ke dalam susastra Jawa Kuno. Di samping masih banyak lagi jenis kidung yang lain, namun karena sifat isinya lebih banyak bersifat sejarah seperti Harsawijaya, Ranggalawe, Soràndaka, Sunda dan cerita-cerita Panji, kidung-kidung tersebut tidak dibahas dalam kitab ini. Demikian pula di Bali dikenal kidung Tantri Nandaka Harana dan yang lainnya juga tidak dikaji dalam tulisan ini.
4.4 Teologi dalam kitab-kitab Tattva
I Wayan Cika dalam disertasi yang telah diterbitkan oleh Pustaka Larasan, Kakawin Sabhaparwa, Analisis Filologis (2006:5) mengelompokan naskah Bali ke dalam 6 kelompok besar yang masing-masing terdiri dari beberapa jenis, sebagai berikut. (1) Arsitektur yang terdiri dari: Hasta Kosali, Hasta Kosala, Hasta Bumi, Dharmaning Sangging. (2) Lelampahan (cerita lakon yang mengambil sumber kesusastraan dan cerita rakyat). (3) Kesusastraan yang terdiri dari: Parwa, Kakawin, Kidung, Gaguritan, Parikan. (4) Usada (pengobatan). (5) Sejarah & Mitologi terdri dari: Babad, Pamancangah, Usana, Uwug, da (6) Agama dan Etika terdiri dari Veda, mantra, puja, kalpasastra, tutur, sasana, niti. I Wayan Cika tidak secara ekspisit memasukkan kitab-kitab Tattva dalam pengelompokan naskah-naskah Bali, namun dilihat dari kelompok yang terakhir, yakni Agama dan Etika maka kitab-kitab Tattva dapat dimasukan ke dalam kitab-kitab tutur, yang berarti nasihat atau juga pengetahuan. R. Goris 1926 (dalam Haryati, 1971:3) menyatakan bahwa kesulitan dalam memberi pengertian yang benar tentang tutur. Ia menekankan bahwa yang dimaksud tutur adalah sumber ajaran Jawa-Hindu yang meliputi berbagai objek. Namun dilihat dari bahasa yang dipakai yakni Jawa Kuno, pengertian yang dikemukakan oleh R.Goris tersebut tidaklah jauh menyimpang, karena kitab-kitab Tattva tersebut isinya adalah tutur yang menggunakan media Bahasa Jawa Kuno sebagai terjemahan atas úloka-úloka berbahasa Sanskerta.
Adapun yang termasuk kitab-kitab Tattva adalah Bhuvanakoûa, Jñàna Siddhanta, Våhaspatitattva, Gaóapatitattva, Tattvajñana, dan lain-lain. Kitab-kitab tersebut hampir seluruhnya merupakan kitab-kitab Úaiwapakûa atau Úaiwasaýpradaya yang merupakan salah satu sekta yang dominan di Bali di antara sekta-sekta lainnya yang pernah ada dan tidak tampak meninggalkan teks atau naskah sebagai referensi. Berikut ajaran teologi dalam kitab-kitab Tattva tersebut.
1) Bhuvanakoûa
Di antara kitab-kitab Tattva yang diwarisi di Bali, rupanya Bhuvanakoûa merupakan yang tertua. Kitab ini terdiri dari 11 paþalaá atau adhyàya dan terdiri dari 406 úloka berbahasa Sanskerta yang masing-masing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Subagiasta (2007:58) menyatakan bahwa isi kitab ini menekankan paham ketuhanan yang dalam naskah diistilahkan Brahma Rahasyam (rahasia atau kegaiban Tuhan dalam wujud-Nya sebagai Úiva). Tentang keagungan Tuhan di dalam naskah disebut pula sebagai Jñàna Siddhànta, Bhàûmamantra, Jñànasaýkûepa. Berikut 11 topik dalam 11 paþalaá di atas. (1) Brahmà Rahasyam, Prathamaá Paþalaá (Rahasia Brahma yang Pertama) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut sebagai Úiva yang bersemayam dalam hati yang dapat dilihat oleh seorang Yogìúvara (1.4). Beliau diikuti oleh para Dewa dan tidak berwujud dan merupakan jiwa setiap makhluk (1.9). Beliau disebut Aghora, Tatpuruûa, Sadya, Bamadewa, dan Ìúana (1.17) serta penjelasan lainnya berkenaan dengan kegaiban Tuhan Yang Maha Esa. (2) Brahmà Rahasyam, Dvitiyaá Paþalaá (Rahasia Brahma yang