Home / Agama / Kajian / Tentang Menikahi Wanita Sayyidah dan Syarifah

Tentang Menikahi Wanita Sayyidah dan Syarifah

“Syarif (laki-laki) atau syarifah (perempuan) adalah sebutan keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyidina Hasan. Sementara sayyid (laki-laki) atau sayyidah (perempuan) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyidina Husein.”.

Oleh: Sofyan dan Faisal Zikri

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Sudah akrab dengan kata Syarifah? Secara umum, syarifah berkaitan erat dengan keturunan Rasulullah SAW yang terjaga hingga saat ini.

Syarif (laki-laki) atau syarifah (perempuan) adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Sayyidina Hasan. Sementara itu, sayyid (laki-laki) dan sayyidah (perempuan) adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Sayyidina Husein.

Hasan dan Husein ialah anak dari Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan putri Nabi Muhammad, Fatimah. Untuk mengetahui penjelasan tentang syarifah lebih dalam, kamu bisa simak artikel ini, Grameds

Keutamaan Syarifah dalam Pernikahan

Salah satu keutamaan Syarifah yang banyak dibahas ialah kehadirannya sebagai penerus keturunan Rasulullah SAW. Oleh karenanya, salah satu penekanannya ada pada pernikahan. Dalam penelitian Repository UIN Sunan Kalijaga, telah disebutkan bahwa adanya konsep kafã’ah dalam pernikahan, yaitu suatu kesepadanan dari laki-laki dan perempuan yang hendak menikah dalam berbagai hal, termasuk diantaranya dalam hal agama, nasab, dan pekerjaan.

Konsep ini akhirnya melahirkan suatu pelarangan pernikahan di antara Syarifah dengan non-Sayyid, karena dianggap tidak sekufu’ serta dapat merusak atau memutus nasab Rasulullah SAW.

Penelitian ini juga menunjukkan pandangan Habaib Jam’iyyah Rabiṭhah Alawiyyah Yogyakarta, yaitu suatu kondisi dimana seorang Syarifah kemudian mendapatkan larangan untuk menikah dengan dengan laki-laki non-Sayyid karena dianggap tak sekufu’. Meski demikian, dalam masalah ini, larangannya tidak dilakukan secara mutlak.

Hal ini karena kafā’ah sangat bergantung pada izin ataupun ridho dari wali atau perempuan atau Syarifah tersebut. Ketika ada Syarifah menikah yang dengan laki-laki non-Sayyid dan walinya ridho, maka hukum pernikahan tersebut boleh untuk dilakukan.

Lain halnya, dengan seorang Syarifah yang menikah dengan laki-laki non Sayyid tanpa adanya izin dari wali, maka akan dianggap sudah memutus hubungan keturunan Rasulullah SAW.

Pada pembahasan selanjutnya, kita akan membahas tentang pandangan para ulama tentang Syarifah.

Pandangan Ulama Mengenai Keutamaan Syarifah

Terkait keutamaan Syarifah yang berkaitan erat dengan pernikahan dan nasab, ada sebagian ulama yang kemudian menyebutnya dengan istilah Kufu’ atau Kafã’ah. Misalnya saja, apakah perempuan miliarder boleh dinikahkan dengan seorang tukang ojek? Apakah perempuan lulusan S3 boleh dinikahi oleh seorang pria tamatan SMP? Dan sebagainya. Dari masalah kufu’ ini para ulama kemudian memiliki perbedaan pendapat mengenai apakah kufu’ merupakan syarat sah perkawinan, apakah kufu’ menjadi suatu keharusan atau tidak.

Ulama yang Tidak Setuju

Ulama yang tidak setuju dengan keutamaan Syarifah di antaranya adalah Syeikh Sufyan Ats Saury, Syeikh Al-Hasan Al-Bishry serta salah satu ulama madzhab Hanafi yaitu Syeikh Al-Karakhy. Dalil yang digunakan ialah semua hamba Allah SWT adalah sama, baik itu mereka yang Arab dengan non Arab, kaya ataupun miskin, semua sama di mata Allah SWT.

