بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Tafsir memegang peran penting dalam sejarah peradaban Islam. la merupakan salah satu cabang ilmu penting dalam pemahaman ajaran Islam. Jika penyebaran Islam diduga sudah mulai menyentuh wilayah Nusantara sejak abad 13, kenyataan di atas cukup memprihatinkan.
Hal demikian akan menimbulkan sebab yang tidak menguntungkan bagi sejarah intelektualitas umat Islam di Indonesia. Padahal dalam sejarahnya, dinamika intelektualisme Muslim sebelum abad ke-19 memiliki intensitas yang cukup tinggi.
Tarjumân Al-Mustafîd diasumsikan kuat sebagai kitab tafsir pertama di Nusantara yang lengkap menafsirkan 30 juz Al-Qur’an. Penulis tafsir ini merupakan seorang ulama besar Aceh bernama Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fanshuri al-Singkili.
Kitab tafsir Tarjumân Al-Mustafîd tersebar luas di kepulauan Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara seperti Afrika Selatan. Tafsir ini berkali-kali pula telah berhasil dicetak di Singapura, Penang, Jakarta, Bombay, dan Timur-Tengah.
Fakta ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat pada saat itu yang tertarik mengaji tafsir Melayu. Salah satu penyebabnya tidak lain karena bahasa Melayu merupakan lingua franca (bahasa pengantar) khususnya di wilayah Asia Tenggara. Maka, wajar bila tafsir ini diminati hingga beberapa abad lamanya.
Tafsir Tarjumân Al-Mustafîd diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1675 M, atau sewaktu Syaikh Abdurrauf masih menjabat sebagai seorang qâdhî (hakim) di kerajaan Aceh. Selaku ahli hukum Islam, ia memiliki wewenang untuk mengatur beberapa urusan yang melingkupi pernikahan, perceraian dan hal lain yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam.
Jabatan hakim sebenarnya tidak hanya berorientasi agamis, tetapi juga politis, sebab ia merupakan penasihat raja (sultan). Hal ini sebab kebijakan-kebijakan yang sultan ambil merupakan bagian dari hasil pemikirannya.
Apalagi Syaikh Abdurrauf menduduki jabatannya ketika kerajaan Aceh dipimpin oleh empat orang sultanah berturut-turut, Taj al-‘Alam Safiyyat al-Dîn, Nûr al-‘Alam Nakiyyat al-Dîn Syah, ‘Inayat Syah Zakiyyat al-Dîn Syah, dan Kamalat Syah.
Di sisi lain, Syaikh Abdurrauf sedang dalam atmosfer kemelut teologis-sufistik, sebagian ada dalam kubu sufistik sedangkan yang lain mengajarkan syari’ah.
Para qâdhî pendahulunya, yakni Hamzah Fanshuri (w. 1600 M), Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630 H), bahkan Saif al-Rijal (w. 1661 M), berupaya menanamkan dan menyebarluaskan ajaran wujudiyah, sebagaimana yang dianut oleh al-Hallâj (w. 922 M). Sedangkan qâdhî Nuruddin al-Raniri (w. 1658 M) menentang dengan keras praktik tersebut, bahkan sampai menghukum sesat dan menghalalkan darah kelompok tersebut.
Biografi Singkat Abdurrauf Singkel
Syaikh Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili merupakan seorang Melayu dari Fansur, Singkil (Singkel) di wilayah pantai Barat Laut, Aceh. Berdasarkan tempat kelahirannya yakni di Singkel, namanya dinisbatkan pada desa tersebut menjadi Abdurrauf al-Singkili. Ada juga yang menisbatkan nama beliau dari ayahnya dan dari tempat kelahiran ayahnya yakni al-Fansuri, al-Jawi dan al-Ashi.
Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjimi justru menyebut nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Sumatera Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab.
Syaikh Ali, ayah Abdurrauf, diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan seorang wanita pribumi. Mereka pun akhirnya tinggal di Singkel. Dalam hal tahun kelahiran dari Abdurrauf Singkel juga belum diketahui secara pasti, Harun Nasution menyebut bahwa ia lahir sekitar tahun 1001 H/ 1593 M.
Ia berasal dari keluarga religius, ayahya Syaikh Ali al-Fanshuri merupakan ulama yang terkenal. Syaikh Ali juga berperan dalam membangun dan memimpin dayah (sebuah institusi seperti pondok pesantren di Pulau Jawa) Simpang Kanan di pedalaman Singkel.
Pendapat lain dari kesarjanaan barat, seperti D.A. Rinkes, Anthony H. Johns, dan Peter Riddel. Menurut Rinkes misalnya, Abdurrauf diperkirakan lahir pada tahun 1024 H. atau 1615 M.
Rinkes menyatakan hal ini setelah ia melakukan kalkulasi berdasarkan waktu kembalinya Abdurrauf dari Timur Tengah ke Aceh, 1661 M. Johns sependapat dengan Rinkes tentang tahun kelahiran ‘Abdurrauf, ia juga menyebutkan tahun wafat Abdurrauf yakni pada 1693 M.
Karakteristik Tafsir Tarjuman al-Mustafid
Pembahasan tentang karakteristik sebuah tafsir, menurut Yunan Yusuf, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak tafsir. Pada metode penafsiran, telaah ditekankan pada penggalian mengenai cara seorang mufasir memberikan tafsirnya; apakah ia menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan hadits, dengan riwayat sahabat, dan dengan kisah-kisah israiliyat atau dengan ra’yu (pendapat personal).
Pada teknik penafsiran diarahkan pada prosedur penafsiran, apakah penafsiran mengikuti pola tafshili seperti mushafi, analitis atau ijmâli (global), atau maudhû’i (tematis). Sedang pada corak penafsiran, pemeriksaan yang dimaksud untuk melihat corak pemikiran teologi yang mempengaruhi mufassir, dilakukan dengan melihat penafsirannya pada ayat-ayat yang tergolong mutasyâbihât.
Dari segi metode dan teknik penafsiran, Syaikh Abdurrauf tampaknya hanya menerjemahkan secara harfiah ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak ada usahanya untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang diterjemahkan dengan memakai ayat-ayat lain yang memiliki makna yang sama dan tidak juga dengan memakai hadits Nabi, riwayat sahabat, apalagi dengan kisah israiliyyat.
Ada tiga variabel lain yang secara rutin disertakan dalam tafsir ini di luar penjelasan terjemah harfiah. Pertama, keterangan tentang asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya) ayat. Jika memang ada, biasanya dimasukkan dalam bagian “kata mufassir” atau “kisah”. Untuk surat al-Ikhlas istilah yang dipakai adalah “kata mufassir”.
Kedua, penjelasan tentang ragam bacaan (qirâah) yang biasanya dimasukkan dalam bagian “bayân” atau “fâidah”.
Penjelasan terakhir tentang guna atau manfaat atau fadhîlah ayat atau surat jika di baca. Bagian ini biasanya diletakkan pada pembuka surat, menyertai penjelasan mengenai status surat (Makkiyyah atau Madaniyyah).
Dapat diambil kesimpulan bahwa Syaikh Abdurrauf Singkel mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Terutama dalam bidang Tafsir Al-Qur’an dan Teologi melalui kitab Tarjumân Al-Mustafîd. Dalam konteks ini, ia merupakan orang Nusantara pertama yang berhasil membukukan tafsir Al-Qur’an secara lengkap hingga 30 juz.
Referensi:
Azra, A. ( 1999). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Azra, A. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.
Yusuf, Y. ( 1992). “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Ahad ke-XX”. Dalam Ulum al-Qur’an, Vol. 01. No 4.
Source: Iqra.Id