Kedua) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa menciptalan alam semesta, saptaloka, dan makhluk hidup lainnya serta sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang Nirguóa. (3) Brahmà Rahasyam, Tritiyaá Paþalaá (Rahasia Brahma yang Ketiga) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Hyang Rudra yang bersatu dengan Sang Hyang Úiva (3.2). Berbagai gelar atau abhiûeka devatà, nama-nama planet di jagat raya serta posisi para dewa di dalam tubuh manusia (micro kosmos). (4) Bhuwaóakoûa Caturtaá Paþalaá (Bhuvanakoûa yang Keempat) yang menjelaskan unsur-unsur jagat raya dari yang halus (Pañca Tan Màtra) dan yang lebih kasar (Pañca Mahà Bhùta), Buddhi, Manaá Ahaýkara dan Triguóa. (5) Brahmà Rahasyam, Pañcama Paþalaá (Rahasia Brahma yang Kelima) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa tentang alam Kaivalya, Jagrapada, Supta, dan Svapana serta perjalan roh meninggalkan badan menuju alam yang murni yang menjadi tujuan para pandita. (6) Jñàna Siddhànta Úàstraý Prathamaá Paþalaá (Pengetahuan Jñàna Siddhànta yang Pertama) yang menyatakan seorang pandita hendaknya memahami Siddhànta. Pandita itu bukan karena kumisnya panjang, bukan orang yang tua renta, bukan orang yang rambutnya panjang, bukan pula yang rambutnya digundul bersih, bukan keturunan yang tinggi yang disebut tua (6.2). (7) Bhàûma Mantra sakala vidhi úàstraý Dvitiyaá Paþalaá (Pengetahuan tentang mantra abu suci yang Kedua) menjelaskan tentang manifestasi-Nya yang utama, yakni Brahmà, Viûóu, dan Úiva, akûara yang berkaitan dengan Dewa-dewa tersebut serta posisinya dala tubuh manusia. Seorang pandita harus menguasai cara membuat abu suci dengan memuja Sang Hyang Agni, Sang Hyang Oýkara dan SangHyang Svàha sebagai apinya. Selanjutnya penempatan Bhàûma di lima penjuru dengan memuja Dewatànya masing-masing. (8) Jñàna Saýkûepa (Simpulan Ajaran) menjelaskan tentang pahala penyucian diri, terutama dengan Bhàûma pahalanya ratusa juta, sedang yang tak ternilai adalah penyucian dengan pengetahuan (8.2-3). (9) Bhuvana Koûa Nava Paþalaá (Bhuvana Koûa yang Kesembilan) menjelaskan tentang mudra (sikap tangan) dan arcana (tata cara pemujaan), dan orang yangmenekuni Yoga jika melaksanakan mudra dan arcana akan kembali ke alam Sang Hyang Parama Úiva (9.3). Menjelaskan tentang Jñànadan Vijñàna, yajña, tapa, brata, dharma dan Vidhikrama. Demikian pula mantra, kuþamantra, dan Pràóava. (10) Siddhànta Úàstra, Daúamaá Paþalaá (Pengetahuan Siddhànta yang Kesepuluh) menjelaskan bagaimana seorang pandita menghadapi kematian sehingga menuju Sang Hyang Úiva. Dijelaskan pula tentang Yoga Sandhi, lepasnya àtmà melalui ubun-ubun (Úivadvara). Demikian pula tentang Mokûa. Seorangopandita yang memahami Yoga akan mengetahui datangnya kematian, dalam keadaan mokûa, seorang Yogi seperti air sungai menyatu dengan air lautan. (10.34). (11) Bhuvana Koûa, Úivopadeúa Samapta (Bhuvana Koûa, Ajaran Úiva yang terakhir). Merupakan bagian akhir dari Bhuvana Koûa ajaran Úiva menjelaskan akûara suci perwujudan Tuhan Yang Maha Esa (Pràóava) dan prosesnya menjadi berbagai akûara dalam alam semesta serta tubuh manusia, kemudian dari berbagai akûara itu kembali kepada asalnya, yakni Pràóava, dan pandita yang menguasai pengetahuan ini sebenarnya telah menguasai ajaran Úiva Siddhànta.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka ajaran teologi yang terdapat di dalam kitab Bhuvana Koûa adalah teologi Nirguóa Brahma yang merupakan ajaran Úaiva Siddhànta di Bali.