Adapun yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Contoh lainnya, adalah pada pernikahan Bilal Bin Rabah RA dengan perempuan Anshar. Pernikahan ini sendiri merupakan perintah dari Rasulullah SAW. Jika kufu’ merupakan syarat sah nikah ataupun standar kesepadanan, tentu Rasulullah SAW kemudian tidak akan menyuruhnya.

Ulama yang Setuju

Para imam 4 Madzhab yakni Al-Hanafi, Al-Maliki, As-Syafi’i dan Al-Hambali kemudian mengatakan bahwa kufu’ memang bukan syarat sah pernikahan. Artinya, pernikahan tetap sah tanpa adanya kufu’. Mereka kemudian memasukkan kufu’ pada syarat luzum, artinya pernikahan bisa dituntut fasakh oleh walinya jika seorang suami di kemudian hari dinilai cacat akibat tidak kufu’. Para imam madzhab ini juga mengatakan bahwa tujuan dari kufu’ adalah untuk menjaga kelanggengan, kemaslahatan, serta kebahagiaan hubungan rumah tangga suami istri.

Beberapa alasan lainnya adalah hadits Aisyah RA yang berisi tentang anjuran bagi para wali untuk menikahkan anak perempuannya dengan pria yang sepadan. Dilakukannya hal ini agar kelak bisa mendapatkan keturunan yang baik.

Terdapat pula hadits Abi Hatim Al-Muzanny RA mengenai perintah bagi wali untuk menikahkan anak perempuannya dengan pria yang baik agama serta akhlaknya. Dan para imam madzhab ini juga beralasan bahwa kufu’ merupakan hal yang sangat rasional serta wajar ada dalam pernikahan.

Para ulama yang setuju dengan adanya kufu’ ini kemudian hanya membatasi untuk perempuan saja. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa tidak ada masalahnya apabila istrinya lebih rendah darinya, misalnya saja dari aspek strata sosial. Selain itu, bisa juga misalnya seorang suami bekerja sebagai direktur perusahaan dan istrinya hanya ibu rumah tangga saja.

Di antara imam 4 madzhab, hanya imam Malik saja yang kemudian tidak memasukan nasab ke dalam aspek kufu’. Sementara itu, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali memasukkan nasab ke dalam suatu aspek kufu.

Keistimewaan Ahlul Bait

Keutamaan Syarifah ini juga terkait dengan keturunan Rasulullah SAW yang kemudian disebut sebagai Ahlul Bait. Keturunan beliau sudah selayaknya mendapat penghormatan serta rasa cinta seperti yang beliau terima.

Sebagaimana anjuran dari Abu Bakar Ash-Shiddiq yang kemudian mengatakan: “Cintailah Muhammad melalui cinta kepada para keturunannya (Ahlul Bait).”

Di dalam Islam, Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan seorang muslim untuk hormat dan cinta kepada Ahlul Bait. Perintah tentang Ahlul Bait ini dijelaskan juga sebagai salah satu dari dua hal yang mesti dipegang teguh oleh para umat Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga kepada kalian. Yang pertama ialah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku.” (HR Muslim)

Meski dalam riwayat Hakim disebutkan ‘Yang kedua adalah sunnahku’, tetapi riwayat Imam Muslim ini kemudian diakui oleh semua ulama karena lebih kuat dalam periwayatannya. Bahkan, dalam Al-Quran juga terdapat perintah untuk mencintai Ahlul Bait pada surat Asy-Syura ayat 23

قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ ۞

Qul lā as’alukum ‘alaihi ajran illal-mawaddata fil-qurbā

Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tak meminta upah kepada kalian kecuali rasa cinta kepada kerabatku,

Dalam tafsir, disebutkan bahwa yang dimaksud kerabat ialah Ahlul Bait. Hal ini karena merupakan perintah langsung dari Allah SWT, tentunya ayat ini kemudian harus diketahui oleh para kaum muslim. Pada dasarnya, ayat-ayat Al-Quran yang kemudian menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum adalah dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam pernikahan Syarifah.

