Home / Agama / Kajian / Tentang Shalat Sunnah Awwabin

Tentang Shalat Sunnah Awwabin

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku terkasih, meneruskan artikel yang lalu, berjudul: “Kedahsyatan Surat al-Fatihah dan Makna Titik pada Huruf Ba“, disebutkan pada artikel tersebut bahwa kami akan menguraikan secara khusus tentang Shalat Sunnah Awwâbîn .

Pengertian Shalat Awwâbîn

Istilah shalat Awwâbîn itu sendiri memilik dua konotasi, bisa diartikan shalat Dhuha, bisa juga diartikan shalat sunnah di antara Maghrib dan Isya sebagaimana yang dikemukakan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i.

Kendati demikian, Madzhab Syafi’i cenderung menggunakan istilah shalat Awwâbîn dengan pengertian yang kedua, yaitu shalat sunah yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya.

وَيُؤْخَذُ مِمَّا جَاءَ عَنْ صَلاَةِ الضُّحَى وَالصَّلاَةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ أَنَّ صَلاَةَ الْأَوَّابِينَ تُطْلَقُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى ، وَالصَّلاَةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ . فَهِيَ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَهُمَا كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ .وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيَّةُ بِتَسْمِيَةِ التَّطَوُّعِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِصَلاَةِ الْأَوَّابِينَ ۞

“Dari apa yang telah dijelaskan mengenai shalat Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya dapat diambil simpulan bahwa ‘shalat Awwâbîn ’ dikatakan untuk menyebut shalat sunah Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya. Karenanya shalat Awwâbîn dikonotasikan di antara keduanya sebagaimana dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i. Hanya Madzhab Syafi’i yang menamakan shalat di antara Maghrib dan Isya dengan shalat Awwâbîn ,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Mesir, Darush Shafwah, cet ke-1, juz XXVII, halaman 134-135).

Mengapa dinamakan shalat Awwâbîn ? Disebut “shalat Awwâbîn ” karena orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah dan bertobat dari kesalahan yang dilakukan pada siang hari. Ketika ia menjalankan shalat tersebut berulang-ulang, maka hal itu merupakan penanda pertobatan atau kembalinya ia kepada Allah kendati hal tersebut tidak disadarinya.

وَصَلَاةُ الْأَوَّابِينَ وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ صَلَاةَ الْأَوَّابِينَ ؛ لِأَنَّ فَاعِلَهَا رَجَعَ إلَى اللّٰهِ تَعَالَى وَتَابَ مِمَّا فَعَلَهُ فِي نَهَارِهِ فَإِذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ دَلَّ عَلَى رُجُوعِهِ إلَى اللّٰهِ تَعَالَى وَلَوْ لَمْ يُلَاحَظْ ذَلِكَ الْمَعْنَى ۞

“Dinamakan shalat Awwâbîn sebab orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah dan bertobat dari kesalahan yang ia lakukan pada siang hari. Karenanya, ketika ia melakukannya berulang-ulang, maka hal itu merupakan penanda kembalinya ia (bertobat) kepada Allah ta’ala meskipun itu tidak disadarinya,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut, Daru Fikr, juz, 609).

Shalat Awwâbîn juga disebut “shalat ghaflah” (shalat lalai). Menurut apa yang kami pahami dari keterangan di kitab Al-Iqna`, disebut demikian karena umumnya orang cenderung lalai pada saat antara Maghrib dan Isya karena disibukkan dengan aktivitas lain seperti makan malam, tidur, dan lain sebagainya. Sedang jumlah rakaat shalat Awwâbîn adalah dua puluh dan minimal dua rakaat.

وَصَلَاةُ الْأَوَّابِينَ وَتُسَمَّى صَلَاةَ الْغَفْلَةِ لِغَفْلَةِ النَّاسِ عَنْهَا بِسَبَبِ عَشَاءٍ أَوْ نَوْمٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةٍ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَأَقلُّهَا رَكْعَتَانِ ۞

“Shalat Awwâbîn (disebut juga, pent) ‘shalat Ghaflah’ (lalai) karena kelalaian orang-orang atas shalat tersebut oleh aktivitas seperti makan malam, tidur, dan selainnya. Sedang jumlah rakaatnya adalah dua puluh di antara Maghrib dan Isya. Minimal adalah dua rakaat,” (Lihat Muhammad Asy-Syarbini Al-Khathib, Al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syujja’, Beirut, Darul Fikr, 1415 H, juz I, halaman 118).

Dalam hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dijelaskan mengenai fadhilah atau keutamaan dari shalat Awwâbîn. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang menjalankan shalat Awwâbîn enam rakaat akan mendapatkan pahala setara ibadah dua belas tahun.

مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ كَتَبَ اللّٰهُ لَهُ عِبَادَةَ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً ۞

“Barang siapa yang melaksanakan shalat Awwâbîn enam rakaat antara Maghrib dan ‘Isya maka Allah catat baginya pahala ibadah dua belas tahun,” (HR Tirmidzi).