2) Jñàna Siddànta
Kitab ini telah dikaji dalam bentuk disertasi oleh Haryati Subadio (The Hague- Martinus Nijhoff – 1971). Isinya terdiri dari (1) Catur Viphala (empat perbuatan yang tidak membuahkan hasil, dalam arti menuju mokûa, dan semuanya akan dapat dicapai bila telah melaksanakan dìkûa-vidhi-vidhàna, yakni upacara penobatan menjadi pandita. (2) Prayogasandhi, yakni keadaan tidur seorang pandita, tidak mimpi, tidak gelisah, ia mencapai Mokûa dalam tidurnya. (3) Sang Hyang Jñàna Praóava Kamokûan menjelaskan berbagai nama Oýkàra seperti Praóava, Viúvam, Ghoûa, Ekàkûara, Tumburu-Tryakûràga, dan posisi dalam tubuh serta 12 Aògula tingginya rambut di kepala diikat. (4) Sang Hyang Praóava Tridevì terdiri dari Upmàpati, Úrì Devì dan Sarasvatì. (5) Sang Hyang Kawuwusan Jati Wiúesa, menjelaskan tentang 3 jalan menuju keatian: Niûþha di ubun-ubun, Madha di ujung hidung, dan Uttama di mulut, serta menjelaskan tentang Sang Hyang Úiva yang tinggal di pusat úukla (kesucian). (6) Nirmala-jñàna-úàstra (ajaran tentang kesucian pengetahuan) menjelaskan melenyapkan kotoran bathin (kleúa). Menyebutkan ajaran Catur Paramàrtha: Adhiûþhàna (kalepasan/ mokûa), Pratiûûa), Pratia adalah kamokûan, Úànti bernama kamuktan (kebebasan). Úàntyatìta berarti kanirbanan (pemusnahan). (7) Pañca Paramàrtha (lima keutamaan) jalan untuk menjelma kembali sebagai manusia, yakni tempat orang-orang bijaksana mencapai kebebasan saat kematian terdiri dari 5 tempat bagi Parama Viúesa, yakni: pusar, hati, leher, bibir, dan ujung hidung, dan menjadi Sad Paramàrtha bila ditambah kadalì-puûpa (bunga jantung pisang). (8) Sang Hyang Naiûþhika-Jñàna (Pengetahuan Yang Sempurna) menjelaskan pengetahuan tentang Úiva merupakan rahasia yang sangat tinggi, dan Pengetahuan tentang Úiva (Úivajñàna) tanpa banding. Sangat sulit mencarikan padanannya karena menyebabkan Mokûa (Kebebasan). Dan lakukan ini juga, úunya tanpa bentuknya yang abadi disebut tanpa bentuk, tinggalkan, pengetahuan tentang úubhàúubha tinggalkan, juga perbuatan tentang dharma dan adharma tinggalkan. (9) Sang Hyang Mahàvindu (Rahasya Mahàvindhu). Mahàvindu diangap Satu, terbagi menjadi dua para-apara, dan juga sakala-niûkala. Kembali vindu menjadi lima, mereka adalah pañcaúakti, yang Satu adalah niûkala-vindu, empat yang lainnya adalah sakala-vindu. (10) Sang Hyang Sapta Oýkàra. Saptàtmà adalah Sang Yajamana (pelaksana yajña), tujuh suara Om adalah api upacara korban, badan adalah kuóðàgni, ia korbankan semua keinginnya. (11) Sang Hyang Pañcaviýúati (25 yang Suci, objek Suara Om), Suara A memiliki 10 màtra, U 10 màtra, MA 3 màtra, dan 2 sebagai kaki di angkasa. (12) Sang Hyang Daúàtmà – Sang Hyang Vindu Prakriya (10 roh – upacara Vindu). Akûara suci Om memiliki 4 wujud, yaitu: Dvipàna, Brahmàòga, Úivàòga, dan Amåta-kuóðalinì. (13) Pañcma (Lima Roh). Pañcabàyu dikenal dengan Pañcàtmà, juga Pañcàkûara: pràóa, apàna, samàóa, udàna, dan juga byàna, àtmà, paràtmà, antaràtmà, dan niràtmà (dalam akûara suci) VYO-MA-VYA-PI-NE. (14) Sang Hyang Upadeúa-samùha (Semua Ajaran Suci). Úvàsa, niáúvasa dan saýyoga disebut Tryàtmà, juga disebut Triúiva dan Tripuruûa, ekàtmà dan úùnya. (15) Ûad-aòga-yoga (Enam tingkatan Yoga): Pratyàhàra dan Dhyàna, Pràóàyama dan Dhàraóa, Tàrka dan juga Samàdhi, disebut ûad-aòga-yoga. (16) Sang Hyang Ātmaliòga, Liògodbhava (Rahasia Ātmaliòga dan penampilan Liòga). Ujung bunga teratai adalah akar dari hati, pahit dan hitam diikat, hal itu sangat pekat, Ia adalah raja alam semesta, dan itulah sthana Sang Hyang úiva. (17) Utpati-Sthiti-Pralìna Sang Hyang Praóava (Kemunculan, Pemeliharaan, dan Kembalinya akûara suci Om). Dari yang Tidak Berwujud (Niûkala) muncul nàda (resonansi), dari nàda muncul vindu, dari vindu muncul ardhacandra, dari ardhacandra muncul viúva (suara Om) dan berulang muncul kembali. (18) Caturdaúàkûara-pióða, Utpati-Sthiti-Pralìna (Wujud 14 Akûara suci, Kemunculan, Pemeliharaan, dan Peleburan Kembali). Dari Úiva muncul Ātmà, dari Ātmà muncul Prakåti, dari Prakåti muncul matahari, dari matahari muncul api. Lebih jauh dijelaskan asal dan kembalinya 14 akûara suci. (19) Sang Hyang Bhedajñàna. Diajarkan tentang rahasia ajaran bhedajñàna, tinggi dan suci. Siapa yang memiliki pengetahuan ini, menguaai dunia dan badannya dan akan