Namun, terdapat keistimewaan lain yang dimiliki Ahlul Bait dan menjadi keutamaan Syarifah. Sebab, Ahlul Bait secara kodrati serta fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah serta keturunan dengan manusia pilihan Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Hubungan biologis ini merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkal serta tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Selain itu, hal Ini juga diperkuat dengan adanya keterangan dari Allah SWT dalam Al-Quran pada surat Al-Ahzab ayat 33:

…. ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ ۞

… Innamā yurīdullāhu liyuż-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum taṭ-hīrā.

“Sesungguhnya Allah SWT telah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai ahlu al-bait serta membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya.”

Meski ada keutamaan Syarifah sebagai Ahlul Bait, tetapi Rasulullah SAW juga tetap memberi dorongan kepada mereka agar memperbesar ketaqwaan kepada Allah SWT. Janganlah sampai hanya mengandalkan hubungannya dengan beliau.

Hal ini karena hubungan mulia yang tidak disertai dengan amal saleh, maka tidak akan membawa mereka kepada martabat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Pernikahan Syarif dan Syarifah

Titik temu Islam serta budaya lokal nusantara kemudian menjelaskan bahwa syarif dan syarifah adalah sebutan gelar yang diperoleh melalui garis ayah. Dikarenakan syarif serta syarifah merupakan garis keturunan langsung Rasulullah, maka kemudian mereka harus mempertahankan nasab ataupun garis keturunan tersebut.

Anak dari syarif yang menikahi perempuan non-sayyid kemudian tetap dapat menyandang gelar syarif ataupun syarifah. Namun, sebaliknya, anak dari syarifah yang menikahi laki-laki non-sayyid kemudian tidak berhak menggunakan gelar syarif atau syarifah.

Dikutip dari jurnal Hukum Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Sayyid oleh Nurul Fatah, pernikahan di antara sesama gelar syarif ini disebut juga dengan sistem patrilineal. Sistem ini juga bertujuan untuk melestarikan serta menentukan nasab seseorang. Dengan sistem inilah yang kemudian menuntut para wanita syarifah untuk menikah dengan orang-orang yang se-kufu’ atau sepadan dengan mereka.

Jika terjadi pernikahan Syarifah dengan non-sayyid, maka risikonya adalah terputusnya keturunan Rasulullah. Lalu, wanita ini dianggap telah melanggar apa yang telah ditetapkan Rasulullah dalam hadistnya.

Dikutip dari Jurnal Pernikahan Syarif dengan Laki-Laki Non-sayyid karya Muhammad Zainuddin, ketetapan ini kemudian dibahas dalam hadits dari Siti Fatimah Az Zahra. Ketika Umar Bin Khattab meminang putrinya, Umar ra berkata, yaitu “Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Semua sebab serta nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali sebab ku serta nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya, akan bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah, akulah ayah mereka serta kepadaku mereka bernasab. Kemudian, Umar berkata: Aku ialah sahabat beliau, setara dengan hidup bersama Ummu Kultsum aku ingin memperoleh hubungan sebab serta nasab dengan beliau (Rasulullah).” (HR. Al-Baihaqi dan Imam Thabrani)

Meski demikian, para ulama salaf kemudian menjelaskan bahwa wanita syarifah tetap sah menikah dengan laki-laki non-sayyid jika walinya menyetujui dan memberikan ridhonya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asyari ra, Rasulullah SAW yang bersabda, “Tidak ada pernikahan yang dianggap sah kecuali kepada pernikahan yang dihadiri oleh walinya.” (HR. Ibnu Majah)

Fatwa Ulama Hadramaut tentang Menikahkan Syarifah dengan Non-Sayyid

Mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba’alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara Syarifah dan non-Sayyid.

Telah beredar adat istiadat di Hadramaut, bahwa seorang Syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali oleh Sayyid. Adat ini dinilai relevan dan sesuai dengan tuntunan syariat yang berlaku.

Pasalnya, ketika kita mengkaji ilmu Fiqh Munakahat, kita akan mendapati sunnah yang menghimbau adanya kesetaraan (kafa’ah) antara kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab.

