بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Perintah shalat diturunkan pada peristiwa Isra Mi’raj. Menurut Habib Abdullah al-Haddad ada dua hakikat shalat yaitu hakikat lahir dan hakikat batin. Shalat seseorang tidak dianggap sempurna melainkan memanifestasikan kedua hakikat ini sekaligus.
Dalam kitabnya yang berjudul an-Nashaih ad-Diniyah wal-Washaya al-Imaniyah karya Habib Abdullah al-Haddad menyebutkan hakikat shalat lahir adalah membaca ruku, sujud, dan yang semisal dengan itu dari tugas-tugas shalat yang lahir.
Adapun hakikat shalat batin adalah kekhusyukannya, hadir hati, ketulus-ikhlasan yang sempurna, meneliti dan memahami makna-makna bacaannya, tasbih dan yang semisal dengan itu dari tugas-tugas shalat yang batin.
Tugas shalat lahir dilakukan oleh bagian badan dan anggota tubuh. Adapun shalat batin adalah tugas dari hati dan rahasia batinnya. Hati dan rahasia batinnya inilah yang menjadi perhatian Allah SWT pada setiap hambanya.
Imam al-Ghazali berkata; ”Perumpamaan orang yang mendirikan shalat secara hakikat lahir saja dan mengabaikan hakikat shalat batinnya, ibarat seseorang yang menghadiahkan seorang putri yang sudah mati dan tidak bernyawa lagi. Dan perumpamaan orang yang lalai dalam mendirikan hakikat shalatnya yang lahir, ibarat menghadiahkan seorang putri yang putus kakinya dan buta matanya kepada seorang raja. Kedua orang ini akan dimurkai oleh raja, karena disebabkan oleh hadiahnya. Mereka akan disiksa dan dianiaya oleh raja, karena menghina kedudukan raja dan mengabaikan haknya.”
Selanjutnya Imam al-Ghazali mengatakan; ”Perumpamaan itu sama dengan Anda menghadiahkan shalat kepada Tuhan. Waspadalah! Jangan anda menghadiahkan shalat anda dengan sifat-sifat itu, sehingga anda patut menerima siksaan Allah SWT.”
Dalam pendapat lain, Imam al-Muhasibi mengingatkan kita semua dalam kitabnya Risalatul Mustarsyidin, beliau mengatakan; ”dirikanlah shalat di hadapan Allah SWT dengan seluruhnya.”
Pendapat Imam al-Muhasibi ini kemudian ditafsirkan Abdul Fattah Abu Guddah bahwa mendirikan shalat seluruhnya adalah, jika seseorang mendirikan shalat dengan seluruh jiwa ragamu yang terdiri dari jiwa, hati dan akal, seraya menyempurnakan bentuk dan adab dalam shalat, maka makna inilah yang dimaksud dari mendirikan shalat.
Abdul Fattah Abu Guddah menyebutkan dalam komentarnya atas pendapat al-Muhasibi di atas dengan berkata; “Mendirikan shalat maknanya adalah melaksanakan secara sempurna rukun-rukun dan syarat-syarat yang lahir dan batin.”
Oleh: Nurul Huda
Source: Sufinews.Com