mencapai Úiva. (20) Sang Hyang Mahàjñàna (Pengetahuann Yang Agung dan Suci) menjelaskan pengetahuan tentang Sang Hyang Úiva yang suci. (21) Sang Hyang Bênêm Wuòkal (Abu dan tulang suci). Menjelaskan usaha pembebasan seperti cahaya nyala lampu, terang seperti busur (pelangi) Dewa Indra, membebaskan diri dari keterikatan. (22) Pràóàyàma, Saýkûipta-pùjà (Pengendalian nafas, Pemujaan yang Singkat) menjelaskan tentang keutamaan pernafasan bagi seorang yang tekun mengabdi Dharma, mengikuti semua perintah guru. Dijelaskan pula jalannya nafas dari lubang hidung kiri, kanan dan sebagainya. (23) Sang Hyang Kàka-Haýsa, menjelaskan tujuh perbedaan karakter dari ajaran yang disebut Siddhànta. (24) Sang Hyang Tìrtha – Sapta Samudra – Sapta Pàtala (Tujuh Air Suci, Tujuh Samudra, dan Tujuh Neraka) menjelaskan masing-masing tersebut dan posisinya dalam tubuh manusia. (25) Sang Hyang Úaiva Siddhànta merupakan ajaran suci dianggap warnanya putih bagi mereka yang tidak ingin aneka warna. Disebut meresapi segala, seperti halnya mentega cair yang jernih dari susu. (26) Utpatti-Sthiti-Ptalìnna Sang Hyang Vindu-Abhyàntara. Sang Hyang Úiva menjelaskan rahasia ajaran Siddhànta kepada Dewi Umà dan Kumàra tentang hal tersebut di atas. Akûara suci perwujudan dewatà serta posisinya di alam semesta dan di tubuh manusia, dan (27) Jñàna Siddhànta menjelaskan rahasia dann siapa saja yang menguasai ilmu ini, apakah anak-anak, orang yang telah berumur, dan bahkan para pertapa. Bila mempelajarinya dengan baik pada saatnya nanti akan bersatu dengan Sang Hyang Úiva.
3) Våhaspatitattva
Kitab Våhaspatitattva ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dalam disertasi di Utrecht dan diterbitkan oleh International Academy of Indian Culture, Nagpur, India (1957). Isinya berbentuk dialog antara Sang Hyang Ìúvara dengan seorang siûya (muridnya) bernama Bhagavàn Våhaspati. Dialog berlangsung di puncak Gunung Kailaúa membahas kenyataan tertinggi, yakni Cetana (unsur kesadaran) dan Acetana (unsur ketidaksadaran), keduanya bersifat halus dan menjadi sumber penciptaan semua yang ada. Cetana terdiri dari Paramaúiva Tattva, Sadaúiva Tattva, dan Úiva Tattva yang disebut catana Telu (tiga tingkat kesadaran). Ketiganya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi) yang berbeda tingkat kesadarannya. Dibedakan Cetana itu menjadi tiga didasarkan atas tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing Cetana tersebut. Paramaúiva memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadaúiva menengah dan Úiva terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung darikuat tidaknya pengaruh Màyà. Dengan demikian Paramaúiva Tattva adalah bebas dari pengauh Màyà, Sadaúiva Tattva mendapat pengaruh sedang-sedang saja, sedangkan Úiva Tattva mendapat pengaruh Màyà yang paling kuat.
Ndah lwir nikaò tattva kavruhanta, cetana lavan acetana, cetana òaranya jñànasvabhava vruh tan keneò lupa, nityomideò sadakala, tan kavaróan, ya sinangguh cetana òaranya, acetana òaranya ikaò tanpa jñàna, kadyaòga niò vatu, ya sinaòguh acetana òaranya (Våhaspatitattva 5).
Inilah tattwa itu ketahuilah olehmu (yaitu) Cetana dan Acetana. Cetana bersifat tahu, mengetahui dengan tidak terkena lupa, tenang senantiasa (dan) tetap selamanya, tak terhalang. Itulah yang disebut Cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan seperti wujudnya batu. Itulah yang disebut
Sang Hyang Widhi Paramaúiva adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu Màyà, karena itu ia diberi gelar Nirguóa Brahman. Ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas. Kemudian Paramaúiva kesadarannya mulai tersentuh oleh Màyà, ia terpengaruh oleh guóa, úakti, dan svabhava yang merupakan hukum kemahakuasaan-Nya ia disebut Sang Hyang Sadaúiva. Ia memiliki kemampuan nuntuk memenuhi segala kehendak-Nya, yang dilukiskan sebagai sekuntum bunga teraytai (padmàsana) berdaun bunga delapan sebagai sthana-Nya. Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra, yakni Oýkàra (OM) dengan Ìúana (I) sebagai kepala, Tatpuruûa (TA) sebagai muka, Aghora (A) sebagai hati, Bàmadeva (BA) sebagai alat-alat rahasia. Sadyojàta (SA) sebagai badan. Dengan Guóa, Úakti, Svabhava-Nya, ia aktif dengan segala ciptaan-Nya, oleh karena itu Ia disebut Saguóa Brahman.
Pada tingkatan Úivàtmà Tattva, Guóa, Úakti, dan Svabhava-Nya sudah berkurang karena sudah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur Màyà, oleh karena itu Úivàtmà Tattva. Berdasarkan tingkat pengaruh Màyà terhadap Úivàtmà Tattva, maka Úivàtmà Tattva dibedakan atas delapan yang disebut Aûþavidyàsana. Bilamana pengaruh Màyà sudah demikian besarnya terhadap Úivàtmà menyebabkan kesadaran asli Úivàtmà menjadi hilang dan sifatnya menjadi Avidyà. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka ia disebut Àtmà atau Jivàtman.
Kendatipun Àtmà mderupakan bagian dari Sang Widhi (Úiva) namun ia tidak lagi menyadari asalnya karena adanya belenggu Avidyà yang ditimbulkan oleh adanya pengaruh Màyà (Pradhana Tattva). Adanya pengaruh Màyà terhadap Ātmà menyebabkan Ātmà dalam lingkaran sorga-neraka-saýsara secara berulang-ulang. Ātmà akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua karmanya selaras dengan Catur Ìúvarya, Pañca Yama Brata, Pañca Niyama Brata, dan Aûþasiddhi. Bilamana dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran di atas, maka Ātmà akan tetap berada dalam lingkaran reinkarnasi. Bentuk atau wujud reinkarnasi Ātmà sangat banyak terantung pada karma vaúana (bekas-bekas peruatan) Ātmà pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk reinkarnasi adalah “stavara-jaògama” atau tumbuh-tumbuhan dan binatang yang disebut sebagai penjelmaan yang paling rendah (Våhaspatitattva 240. Bentuk reinkarnasi itu adalah suatu penderitaan yang harus diakhiri.
Untuk mengakhiri lingkaran reinkarnasi itu, Våhaspatiattva menyarankan setiap oran harus menyadari hakikat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari segala “Tattva” atau “Jñànàbhyudreka”, tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu “Indriyàyogamàrga” dan tidak terikat kepada pahala-paha baik dan buruk “Tåûóàdoûakûaya” sebagai persyaratan untuk memperoleh kalepasan (Mokûa). Di samping itu, Våhaspatitattva juga mengajarkan jalan lain untuk mencapai Sang Hyang Widhi (Sang Hyang Viúesa) yaotu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (melalui praktek Yoga) dengan enam tahapannya yang disebut “Ûadaògyoga”. Yoga dilandasi ajaran Daúaúìla yang merupakan ajaran etika dan moralitas (Våhaspatitattva) (Mirsha, dkk, 1994:i-iii).
Berdasarkan uraian tentang isi Våhaspatitattva di atas, maka ajaran teologi dalam kitab ini adalah teologi Impersonal God, Tuhan Yang Maha Esa tidak berpribadi, Ia disebut Sang Hyang Úiva sebagai pencipta pemelihara, dan pelebur kembali seluruh alam semesta dan segala isinya, yang dapat didekati melalui jalan Yoga atau Yogamàrga.
4) Gaóapatitattva
Kitab Gaóapatitattva ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dan diterbitkan dalam Úatapitaka Series No.4 oleh International Academy of Indian Culture, Nagpur, India (1958) terdiri dari 60 úloka dalam Chaóða Anuûþubh Sanskerta. Isinya merupakan dialog antara Sang Hyang Úiva dengan Sang Hyang Gaóapati, putranya sendiri. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut. Oýkàra adalah wujud úabda úùnya, nàda Brahman, asal mula Pañcadaivàtmà, Brahmà, Viûóu, Ìúvara, rudra, dan Sang Hyang Sadaúiva. Pañcadaivàtmà merupakan asal Pañca Tan Màtra yang terdiri dari Rùpa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan úabda (unsur suar). Dari Pañca Tan Màtra muncul Pañca Mahàbhùta yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari: Apah (air/benda cair), Teja (panas), Vàyu (angin), Påthivì (tanah) dan Ākàúa (ether). Dari Pañca Mahàbhùta ini alam semesta beserta segala isinya diciptakan, dan Sang Hyang Úivàtma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya (Gaóapatitattva 1-2, 25-39).
Dijelaskan pula ajaran Ûadaòga Yoga yang terdiri dari: Pratyàhàrayoga, Dhyànayoga, Pràóàyamayoga, Dhàraóayoga, Tàrkayoga, dan juga Samàdhi sebagai jalan spritual untuk mencapai Mokûa (Gaóapatitattva 3-9). Juga diuraikan tentang eksistensi Padmahådaya (Padmahati) sebagai Sang Hyang Úivaliòga, Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci, dan penuh keyakinan yang dapat mengetahui Beliau. Beliau hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang Hyang Caturdaúàkûara (14 buah huruf suci). Dilanjutkan dengan uraian tentang berbagai jenis Liòga (Gaóapatitattva 10, 11, 17, 18, 19, 22-24).
Pada bagian lain diuraikan tentang anggapan orang bodoh dan sombong yang tidak memahami Ātmà (Gaóapatitattva 20), juga uraian tentang sthana Bhaþàra Brahmà, Viûóu dan Úiva dalam tubuh manusia (Gaóapatitattva 21). Sang Hyang Bhedajñàna adalah ajaran yang sangat rahasia tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran rahasia ini adalah ia yang sungguh-sungguh melaksanakan Dharma (Gaóapatitattva 40-42). Berikutnya diuraikan tentang Mokûa (kalepasan) dan orang-orang yang mencapai hal tersebut, yakni yang mengutamakan pengetahuan yang suci, kebebasan, dan mengejar penyatuan dengan Sang Hyang Úiva (Gaóapatitattva 43-55). Bagian terakhir menjelaskan upacara ruwatan (panglukatan) Gaóapati, sarana upakara yang diperlukan, mantra yang digunakan, dan manfaat dari upacara ritual tersebut. Kitab ini ditutup dengan mantra pemujaan ditujukan kepada Sang Hyang Gaóapati dan Dewi Sarasvatì (Gaóapatitattva 56-60) (Mirsha, 1994:ii).
5) Tattvajñàna
Kitab Tattvajñàna ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dengan topik Tattvajñàna and Mahàjñàna, diterbitkan dalam Úatapitaka Series No. 23 oleh International Academy of Indian Culture, Nagpur, India (1962). Sesuai dengan topiknya maka buku ini membahasa dua naskah yang berbeda, yakni naskah Tattvajñàna dan Mahàjñàna. Mengingat kedua isinya tidak jauh berbeda, maka yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah kitab Tattvajñàna sebagai berikut.
Sesuai dengan nama kitab ini adalah Tattvajñàna maka isinya adalah pengetahuan tentang Tattva yang dimulai dengan membahas Cetana, yakni kesadaran dan Acetana atau tidak sadar. Cetana adalah Úivatattva, sedangkan Acetana adalah Màyàtattva. Úivatattva terdiri dari Paramaúivatattva, Sadaúivatattva, dan Ātmikatattva. Paramavatattva adalah Bhaþàra Úiva yang Niskala, Tuhan Yang Serba Tidak: tidak terikat oleh ruang dan waktu, memenuhi alam semesta. Sadaúivatattva adalah Bhaþàra Úiva yang Vyàpara (aktif, terpengaruh oleh Màyà), memiliki aktivitas Sarvajñàna (yang serba tahu) dan Sarvakàryakartà (serba kerja). Ada empat kemahakuasaan-Nya yang disebut Caduúakti, yaitu: Jñànaúakti (mahamengetahui), Vibhuúakti (mahaada), Prabhuúakti (mahakuasa) dan Kriyaúakti (mahakarya/mahapencipta). Jñànaúakti dibedakan atas: Dùradarúana (melihat jauh/mahamelihat), Dùraúavàóa (maha-mendengar), Dùràtmaka (berpribadi jauh).
Bhaþàra Sadaúiva bergelar Bhaþàra Ādipramaóa, Bhaþàra Jagatnatha, Bhaþàra Guru, dan sebagainya. Ātmikatattva adalah Bhaþàra Sadaúivatattva yang mempunyai sifat “utaprota” . Uta (terjalin bagaikan tenunan) ialah Bhaþàra Sadaúiva yang menyusupi Màyàtattva. Prota (terangkat bagaikan tenunan) ialah Bhaþàra Sadaúiva yang memenuhi Màyàtattva, melekat dan diliputi oleh Màyàtattva itu, sehingga tidak tampak wujud yang sebenarnya. Sebagai Ātmikatttva, Bhaþàra Úiva adalah Sang Hyang Ātmaviúesa, Sang Hyang Dharma.
Anak Màyàtattva adalah Pradhànatattva yang mempunyai sifat-sifat lupa yang berlainan dengan sifat-sifat Sang Hyang Ātmà yang sadar.Bila sifat sadar bertemu dengan sifat lupa, maka hal itu disebut Pradhàna-Puruûa yang melahirkan citta dan guóa. Citta adalah bentuk kasarnya Puruûa, sedangkan guóa adalah penjelmaan Pradhànatattva. Ada tiga guóa, yaitu sattva, rajah, dan tamah. Triguóaini menentukan kondisi Ātmà apakah akan mencapai Mokûa, Svarga, Naraka, atau lahir menjadi manusia kembali. Pertemuan Triguóa dengan Citta melahirkan Buddhi. Buddhi itu adalah bentuk kasar dari Triguóa yang diberi kesadaran oleh Citta. Dari Buddhi lahirlah Ahaýkàra.