Mayoritas ulama seperti Syafi’iyah dan Hanabilah beranggapan bahwa kafa’ah adalah sunnah dalam pernikahan. Sedangkan menurut Hanafiyyah, kafa’ah adalah perkara yang wajib. Bagi mereka, kafa’ah ­atau kesetaraan dilihat dari segi agama, nasab dll. Beda halnya dengan Malikiyah yang berpendapat bahwa kafa’ah (kesetaraan) cukup ditinjau dari agama saja, tanpa harus memandang kepada perkara-perkara lain.

Dengan demikian, maka tak heran bila ulama Hadramaut begitu memelihara kafa’ah nasab. Lebih-lebih lagi mereka yang bernasab melantas kepada Rasulullah Saw, yang kerap dikenal sebagai ahlu bait Rasulullah Saw dan dijuluki Sayyid/Syarif (untuk laki-laki) dan Sayyidah/Syarifah (untuk perempuan).

Ahlu bait merupakan golongan orang-orang yang mendiami kedudukan eksotis di sisi Rasulullah Saw. Allah swt telah membenahi dan mensucikan hati mereka dari segala dosa dan kotoran hati. Rasulullah Saw mengintruksikan segenap umat-Nya untuk berkelakuan mengikuti jejak dan manhaj para ahlu bait, yang notabenenya adalah keturunan dari Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah Saw.

Mesti kita ketahui, kekangan ini hanya berlaku kepada Syarifah yang kepingin menikah dengan non-Sayyid. Namun, bila seorang Sayyid hendak menikahi non-Syarifah, maka kekangan ini akan terlepas dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah).

Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah menukil perkataan Imam Suyhuti dalam kitabnya,

يَتْبَعُ الْفَرْعُ فِي انْتِسَابِ أَبَاهُ  وَالْأُمُّ فِي الرِّقِّ وَالْحُرِّيَّةِ

“Keturunan itu akan mengikuti nasab ayahnya, dan akan ikut kepada ibu ketika ibunya berstatus isteri dan hamba sahaya (meski ayahnya merdeka) atau merdeka (meski ayahnya hamba sahaya).”

Ulama Hadramaut menetapkan fatwa ketidakabsahan pernikahan antara Syarifah dengan non-Sayyid, yang demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah Saw agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat.

Dalam kitab Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan,

لَا يَجُوْزُ لِشَرِيْفِ تَزْوِيْجَ بِنْتِهِ عَلَى غَيْرِ شَرِيْفٍ، فَإِنْ كَانَتْ بَالِغَةً وَرَضِيَتْ جَازَ لَهُ، فَالْكَفَاءَةُ حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ، وَتَكُوْنُ بِذَلِكَ مَسَقَّطَةٌ لِكَفَاءَتِهَا .

“Tidak boleh bagi seorang Syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (Syarifah) dengan selain Syarif, namun andaikata ia (Syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa’ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan.”

Selepas memafhumi ketidakabsahan pernikahan ini, maka seorang hakim pun tak berwenang untuk menikahkan Syarifah dengan non-Sayyid ketika sang wali perempuan tiada.

Imam Jamaluddin kembali menegaskan dalam kitabnya, jika hal itu (pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid) berlangsung, maka ulama berkewajiban mencegah dan memisahkan mereka, tak boleh hanya berdiam diri, sebab itu akan melambangkan keridhaannya terhadap perzinaan.

Rasulullah Saw bersabda,

لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ إِلَّا إِلَى الْأَكُفَّاءِ. (رواه الطبراني) وَفِيْ رِوَايَةٍ: أَلَا لَا تَزَوَّجِ النِّسَاءَ إِلَّا الْأَوْلِيَآءَ، وَلَا يُزَوِّجْنَ مِنْ غَيْرِ الْأَكُفَّاءِ .

“Janganlah kalian mengawinkan perempuan kecuali dengan orang yang sekufu (setara).” (HR. Thabrani). Dalam riwayat lain: “Tidaklah menikahkan seorang perempuan kecuali walinya, dan janganlah menikahkan mereka dengan orang yang tidak sekufu.”

