Home / Agama / Kajian / Tentang Ayat Kursi, Surat al-Ikhlas dan Surat Yâsîn

Tentang Ayat Kursi, Surat al-Ikhlas dan Surat Yâsîn

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku terkasih, ketiga ayat dan surat yang menjadi judul pada artikel ini adalah ayat dan surat dalam al-Qur’an yang sangat familiar diamalkan dalam kehidupan muslim.

Berikut adalah Teks Surat al-Baqarah ayat 255 yang dijuluki dengan sebutan “Ayat Kursi”.

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ

Allâhu lâ ilâha illâ huwal hayyul qayyûm, lâ ta’khudzuhû sinatuw walâ naûm, lahû mâ fis-samâwâti wa mâ fil-ardh, man dzal-ladzî yasyfa’u ‘indahû illâ bi-idznih, ya’lamu mâ bayna aidîhim wa mâ khalfahum wa lâ yuhîthûna bisyai’im min ‘ilmihî illâ bimâ syâ’, wasi’a kursiyyuhus samâwâti wal-ardha wa lâ ya’ûduhû hifdzuhumâ wa huwal ‘aliyyul ‘adzhîm

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255).

Apakah anda berpandangan bahwa Ayat Kursi itu bukan sebagai ayat yang dinamakan “Pemuka Ayat al-Qur’an”?

Apabila anda tidak mampu menyimpulkan dengan renungan anda, maka anda perlu kembali pada pembagian yang telah kami sebutkan, serta struktur yang telah kami sistematisasi.

Kami sebutkan, bahwa ma’rifat kepada Allah SWT serta terhadap Dzat dan sifat-sifat-Nya merupakan tujuan utama dari ‘Ulumul Qur‘an (Ilmu-ilmu al-Qur’an). Seluruh bagian yang lain dimaksudkan sebagai pendukung terhadap maksud utama tersebut.

Maksud tersebut dikehendaki bagi diri-Nya, bukan untuk selain-Nya. Maksud tersebut pulalah yang diikuti, sedangkan yang lainnya sebagai pengikutnya, yaitu pemuka nama yang diarahkan sebagai titik pandang yang diikuti, sebagai sentral utama.

Ayat Kursi sendiri hanya mengandung sebutan Dzat, Sifat-sifat dan Afal-Nya. Tidak ada sebutan Iainnya.

Firman-Nya pada lafadz: “Allah“. Merupakan petunjuk pada Dzat.

Firman-Nya: “Tiada Tuhan selain Dia”. Merupakan petunjuk pada tauhid Dzat Allah.

Firman-Nya: “Yang Maha Hidup dan Berdiri sendiri”. Merupakan isyarat atas Sifat, Dzat dan Keagungan-Nya. Makna “al-Qayyum” sendiri adalah Yang Berdiri dengan sendiri-Nya, dan dengan-Nyalah makhluk-makhluk lain berdiri. Tegak berdiri-Nya sama sekali tidak bergantung pada sesuatu, sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Yang demikian itu merupakan pangkal dan Kemaha-Agungan.

Firman-Nya: “Tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur”. Merupakan pembersihan dan penyucian terhadap diri-Nya, dan Segala hal yang mustahil, seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk (hawadits), sekaligus penyucian dari kemustahilan salah satu bagian ma’rifat.

Firman-Nya: “Milik-Nya apa yang ada di Iangit dan apa yang ada di bumi”. Menunjukkan bahwa seluruh alam raya dan semuanya bersumber dari Allah SWT, dan kepada Allah-lah semuanya kembali.”

Firman-Nya: “Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?”. Menunjukkan kesendirian-Nya dalam kekuasaan, hukum dan perintah. Siapa saja yang memiliki syafa’at, pada hakikatnya ia memiliki sesuatu atas kemuliaan-Nya dan izin terhadap orang tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya penolakan adanya teman dalam kekuasaan dan perintah.

Firman-Nya: “Allah mengetahui apa-apa di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah”. Merupakan isyarat pada sifat al-‘Ilmu dan keutamaan sebagian hal-hal yang diketahui, serta kesendirian-Nya dengan sifat al-‘Ilmu. Sehingga tidak ada ilmu selain Dia, dan Dzat-Nya. Andaikata ada ilmu dari selain Dia, maka hal itu merupakan karunia dan pemberian-Nya, menurut kadar kehendak-Nya.

Firman-Nya: “Luas Kursi Allah meliputi langit dan bumi”. Menunjukkan pada keagungan kerajaan-Nya dan keparipurnaan kekuasaan-Nya. Di dalam al-Kursiy itu terdapat rahasia yang tidak mungkin tersingkap. Sebab, pengetahuan terhadap al-Kursiy dan sifat-sifatnya, serta luasnya langit dan bumi, merupakan pengetahuan mulia yang sangat dalam, yang berkembang secara berantai dengan ilmu-ilmu yang sangat luas.

Firman-Nya: “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya”. Merupakan petunjuk pada sifat-sifat Qudrat (Kuasa) dan keparipurnaan kekuasaan-Nya. Bahkan menyucikan dari sifat lemah dan kurang.

Firman-Nya: “Dan Dia Maha Luhur lagi Maha Agung”. Menunjukkan pada dua sifat yang mendasar: Luhur dan Agung. Penjelasan mengenai dua sifat ini memakan waktu yang panjang. Kami telah menguraikan penjelasannya dalam kitab al-Maqshadul Asnâ fî Syarh Asmâil Husnâ. Anda perlu mencari penjelasan tersebut di sana.

Sekarang, jika Anda renungkan sejumlah makna di sini, kemudian anda membaca seluruh ayat al-Qur’an, anda tidak akan pernah menemukan makna-makna seperti itu yang mengandung nilai tauhid, penyucian dan penjelasan sifat-sifat luhur yang ada dalam satu ayat. OIeh sebab itu, Nabi Muhammad Saw. bersabda,

سَيِّدَةُ آيِ الْقُرْآنِ هِيَ آيَةُ الْكُرْسِيِّ

Ayat Kursi merupakan Pemuka Ayat Al-Qur’an.” (HR. Tirmidzi).

Dalam ayat: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.” (Q.s. Ali-Imran: 18), hanya mengandung dimensi tauhid saja. Sedangkan dalam ayat: “Katakanlah, ‘Dia adalah Allah Yang Esa”, hanya mengandung tauhid dan penyucian. Dan dalam ayat: “Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan’ …“ (Q.s. Ali-Imran: 26), tidak lebih dari sifat af’al dan kesempurnaan kekuasaan.

Sedangkan Surat al-Fatihah merupakan rumus sifat-sifat tersebut, tanpa penjelasan, yang justru dijelaskan dalam Ayat Kursi. Begitu pula ayat-ayat yang mendekati ayat di atas dalam seluruh maknanya, seperti pada akhir Surat al-Hasyr dan awal Surat al-Hadid, yang mengandung asma dan sifat-sifat Allah. Tetapi terdiri beberapa ayat, bukan satu ayat. Sedang Ayat Kursi hanyalah satu ayat.

Apabila anda bandingkan dengan salah satu ayat-ayat tersebut, anda akan menemukan Ayat Kursi sebagai kumpulan maksud ayat-ayat tersebut. Karena itu, ia (Ayat Kursi) berhak disebut sebagai Pemuka Ayat.

Sabda Rasul SAW:

سَيِّدَةُ آيِ الْقُرْآنِ هِيَ آيَةُ الْكُرْسِيِّ

Ayat Kursi merupakan Pemuka Ayat Al-Qur’an.” (HR. Tirmidzi).

Bagaimana tidak, di dalam ayat tersebut ada sifat al-Hayyu (Yang Maha Hidup) dan al-Qayyum (Yang Maha Jaga), merupakan nama yang agung, mengandung rahasia yang dahsyat. Dalam hadits juga dijelaskan bahwa Ismul A‘dzham (Asma Allah Yang Agung) ada dalam Ayat Kursi, dan awal Surat Ali Imran, serta firman-Nya:

وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ

Dan tunduklah semua muka kepada Yang Maha Hidup, lagi senantiasa tegak berdiri (dengan sendiri-Nya).” (QS. Thaha: 111).

Mengapa Surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur’an?

Dalam sabda Rasulullah SAW:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةََ رَضِيََ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي :قُلْ هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ: إِنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Di dalam “qul huwallâhu ahad” (Surat al-Ikhlâsh) sebanding dengan sepertiga al-Qur’an.” (HR. Malik, Bukhari-Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Mungkin saja anda kurang memahami hadits tersebut. Lantas muncul pernyataan: Hadits tersebut sebagai motivasi dalam membaca, bukan berarti sebagai ukuran, meskipun yang dimaksudkan (hadits) tersebut sebagai derajat Nubuwwah (Kenabian). Atau mungkin Anda mempersoalkan: Perspektif bahwa surat tersebut sama dengan sepertiga Al-Qur’an dalam muatannya. Sungguh, merupakan pemahaman dan penafsiran yang jauh. Padahal ayat-ayat al-Qur’an lebih dan 6000 ayat. Lalu dengan ukuran apa yang dimaksud dengan sepertiganya?

Pandangan seperti itu, disebabkan kurangnya pengetahuan anda, atau karena pandangan anda hanya bertumpu pada lahiriahnya belaka. Kemudian anda menduga bahwa kriteria tersebut menjadi banyak dan besar menurut panjang-pendeknya surat. Seperti pandangan orang yang membandingkan tingginya nilai dirham yang banyak bila dibandingkan dengan hanya sebentuk permata, karena terpancang pada kuantitasnya belaka.

Perlu diketahui, bahwa sebandingnya Surat al-Ikhlash dengan sepertiga al-Qur’an, harus anda kembalikan pada tiga pembagian al-Qur’an yang kami sebutkan dalam “Muhimmatul Qur‘an” (ayat-ayat utama Al-Qur’an) yang mengandung tiga hal: Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat kepada Akhirat dan ma’rifat kepada Shirathal Mustaqim. Ketiga ma’rifat tersebut digolongkan sebagai sentral prioritas, sedangkan yang lainnya sekadar pendukung.

Surat al-Ikhlash sendiri mengandung salah satu dari tiga unsur tersebut. Yakni ma’rifat kepada Allah SWT, pentauhidan dan penyucian dari segala kemusyrikan apakah itu bersifat jenis maupun bentuk. Itulah yang dimaksudkan dengan peniadaan sifat-sifat asal, furu’ (cabang) dan kufli’ (kecukupan) selain Allah.

Predikat ash-Shamad (tempat bergantung) berarti tidak ada tujuan dalam wujud bagi segala kebutuhan kecuali bergantung kepada Allah SWT. Memang, dalam Surat al-Ikhlas tidak disebutkan soal Akhirat dan Shirathal Mustaqim. Namun, sebagaimana kami sebutkan bahwa dasar-dasar utama al-Qur’an itu adalah ma’rifat kepada Allah, Akhirat dan Shirathal Mustaqim. Oleh sebab itu, al-Ikhlas jelas sebanding dengan sepertiga al-Qur’an, yakni sepertiga dari dasar-dasar al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

اَلْحَجُّ هُوَ عَرَفَةٌ

Haji itu adalah (wukuf) di ‘Arafah.” (HR. Ahmad, Ashhabus Sunan, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Daruquthni dan Baihaqi).

Pengertian Arafah dalam konteks ini merupakan dasar haji, sedang yang lainnya merupakan pendukung (ibadat) haji (tawabi’).

Surat Yasin Merupakan Qalbu al-Qur’an

Barangkali Anda sangat berhasrat untuk mengetahui makna dan Hadits Rasul SAW:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا وَقَلْبَ الْقُرْآنِ يس وَمَنْ قَرَأَ يس كَتَبَ اللّٰهُ لَهُ بِقِرَاءَتِهَا قِرَاءَ ةَ الْقُرْآنِ عَشْرَ مَرَّاتٍ

“Sesungguhnya setiap sesuatu itu ada jantung hatinya, sedangkan jantung hati Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barangsiapa membaca surat yasin, maka Allah menetapkan baginya seperti membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (HR. At Turmudzi/2812 dan Albayhaqi/2359 dari Anas bin Malik, Ad Darimi/3479)

Saya berharap anda terlebih dahulu merenungkannya, kemudian meng-qiyaskan dengan hal-hal yang mengingatkan anda dalam berbagai contoh. Barangkali anda berkenan pada arah yang sebenarnya. Karena motivasi (semangat) yang muncul dari jiwa anda, lebih agung daripada semangat dan kecintaan yang muncul dari orang lain. Menggugah diri akan menambah motivasi lebih dari sekadar peringatan.

Saya berharap jika anda tergugah oleh satu rahasia, berarti motivasi anda terpanggil. Sementara semangat kebangkitan pemikiran anda mulai konsisten, dengan suatu harapan agar mampu membuka tirai sekaligus berpijak pada rahasia tersebut. Dengan kenyataan seperti itu, akan dibukakan bagi anda hakikat-hakikat ayat yang merupakan substansi al-Qur’an, sebagaimana yang akan kami kodifikasikan sebagai bahan renungan, agar lebih mudah menyimpulkan rahasia-rahasia di dalamnya.

Takhshish (Pengkhususan) Rasulullah SAW; Ayat Kursiy sebagai Raja Ayat dan Surat al-Fatihah sebagai Surat yang Paling Utama.

Mengapa Ayat Kursi diistimewakan dan diprioritaskan sebagai Raja Ayat, sementara Surat Al-Fatihah sebagai surat paling utama? Apakah ada rahasia di dalamnya atau sekadar ittifaq (kesepakatan) ulama saja? Ataukah sebagaimana dalam ungkapan tentang pujian yang ditujukan kepada seseorang dengan suatu ungkapan dan pujian yang serupa dengan ungkapan lain?

Saya katakan, tidaklah demikian. Persepsi demikian hanya layak bagi saya, bagi anda dan bagi orang yang berbicara dengan selera nafsu saja, namun bukan bagi orang yang berkata melalui wahyu yang diwahyukan kepadanya. Anda jangan sekali-kali menyangka bahwa satu kalimat saja yang keluar dari Rasulullah SAW dalam berbagai kondisi yang berbeda-beda baik dalam keadaan emosi maupun ridha, melainkan sebagai suatu kebenaran dan kejujuran.

Rahasia di balik prioritas istimewa di sini, bahwa keseluruhan antara berbagai macam keutamaan, dikatakan sebagai “yang utama” (fâdhil), sedangkan kumpulan berbagai ragam yang lebih banyak, dikatakan sebagai “yang lebih utama” (afdhal). Sementara fadhîlah (keutamaan) itu sendiri merupakan tambahan nilai karunia. Tentu saja, yang dikatakan lebih afdhal berarti yang lebih tinggi nilainya. Sementara istilah “as-Su’dâd” merupakan ibarat dari kedalaman makna kemuliaan yang secara lazim menjadi sentral yang diikuti, bukannya mengikuti yang lain.

Manakala anda merujuk makna yang kami sebutkan dalam Surat al-Fatihah dan Ayat Kursi, maka anda akan tahu bahwa Surat Al-Fatihah mengandung makna yang banyak dan sekaligus beragam. Maka Surat Al-Fatihah dikategorikan sebagai surat yang paling utama.

Sementara Ayat Kursi yang mengandung makna Ma’rifat Agung, adalah sentral yang diikuti dan menjadi tujuan utamanya, yang diikuti oleh seluruh pengetahuan ma’rifat. Karena itu, nama “Raja” bagi ayat ini sangatlah layak.

Oleh sebab itu, anda perlu berpegang teguh bahwa ada struktur dalam pembagian al-Qur’an dan ada hal-hal atau aturan yang harus anda lakukan dalam membacanya, hal ini dimaksudkan supaya lebih memahami secara mendalam maksud kandungannya.

Anda melihat berbagai keajaiban ayat-ayat Al-Qur’an dan Anda akan dilapangkan dalam surga kema’rifatan. Yaitu surga yang tiada hingga batasnya. Karena ma’rifat terhadap Kemaha-Agungan dan Af’al Allah adalah ma’rifat tiada taranya.

Surga itu sendiri sebenarnya dicipta dari fisik, yakni, walaupun cakrawalanya sangatlah luas, selalu saja masih terhingga. Karena tidak mungkin ciptaan-Nya yang bersifat fisik itu tanpa hingga, dan pastilah mustahil. Karena itu, Anda jangan sekali-kali menggantikan kedudukan nilai yang lebih rendah sebagai pengganti nilai yang lebih baik. Bisa jadi anda tergolong orang-orang yang tolol, walaupun anda tergolong ahli surga.

Rasulullah SAW bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَكْثَرَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْبُلْهُ

Mayoritas ahli surga itu adalah orang-orang tolol [tolol dalam hal duniawinya, namun paham dalam agama dan ukhrawinya]. Sedangkan surga ‘Illiyyun (yang sangat tinggi) hanya bagi orang-orang yang memiliki kedalaman hati.” (HR. Baihaqi, Al-Barraz dan Ad-Dailami).

Saudaraku terkasih, demikianlah pengkajian Ayat Kursi, Surat al-Fatihah dan Surat Yasin. Perbandingan ketiganya dimaksudkan untuk mengeksplorasi makna terdalamnya, bukan untuk menakar kemuliaan masing-masing ayat. Semua yang kami sajikan dalam artikel ini adalah didasarkan pada sabda Rasulullah SAW. Semoga Allah SWT memberikan kepada kita untuk bisa mengkaji dan mengamalkan ketiga ayat dan surat tersebut, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Source: Sufinews.Com

About admin

Check Also

Menakar Ulang Sya’ban sebagai Bulan Turunnya Ayat Shalawat

“Ayat shalawat, dimana terdapat perintah bershalawat kepada Nabi SAW (QS. Al-Ahzab [33]: 56), apakah turun ...