Bhaþàra yang dijunjung memberi kesadaran pada Sang Hyang Ātmà, Sang Hyang Ātmà pada Citta, Citta pada Ahaýkàra. Ahaýkàra yang sifatnya mengaku-aku tiga macamnya, yaitu: Vaikåta, Taijasa, dan Bhùtàdi. Vaikåta adalah Buddhi Sattva yang menimbulkan adanya Manah dan Daúendriya. Taijasa adalah Buddhi Rajas. Bhùtàdi adalah Buddhi Tamah yang menimbulkan adanya Pañca Tan Màtra. Dari Pañca Tan Màtra timbullah Pañca Mahà Bhùta. Dengan berpadu dengan Guóa, Pañca Mahà Bhùta membentuk Andabhuvana, yaitu: Bhùrloka, Bhuvahloka, Svahloka, tapaloka, Janaloka, Mahàloka, dan Satyaloka. Di samping alam atas, juga terdapat alam bawah, yaitu: Pàtàla, Vaitàla, Mahàtàla, Sutàla, Tàla-tàla, dan Rasatàla. Di bawah Sapta Pàtàla ini terdapat Balagardaba Mahànaraka, di bawahnya terdapat Kàlàgnirudra.
Taijasa adalah Buddhi Rajah, membantu kerja Vaikåta dan Bhùtàdi. Bhaþàra junjungan manusia, menyusupi alam s emesta, menciptakan manusia dengan perantaraan Kriyaúakti. Ātmà berada di Tùriyapàda, Jagrapàda, dan Suptapàda. Ātmà mengalami sengsara. Suatu wujud Ātmà adalah Ātmà yang berhubungan dengan Ahaýkàra yang menimbulkan adanya Pañca Tan Màtra, Pañca Mahà Bhùta, dan Manah. Manah direflesikan pada Ātmà sehingga Ātmà menjadi Pañca Ātmà. Orang yang ditempati oleh Bhaþàra Úiva memiliki Ātmà Viúesa. Walaupun Ātmà seseorang adalah Ātmà Viúesa, ia harus melaksanakan Tapa, brata, samàdhi. Pada waktu Samàdhi Bhaþàra Úiva akan menyatakan diri-Nya. Pada binatang tidak ada Ātmà Viúesa. Ia lebih banyak digerakan oleh Vàyu, Idêp, dan Úabda. Úabda, Vàyu, dan Idêp itu meresapi seluruh tubuh manusia yang diberi kesadaran oleh Ātmà dalam kadar yang berbeda-beda. Yang menyebabkan perbedaan-perbedaan itu adalah “úubhàúubhakarma”. Ātmà yang berada di Jagrapàda dan Turiyapàda adalah Ātmà yang luput dari “úubhàúubhakarma” karena kesuciannya, sedangkan Ātmà yang berada di Suptapàda adalah Ātmà yang sengsara karena terus menerus lahir menjadi Dewata, manusia, dan binatang. Ia selalu diombang-ambingkan oleh pikiran berupa angan-angan. Adapun Turiyapàda dan Turiyàntapàda itu sukar dijangkau oleh pikiran karena halusnya. Untuk dapat menentukan sesuatu itu dapat menggunakan Tripramàóa, yaitu Pratyakûa, Anumàna, dan Āgamapramàóa. Turiyàntapàda hanya dapat dibayangkan dengan Āgamapramàóa. Ātmà-àtmà itulah yang lahir sebagai manusia, tinggal dalam badan manusia, meresap dalam Sad Rasa, yang membangun tubuh manusia. Namun tubuh itu dasarnya dibangun dari Pañca Mahà Bhùta. Sebenarnya tubuh itu merupakan tiruan alam semesta, karena bagian-bagian tubuh itu bagaikan bagian-bagian besar. Demikian tubuh itu dapat dibandingkan dengan Sapta Bhuwana, Sapta Pàtàla, Sapta Parvata, Sapta Aróava, Sapta Dvìpa. Bila di alam besar terdapat banyak sungai, maka dalam tubuh manusia terdapat semacam sungai yang disebut nàdì. Tenaga gerak tubuh itu disebut Vàyu yang jumlahnya sepuluh disebut Daúavàyu. Semuanya itu dihidupkan oleh Sang Hyang Ātmà yang membagi-bagi dirinya yang menghidupi bagian-bagian tubuh itu. Akibat dari pembagian itu, maka Ātmà membagi dirinya menjadi Pañcàtmà.
Dunia dialami oleh Ātmà melalui Daúendriya dan Manah. Kemudian Para Dewa dan Para Åûi juga menempati bagian-bagian tubuh, seperti Bhaþàra Brahmà menempati hati, Bhaþàra Viûóu menempati empedu, dan sebagainya, dan Triguóa menjadi Gandharva, daitya, Bhùta, Paiúaca, dan sebagainya yang menimbulkan sifat-sifat tertentu pada diri seseorang. Badan Sang Hyang Ātmà adalah Pradhànatattva yang disebut Ambêk. Ambêk dan tubuh disebut Aògarapradhàna. Dari Ambêklah timbul suka, duka, baik, dan buruk. Ambêklah yang menikmati objek kenikmatan itu melalui Daúendriya. Maka harus ditarik dari objek kenikmatannya, kembalikan ke dalam Ambêk, Ambêk ke alam Pramàóa, Pramàóa ke Dharma Viúesa, Dharmaviúesa ke dalam Antaviúesa, Antaviúesa ke dalam Anantaviúesa.