Berdasarkan konteks hadits, menerangkan bahwa kafa’ah (kesetaraan) dalam pernikahan merupakan anjuran Nabi Muhammad Saw. Oleh karenya, Imam Syafi’i, Ahmad, Sufyan, dan Abu Hanifah mencantumkan hukum kafa’ah dalam madzhabnya masing-masing. Kendati demikian, kafa’ah tidak termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan.

Ibnu Hajar Al-Haitami pakar ulama fikih ternama madzhab Syafi’i berkata,

وَهِيَ مُعْتَبَرَةٌ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ مُطْلَقًا بَلْ حَيْثُ لَا رِضَاهَا مِنَ الْمَرْأَةِ وَحَدِّهَا… إلخ.

“Dan (kafa’ah) dalam sebuah pernikahan tidak menjadi syarat sah nikah secara mutlak. Akan tetapi akan berubah sebagai syarat ketika sang perempuan tidak ridha (ketika tidak adanya kafa’ah). . . .”

Di dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin, Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Husein Al-Masyur menyebutkan,

فَلَا أَرَى جَوَازَ النِّكَاحِ وَإِنْ رَضِيَتْ وَرَضِيَ وَلِيُّهَا، لِأَنَّ هَذَا النَّسَبَ الشَّرِيْفَ الصَّحِيْحَ لَا يُسَامَى وَلَا يُرَامَ، وَلِكُلِّ مِنْ بَنِيَّ الزَّهْرَاءِ فِيْهِ حَقُّ قَرِيْبِهِمْ وَبَعِيْدِهِمْ، وَأَنَّى بِجَمْعِهِمْ وَرِضَاهُمْ .

“Saya tidak melihat kebolehan mengenai pernikahan (antara Syarifah dengan non-Syarif) meski dirinya (Syarifah) dan sang wali ridha atas perihal tersebut, karena kemuliaan nasab tidak  boleh dicemari dan dikotori, dan setiap kerabat dekat atau pun jauh memiliki hak atas keturunan (Fatimah) Az-Zahra, yaitu adalah keridhaan terhadap apa yang ia (Syarifah) lakukan.”

Sayyid Abdurrahman menuturkan kisah yang pernah berlaku di kota Mekkah, yaitu menikahnya non-Sayyid dengan Syarifah. Topik ini menjadi kontroversi dan tak luput dari kepedulian ulama Saadah Ba’alawi, yang condong tidak setuju. Sontak, mereka mengerahkan segala usaha dan upaya agar melepaskannya dari ikatan pernikahan.

Alhasil, mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba’alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara Syarifah dan non-Sayyid. Meski begitu, syariat tetap melegalkannya ketika dilambari keridhaan dari Syarifah sendiri atau pun walinya, Namun para Salafussalih lebih memilih ketidakabsahan karena alasan tertentu.

Sebetulnya Ulama Hadramaut bermufakat meniadakan keabsahan pernikahan antara Syarifah dengan non-Sayyid, bukan dari aspek syar’i (jika keduanya memadati kriteria kafa’ah), namun dari aspek ahlak dan adab demi menjaga keabadian nasab.

Akan halnya bila pernikahan terlanjur berlaku atas dasar keridhaan dari pihak wanita (Syarifah) dan walinya, maka kaidahnya berganti mubah, namun selaiknya menghindari persoalan tersebut, sebab tidak disukai oleh Saadah Ba’alawi. Wallahu A’lam bis Showab. . .

Referensi:

  • Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhisi Fatawa Ba’du Aimmah Al-Mutaakhirin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur.
  • Fatawa Tahummul Mar’ah wa Yaliihi Majmuatul Masail Yaktsuru Sualu Anha, karya Sayyid Abdullah bin Mahfudzh Al-Haddad.
  • Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami.
  • Umdatul Mufti wal Mustafti, karya Sayyid Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Hasan bin Abdul Baari Al-Ahdal.
  • Zaadul Labib Syarh Matn Ghoyah wa at-Taqriib, karya Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba’atiyah.

_________________

Source: Gramedia Blog dan Sanad Media

About admin

Check Also

Sudahkah Engkau Berdzikir?

Oleh: H. Derajat* بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ ...