“Gerhana matahari adalah tanda masuknya fase bulan baru, bukan tanda awal bulan baru pada kalender Hijriah”.
Oleh: Muchamad Zaid Wahyudi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Tanda awal bulan (month) dalam kalender Hijriah adalah terlihatnya hilal, bukan terjadinya gerhana matahari, karena gerhana matahari adalah tanda masuknya fase bulan (moon) baru. Untuk penentuan awal bulan Hijriah, umat Islam memiliki cara dan kriteria tersendiri meski hingga kini belum ada kriteria tunggal yang disepakati bersama.
Gerhana matahari adalah konjungsi atau kesegarisan antara matahari, bulan, dan bumi yang teramati. Meski konjungsi menjadi tanda masuknya fase bulan (moon) baru, tidak otomatis menjadi tanda datangnya bulan (month) baru dalam kalender Islam. Di antara banyak sistem penanggalan bulan, kalender Islam adalah satu-satunya kalender yang bersifat astronomi atau berbasis pengamatan.
Konjungsi atau ijtimak yang menjadi tanda dimulainya fase bulan baru untuk Syawwal atau bulan kesepuluh dalam kalender Islam, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, terjadi pada Kamis, 20 April 2023 atau bertepatan dengan 29 Ramadhan 1444 Hijriah pukul 11.12.25 WIB. Konjungsi ini berlangsung sekitar empat menit sebelum puncak gerhana matahari hibrida 20 April 2023 yang terjadi di selatan peraian Timor Leste pukul 13.16.45 WIT.
Tidak soal terlihat atau tidak terlihatnya, yang penting posisi geometris itu telah terpenuhi.
”Tanda awal bulan dalam kalender Hijriah itu hilal, bukan gerhana matahari,” kata peneliti kalender dan dosen Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan Institut Teknologi Sumatera, Moedji Raharto, Rabu (19/4/2023). Definisi hilal yang saat ini banyak digunakan adalah bulan sabit pertama yang teramati setelah matahari terbenam pasca-terjadinya konjungsi. Dalam kasus akhir Ramadhan 1444 H, tanda awal bulan adalah terlihatnya hilal Syawwal.
Gerhana matahari adalah fenomena toposentrik atau di permukaan bumi yang bisa terjadi di sekitar waktu konjungsi, baik sebelum atau sesudahnya. Sementara hilal adalah fenomena geosentrik atau diukur dari inti benda langit yang masing-masing memiliki ukuran tersendiri. Akibatnya, saat dilihat dari permukaan bumi saat matahari terbenam, bulan akan memiliki tinggi dan elongasi tertentu.
Meski konjungsi matahari, bulan, dan bumi menandai awal bulan baru kalender Hijriah, tidak setiap bulan terjadi gerhana matahari. Kondisi itu, menurut Pelaksana Tugas Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial, dan Tanda Waktu BMKG Muzli dalam seminar Jembatan Budaya Sains dalam rangka Festival Gerhana Matahari Total di Biak, terjadi akibat bidang edar bulan mengelilingi bumi tidak berimpitan dengan bidang orbit bumi memutari matahari.
Bidang edar bulan itu miring 5 derajat terhadap bidang orbit bumi. Akibatnya, seperti disampaikan Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional Thomas Djamaluddin dalam kesempatan terpisah, gerhana matahari saat konjungsi hanya akan terjadi jika lintang ekliptika bulan 0-1 derajat. ”Jika lintang ekliptika bulan saat ijtimak mencapai 1-5 derajat, ijtimak tidak akan teramati atau tidak terjadi gerhana matahari,” katanya.
Awal bulan
Dalam penanggalan berbasis bulan lainnya, seperti kalender China, hari terjadinya ijtimak ditetapkan sebagai hari pertama dalam bulan baru pada kalender mereka. Model penetapan awal bulan ini disebut sebagai model matematis atau berbasis pada perhitungan (hisab) atau hisãb haqîqiy yaitu hisab berdasarkan kondisi nyata benda-benda langit. Selain sederhana, model ini juga memastikan bulan purnama akan tepat terjadi di tengah bulan.
Namun, metode itu tidak digunakan dalam penentuan awal bulan kalender Islam yang sering dianggap sebagai satu-satunya kalender bulan berbasis astronomi atau pengamatan. Untuk masuk dalam bulan baru kalender Hijriah, setelah terjadinya konjungsi, ada sejumlah kriteria yang harus dipatuhi. Namun, hingga kini belum ada kriteria tunggal awal bulan Hijriah yang dipakai organisasi massa atau negara-negara Islam sehingga perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha masih sering terjadi.
Di Indonesia, saat ini setidaknya ada dua kriteria besar yang digunakan, yaitu kriteria wujûdul hilãl atau terbentuk hilal yang dipedomani Muhammadiyah dan kriteria Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) baru yang digunakan Kementerian Agama, Nahdlatul Ulama, dan sejumlah ormas Islam lain. Di luar dua kriteria itu, masih banyak kriteria lain yang digunakan kelompok-kelompok kecil umat Islam Indonesia.
Kriteria wujûdul hilãl digunakan dengan menggunakan hisãb haqîqiy. Cara perhitungan ini membedakannya dengan sistem hisab lain, seperti hisãb ‘urfiy yang ditentukan berdasarkan waktu rata-rata bulan mengelilingi bumi.
Contoh hisãb ‘urfiy itu digunakan dalam kalender Jawa yang mematok bulan ganjil memiliki 30 hari dan bulan genap 29 hari sehingga bulan Pasa atau setara Ramadhan dalam kalender Islam selalu memiliki panjang 30 hari.
Dalam kriteria wujûdul hilãl , awal bulan baru terjadi jika ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, bulan terbenam setelah matahari terbenam, dan hilal sudah di atas ufuk saat matahari terbenam.
Dari syarat itu, maka dengan menggunakan data BMKG dan lokasi acuan Jakarta Pusat, maka saat matahari terbenam pada Kamis (20/4/2023), bulan terbenam 9 menit 24 detik setelah matahari tenggelam dan tinggi bulan mencapai 1 derajat 41,53 menit di atas ufuk. Artinya, dengan kriteria wujûdul hilãl, 1 Syawal 1444 H akan jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
Video ilustrasi 3D terjadinya ijtimak:
Dalam kriteria wujûdul hilãl, tidak perlu melakukan pengamatan untuk memastikan terlihatnya hilal, cukup perhitungan saja. ”Tidak soal terlihat atau tidak terlihatnya, yang penting posisi geometris itu telah terpenuhi,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar dalam konferensi pers Maklumat PP Muhammadiyah tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah 1444 H, 6 Maret 2023.
Sementara dalam kriteria MABIMS baru yang disusun berdasarkan hisab imkãnnur rukyat atau kemungkinan terlihatnya hilal menyebut hilal bisa diamati jika tingginya mencapai 3 derajat dan elongasi atau jarak sudut 6,4 derajat. Untuk saat ini, elongasi yang digunakan di Indonesia adalah elongasi geosentrik atau diukur dari pusat bumi, sedangkan di tiga negara MABIMS lain masih memakai elongasi toposentrik atau diukur dari permukaan bumi.
Berdasarkan kriteria MABIMS baru itu dan sesuai dengan kalender yang disusun pemerintah serta digunakan berbagai ormas Islam, Idul Fitri kemungkinan akan jatuh pada Sabtu, 22 April 2023. Itu terjadi karena pada Kamis petang, tinggi hilal di seluruh Indonesia mencapai 0,35-2,36 derajat dan elongasi antara 1,48-3,06 derajat sehingga hilal tidak memenuhi kriteria MABIMS baru.
Kalaupun pada pengamatan hilal pada Kamis petang nanti ada kesaksian melihat hilal, sesuai kebiasaan umum akan ditolak dalam sidang itsbat yang akan digelar Kementerian Agama. Berdasarkan pengalaman dan bukti astronomis yang ada, posisi hilal di bawah kriteria MABIMS baru tidak bisa dilihat. Karena itu, jika ada laporan, kemungkinan besar adalah salah melihat atau salah mempersepsikan benda langit lain sebagai hilal.
”Sejatinya kesaksian itu tidak ditolak, tetapi diterima walau tidak diberlakukan umum. Mereka yang memberikan kesaksian melihat hilal di bawah kriteria MABIMS baru dianggap sebagai hadîdul bashar atau orang dengan kemampuan luar biasa. Namun, penentuan hukum harusnya disandarkan pada kemampuan rata-rata manusia,” kata pendiri Observatorium dan Planetarium Imah Noong Lembang yang juga anggota Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (NU), Hendro Setyanto.
Arab Saudi
Meski Arab Saudi belum secara resmi mengumumkan Idul Fitrinya, dikutip dari akun Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Arab Saudi, mereka kemungkinan akan ber-Idul Fitri pada Jumat (21/4/2023), seperti yang termaktub dalam kalender mereka. Walau Muhammadiyah dan Arab Saudi kemungkinan akan ber-Idul Fitri bersamaan, tetapi alasan mereka berbeda.
”Kesamaan itu terjadi bukan karena Muhammadiyah ikut Arab Saudi atau Arab Saudi memiliki kriteria awal bulan yang sama dengan Muhammadiyah. Penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia, baik yang dilakukan pemerintah, Muhammadiyah, atau NU, tidak memiliki kaitan sama sekali dengan keputusan Arab Saudi,” tambah Hendro.
Data BMKG menunjukkan, konjungsi awal Syawal 1444 H di Mekkah, Arab Saudi, terjadi Kamis pukul 07.12 waktu setempat. Waktu di Arab Saudi lebih lambat empat jam dibandingkan WIB. Akibatnya, saat matahari terbenam di Mekkah pada Kamis petang, ketinggian hilal sudah mencapai 4,47 derajat dan elongasi hilal mencapai 5,13 derajat.
”Meski lebih tinggi dari posisi hilal di Indonesia, sesuai kriteria MABIMS baru dan kriteria Odeh, hilal di Mekkah juga belum bisa diamati,” tambah Djamaluddin.
Arab Saudi tidak menggunakan kriteria MABIMS baru atau kriteria Odeh dalam penyusunan kalender maupun rukyat awal bulan Hijriahnya. Kriteria Odeh tentang ketampakan hilal ini banyak diacu oleh astronom Muslim global dalam menentukan kemungkinan teramatinya hilal.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kriteria Odeh, silahkan klik paper pdf dengan judul: “Ketajaman mata dalam kriteria visibilitas hilal”.
Selama ini, lanjut Hendro, kalender Arab Saudi menggunakan kriteria yang mirip wujûdul hilãl, yaitu asal bulan sudah di atas ufuk dan bulan terbenam setelah matahari. Namun, untuk kepentingan sejumlah ibadah wajib atau penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, mereka menggunakan rukyat atau pengamatan hilal.
Sering kali pula ada kesaksian ketertampakan hilal di Arab Saudi meski ilmuwannya menilai potensi ketertampakan hilal itu kecil atau tidak mungkin. Namun, saat Pemerintah Arab Saudi sudah menetapkan awal bulan Hijriahnya, ilmuwan tersebut akan tetap mengikuti keputusan pemerintahnya.
”Inilah yang membedakan Arab Saudi dan Indonesia dalam penentuan awal bulan Hijriah. Positifnya, situasi itu membuat masyarakat tenang dan tidak beradu argumentasi dan tidak saling menyalahkan sehingga nyaman bagi semua,” katanya. Terlebih, banyak pihak yang berdebat di media sosial tanpa memiliki pemahaman yang benar tentang sistem kalender Islam.
Hendro pun berharap agar umat Islam Indonesia bisa menyikapi perbedaan penentuan awal bulan Hijriah secara dewasa. Perbedaan yang terjadi dalam penentuan Idul Fitri saat ini sejatinya adalah sebuah kepastian karena adanya perbedaan kriteria awal bulan Hijriah yang digunakan.
Setiap pihak sama-sama menuntut untuk dihormati dan ditoleransi pilihannya. Karena itu, perlu diambil langkah bijaksana untuk mengatasi perbedaan Idul Fitri yang sesuai kaidah hukum fikih dan bisa diterima secara sosial. Karena sejatinya, perbedaan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang selama ini terjadi bukan soal hisab dan rukyat seperti yang digaungkan awam, melainkan karena belum adanya kriteria tunggal penentuan awal bulan Hijriah yang diterima semua kalangan.
Untuk memahami lebih mendalam bagaimana Pemerintah Arab Saudi menentukan kalender Hijriyah melalui lembaga Umm Al-Qura’, berikut kami sajikan sebuah paper yang ditulis oleh Nur Aris dari STAIN Kudus yang pernah dimuat dalam Jurnal Al-Ahkam Vol. 1, No. 1, tahun 2016, Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta:
___________
Source: Kompas.id (dengan penyuntingan di beberapa paragraf tanpa mengurangi bobot artikel).