Tatacara Melaksanakan Shalat Awwâbîn

Dalam Kitab Tanbîh al-Mâsyî al-Manshûb ila Tharîqil Qushâshiy yang ditulis oleh Syaikh Abdurraûf bin ‘Ali al-Jâwî al-Fansyûri al-Sinkîliy, disebutkan bahwa Shalat Awwâbîn adalah Shalat Sunnah Taubat. Awwâbîn secara Bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti (orang yang sering bertaubat).

Berdasarkan tuntunan dari Kitab Tanbîh al-Mâsyî tersebut, tatacara melaksanakan Shalat Awwâbîn yaitu;

1. Jumlah raka’atnya sebanyak enam raka’at, dikerjakan sesudah shalat sunnah ba’diyyah Maghrib.

2. Jangan ada jeda (tak boleh ada ucapan lain, obrolan atau aktifitas lain) dari sejak shalat maghrib sampai selesai amalan shalat Awwâbîn hingga akhirnya disambung dengan amalan membaca Surat al-Fâtihah.

3. Sebelum berdiri untuk shalat Awwâbîn (setelah selesai shalat sunnah ba’diyah Maghrib) bacalah (doa);

مَرْحَبًا بِمَلآئِكَةِ اللَّيْلِ مَرْحَبًا بِالْمَلَكَيْنِ الْكَرِيْمَيْنِ الْكَاتِبَيْنِ، اُكْتُبَا فِى صَحِيْفَتَيْ إِنِّيْ أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ وَالشَّفَاعَةَ حَقٌّ وَالصِّرَاطَ حَقٌّ وَالْمِيْزَانَ حَقٌّ وَأَشْهَدُ أَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيْهَا وَأَنَّ اللّٰهُ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ، اَللّٰهُمَّ إِنِّىْ أَوْدِعُكَ هٰذِهِ الشَّهَادَةَ لِيَوْمِ حَاجَتِيْ إِلَيْهَا، اَللّٰهُمَّ احْطُطْ بِهَا وِزْرِىْ وَاغْفِرْ بِهَا ذَنْبِيْ وَثَقِّلْ بِهَا مِيْزَانِيْ وَأَوْجِبْ لِيْ بِهَا أَمَانِيْ وَتَجَاوَزْ عَنِّيْ يآ أَرْحَـمَ الرَّاحِمِيْنَ ۞

Marhaban bi malâikatil laili, marhaban bil-malakainil karîmainil kâtibain, uktubâ fî shahîfatay innî asyhadu allâ ilâha illâ allâh wa asyhadu anna muhammadar rasûlullâh wa asyhadu annal jannata haqqun wan-nâru haqqun wasy-syafâ’atu haqqun wash-shirâtha haqqun wal-mîzâna haqqun wa asyhadu annas sâ’ata âtiyatul lâ rayba fîhâ wa annallâha yab’atsu man fil-qubûr, allâhumma innî audi’uka hâdzihisy syahâdata liyaumi hâjati ilayhâ, allâhumma uhthuth bihâ wizrî waghfir bihâ dzanbî wa tsaqqil bihâ mîzânî wa awjib lî bihâ amânî wa tajâwaz ’annî yâ arhamar râhimîn.

Selamat datang wahai malaikat malam, selamat datang wahai dua malaikat pencatat amal yang mulia, tulislah dalam buku catatanku bahwa aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan aku bersaksi bahwa surga, neraka, syafaat, jembatan dan timbangan itu benar-benar ada, dan aku bersaksi bahwa kiamat itu pasti tiba, tidak ada keragu-raguan di dalamnya, dan aku bersaksi bahwa Allah akan membangkitkan manusia di dalam kubur. Ya Allah! Aku titip kepada-Mu kesaksian ini hingga hari aku akan membutuhkannya. Ya Allah! Ringankan-lah bebanku melalui kesaksian itu, ampunilah dosaku melalui kesaksian itu, beratkanlah timbangan amal baikku melalui kesaksian itu, jaminlah keselamatanku melalui kesaksian itu, dan luluskanlah aku, wahai dzat Yang Maha Pengasih diantara para pengasih”.

4. Dikerjakan enam rakaat secara bertahap, yakni setiap dua rakaat satu kali salam. Jika enam rakaat, berarti tiga kali salam. Pada setiap raka’at, setelah membaca surat al-Fâtihah lalu disambung dengan membaca surat al-Ikhlâsh sebanyak 6 kali, disambung surat al-Falaq dan al-Nâs (al-Mu’awwidzatain) masing-masing sekali.

5. Dua raka’at pertama diniatkan untuk menjaga iman dan sekaligus niat shalat awwâbîn. Adapun bacaan niatnya:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّابِيْنَ لِحِفْظِ الْإِيْمَانِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى ۞

Ushalli sunnatal awwâbîn lihifdzhil îmâni rak’ataini lillâhi ta’âlâ

“Saya niat shalat sunnah awwabin untuk menjaga iman dua rakaat karena Allah Taala.”

Kemudian setelah salam, hendaklah engkau membaca do’a berikut ini;

اَللّٰهُمَّ اسْدُدْنِي بِالْإِيْمَانِ وَاحْفَظْهُ عَلَيَّ فِى حَيَاتِيْ وَعِنْدَ وَفَاتِيْ وَبَعْدَ مَمَاتِيْ ۞

Allâhumma usdudnî bil-îmâni wahfadzhu ‘alayya fî hayâtî wa ‘inda wafâtî wa ba’da mamâtî

Ya Allah! Perkokohlah aku dengan iman, dan peliharalah iman tersebut selama hidupku, ketika aku mati, dan setelah aku mati”.

6. Kemudian, shalat dua raka’at lagi dengan niat hanya untuk shalat awwâbîn saja. Adapun bacaan niatnya:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّابِيْنَ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى ۞

Ushalli sunnatal awwâbîn rak’ataini lillâhi ta’âlâ

“Saya niat shalat sunnah awwabin dua rakaat karena Allah Taala.”

7. Kemudian, shalat dua rakaat lagi dengan niat shalat awwâbîn dan istikhârah (minta petunjuk). Adapun bacaan niatnya:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّابِيْنَ لِاسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى ۞

Ushalli sunnatal awwâbîn listikhârati rak’ataini lillâhi ta’âlâ

“Saya niat shalat sunnah awwabin untuk memohon petunjuk dua rakaat karena Allah Taala.”

Setelah salam, dilanjutkan dengan membaca do’a berikut ini sebanyak 3 kali;

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْئَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ، اَللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا تَحَرَّكَ فِيْهِ فِى حَقِّيْ وَفِى حَقِّ غَيْرِيْ وَجَمِيْعَ مَا يَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَيْرِيْ فِى حَقِّيْ وَحَقِّ أَهْلِيْ وَوَلَدِيْ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ مِنْ سَاعَةِ هٰذِهِ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ الْيَوْمِ الْآخِرِ خَيْرٌ لِيْ فِى دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ، اَللّٰهُمَّ وإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ جَمِيْعَ مَا أَتَحَرَّكُ فِيْهِ فِى حَقِّ غَيْرِيْ فِى حَقِّ أَهْلِيْ وَوَلَدِيْ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ مِنْ سَاعَةِ هٰذِهِ إِلَى مِثْلِهَا مِنَ الْيَوْمِ الْآخِرِ شَرٌّ لِيْ فِى دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُـمَّ اَرْضِنِيْ بِهِ ۞

Allâhumma innî astakhîruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as’aluka min fadhlikal ‘adzhîm, fa innaka taqdiru wa lâ aqdiru, wa ta’lamu wa lâ a’lamu, wa anta ‘allâmul ghuyûb. Allâhumma in kunta ta’lamu anna jamî’a mâ taharraka fîhi fî haqqî wa fî haqqi ghairî fî haqqî wa haqqi ahlî wa waladî wa mâ malakat yamînî min sâ’ati hâdzihî ilâ mitslihâ minal yaumil âkhiri khairan lî fî dînî wa ma’âsyî wa ‘âqibati amrî faqdurhu lî wa yassirhu lî, Allâhumma wa in kunta ta’lamu anna jamî’a mâ ataharraku fîhi fî haqqi ghairî fî haqqi ahlî wa waladî wa mâ malakat yamînî min sâ’ati hâdzihî ilâ mitslihâ minal yaumil âkhiri syarrun lî fî dini wa ma’âsyî wa ‘âqibati amrî fashrifhu ‘annî washrifnî ‘anhu waqdur liyal khaira haitsu kâna tsumma ardhinî bihi.

Ya Allah! aku memohon pilihan kepada-Mu dengan pengetahuan-Mu, aku mohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedangkan aku tidak punya daya, Engkau Yang Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak berilmu, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segala  hal yang ghaib. Ya Allah! Jika Engkau mengetahui bahwa semua yang bergerak, menurut hakku dan menurut hak selain aku, serta semua yang bergerak selain aku, menurut hakku, hak keluargaku, anakku, dan menurut hak orang yang berada dalam tanggung jawabku, sejak hari ini hingga nanti pada hari akhir, adalah baik bagiku, dalam agamaku, dalam kehidupanku dan dalam akibat urusanku, maka kehendakilah semua itu, dan mudahkanlah bagiku. Namun, ya Allah! jika Engkau mengetahui bahwa semua itu tidak baik bagiku, dalam agamaku, dalam kehidupanku, dan dalam akibat urusanku, maka palingkanlah semuanya itu dariku, dan palingkanlah pula aku darinya, kehendakilah yang lebih baik bagiku sebagaimana adanya, kemudian kehendakilah agar aku ridha atasnya”.

Demikian Guru kami yang Mulia Syaikh Abdurraûf bin ‘Ali al-Jâwî al-Fansyûri al-Sinkîliy memberikan tuntunan. Semoga Allah SWT memberikan kita manfaat dan barakah karena sebab ilmunya, rahasianya, dan cahayanya fiddîn wadduniâ wal-âkhirah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Wallâhu A’lam

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...