Cara mengembalikan semuanya itu dengan jalan Prayogasandhi yang dapat dilaksanakan dengan tuntunan Samyagjñàna. Samyagjñàna hanya akan diperoleh melalui Tapa, Yoga, dan Samàdhi. Yang dimaksud dengan Prayogasandhi adalah Āsana, Pràóàyama, Pratyàhàra, Dharàóa, Dhyàna, Tàrka, dan Samàdhi. Bila Sang Yogìúvara telah menemukan Samàhi itu, ia dikatakan telah memiliki ka-Aûþaiúvarya. Aûþaiúvarya itu meliputi: Anima (mahakecil), Laghima (maharingan), Mahima (mahabesar), Prapti (seketika ada ditempat), Prakàmya (tercapai yang diinginkan), Ìúittva (menguasai segalanya), Vaúittva (meliputi segalanya), yatrakàmavaúayittva (apa yang diinginkan segera terwujud dan berkuasa). Bila endapan Sattva sudah tidak ada lagi, maka pada saat itulah Sang Yogìúvara berpisah dengan Pañca Mahà Bhùta dan kembali bersatu dengan Bhaþàra Parameúvara (Mirsha, 1994:iii).
Ajaran teologi dari kitab-kitab Bhuvanakoûa, Jñàna Siddhànta, Våhaspatitattva, Gaóaptitattva, dan Tattvajñàna tampak ada kesamaan, yakni sama-sama menjelaskan tentang proses penciptaan alam semesta dan makhluk hidup, utamanya manusia, mengagungkan Sang Hyang Úiva, dan menjelaskan tujuan hidup manusia yang tertinggi yakni Mokûa atau Kalêpasan yang dapat dicapai melalui Yogamàrga, khususnya Sadaògayoga atau Prayogasandhi yang terdiri dari: Āsana, Pràóàyama, Pratyàhàra, Dharàóa, Dhyàna, Tàrka, dan Samàdhi.
6) Pùrvabhùmikamùlan
Kitab Pùrvabhùmikamùlan telah dikaji oleh C. Hoykaas, dengan judul buku Cosmogony and Creation in Balinese Tradition, The Hague – Martinus Nijhoff (1974). Jumlah úloka Sanskertanya sebanyak 126 buah yang masing-masing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Adapun isi kitab ini adalah tentang penciptaan alam semesta berserta segala isinya. Pada mulanya dinamakan Pùrvaka Bhùmi (awal kejadian). Mulanya Úùnya (kosong), awalnya ada Bhaþàra dan Bhaþàrì, hakikat Sang Hyang Widhi Viúesa (Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa). Diceritakan Sang Hyang Widhi berkeinginan mempunyai putra Para Dewa. Pada mulanya dari tulang-Nya lahir Ni Cantiò Kuniò yang akhirnya bernama Bhaþàri Umà. Selanjutnya putra laki-laki bernama dari kulit-Nya berwarna putih bernama Kurúika, Sadyojàta namanya, akhirnya bernama Bhaþàra Ìúvara, selanjutnya dari daging-Nya berwarna merah bernama Garga, Sang Bàmadeva, akhirnya bernama Bhaþàra Brahmà. Lagi berputra berwarna kuning Sang Metri namanya, Tatpuruûa ama lainnya, akhirnya dinamakan Bhaþàra Mahàdeva. Putranyan berwarna hitam, diberi nama Sang Kurusya, Aghora juga disebut, kemudian bernama Bhaþàra Viûóu. Selanjutnya lahir putra bernama Prêtañjala, pañca warna kulitnya, juga bernama Ìúa dinamakan Bhaþàra Úiva. Sang Hyang Widhi memerintahkan putra-putra-Nya menciptakan alam semesta. Diceritakan empat putranya menolak, yang kemudian dikutuk oleh-Nya, Kurúika menjadi Bhùta Deòên berwujud Yakûa, Garga menjadi harimau, Metri menjadi nàga, Kurusya menjelma menjadi buaya. Mereka menuju empat penjuru dan tidak kembali lagi. Tinggal dua putra-Nya, yakni Cantiò Kuniò dan Prêtañjala, sama-sama sakti disebut Nini Patuk dan Kaki Patuk. Selanjutnya menjelaskan tentang Pañca Akûara (SA, BA, TA, A, I) dan Pañca Brahmà (NA, MA, ÚI, VA, YA). Dijelaskan tentang (1-19). Dijelaskan pula dari Sang Hyang Úiva menurunkan Sungai Gaògà yang memenuhi dataran, bercahaya warnanya, serta mantra pemujaan kepada Dewi Gaògà (24-32).
Sumber: budayasenijawa.wordpress.com