Home / Downloads / Telaah Kitab Nahwu Sufistik; Talkhîshul ‘Ibârah Fî Nahwi Ahli Al-Isyârah

Telaah Kitab Nahwu Sufistik; Talkhîshul ‘Ibârah Fî Nahwi Ahli Al-Isyârah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Ilmu nahwu itu sesuatu dan ilmu tasawuf itu sesuatu yang lain. Kedua ilmu itu bersifat independen. Tapi bagaimana jika keduanya digabungkan di dalam satu wadah, disajikan dalam satu kitab?

Pembahasan nahwu dalam kajian tasawuf atau nahwu sufi memang bukan suatu yang baru. Kajian ini sudah dimulai sejak zaman dahulu oleh seorang ulama, bernama Imam Abdul Karim bin Hawzan bin Abdul Malik bin Thalhah Al-Qusyairi dengan kitabnya, Nahwu Qulub

Akan tetapi kajian nahwu dalam konteks tasawuf—sejauh pandangan saya—belum semasyhur kajian nahwu pada umumnya yang mempelajari nahwu dari sisi aslinya, yaitu gramatikal bahasa Arab.

Tampak berbeda sekali, nahwu dalam konteks gramatikal bahasa Arab memang menjadi modal utama bagi seorang pelajar. Tapi seperti kata pepatah “sambil menyelam minum air”, kajian ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya sebab dengan mempelajarinya kita bisa dapat dua sudut pandang sekaligus, yaitu nahwu menurut pakar tata bahasa (ahli ibarah atau an-Nuhah) dan nahwu menurut ulama tasawuf (ahli isyarah atau ash-Shufi).

Kitab Talkhîsul ‘Ibârah Fi Nahwi Ahli Al-Isyârah ini adalah kitab ringkas (sesuai namanya, talkhis) yang membahas nahwu dari dua aspek tersebut. Sang penulis, Imam Izzuddin bin Abdissalam Al-Maqdisi menjelaskan “Ibârah” dalam nahwu secara ringkas dan dasar-dasarnya, lalu menjelaskan nahwu dalam pandangan orang-orang ahli Isyarah, yaitu para sufi.

Sebab itu di setiap bab dalam kitab ini, kita akan selalu menemukan dua kaidah:

1. Kaidah Ahli Ibarah sebagaimana pada lazimnya, yang berimplementasi pada taqwimul lisan: kesahihan atau kemantapan secara lisan atau tulisan.

2. Kaidah Ahli Isyarah yang berimplementasi pada tahshilul janan, yaitu kemantapan hati atau sampainya hati pada kepada Tuhan.

Kitab ini disusun dengan sistematika penulisan kitab-kitab nahwu pada umumnya. Di buka dengan bab Kalam wa Aqsamuhu (Kalam dan pembagiaannya), lalu diteruskan dengan ism wasytiqoquhu, isim wa aqsaamuhu, fiil wa aqssamuhu, dan seterusnya sampai ditutup dengan Bab nudbah.

Sang pengarang menulis kitab ini dengan mengikuti kaidah madrasah Ahli Kufah, sebab memiliki salah dua ciri, yaitu menggunakan kalimat khafdh bukan jar dan menggunakan fi’il hal bukan fi’il mudhari’.

Baik, mari kita ulas sedikit isi kitab sebagai gambaran betapa manis dan indahnya kajian nahwu dalam sudut pandang tasawuf.

Kita ambil bab i’rab (perubahan akhir kalimat). Dalam tata bahasa Arab (ahli ibarah),  ada empat tanda perubahan akhir kalimat (i’rab) ; rafa’, nashab, khafd, dan jazm. Begitu juga dalam perspektif ahli isyarah, bahwa gerak (harakat) seorang yang mendekatkan diri kepada Allah juga memiliki empat tanda yang sama.

1. Rafa’, bagi seorang sufi adalah tingginya himmah seseorang untuk mendekat dan beribadah hanya kepada dan karena-Nya.

2. Nashab adalah tergelar atau kesiapan badan untuk taat kepada-Nya.

3. Khafdz adalah menundukkan diri dan hati seseorang kepada-Nya.

4. Jazm adalah menguci rapat-rapat hati seorang hamba dari selain-Nya.

Sampai akhir kitab, akan terus menemukan sistematika seperti ini. Dibuka dengan kaidah nahwu ahli ibarah, lalu mengalir dan tenggelam dalam pembahasan nahwu ahli isyarah. Dan sesekali selain kita dihadirkan pembahasan tentang tauhid sebagai bagian puncak dari taqwimul lisan dan tahshilul janan.

Di luar dari isi kitab, yang membuat saya jatuh cinta adalah pentahqiqnya. Pentahqiq memang bisa siapa saja, tapi kitab yang ada dihadapan kita ini ditahqiq oleh ulama Maroko bernama Syeikh Dr. Khalid Zahri. Teman-teman saya menjuluki beliau sebagai “perpustakaan berjalan”.

Saat saya belajar ke beliau dan membaca kitab ini di hadapan beliau, kesan saya rasakan, beliau bukan hanya maktabah berjalan, tapi juga bahr la sâhila lahu alias laut tak bertepi, juga seorang guru yang rendah hati, dan pengasih kepada para pelajar.

Penutup. Setelah mempelajari kitab ini, saya menarik dua benang kesimpulan. Satu, jika lisan fasih dalam berbicara secara kaidah, hati pun harus juga dijaga dan fasih secara qoidah menjaga hati sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli isyarah.

Hal di atas dapat diraih dengan benang yang kedua. Salah satunya, jika fasih lisan adalah dengan menjaga dan menjalankan kaidah-kaidah nahwu dan saraf dalam lisan atau tulisan, maka fasih yang kedua adalah menjaga lisan dan hati dari perkataan dan sesuatu yang keji dan menghiasinya dengan hal-hal yang indah.

Wallâhu Ta’âlâ A’lamu bish-Shawâb

Oleh: Khoirul Ibad
Source: Sanad Media

Berikut Kitab Talkhîshul ‘Ibârah Fî Nahwi Ahli Al-Isyârah yang ditulis oleh Syeikh Izzuddin bin Abdissalam bin Ahmad bin Ghanim bin Ali Al-Maqdisi Asy-Syafi’i (W. 678 H), Pentahqiq: Dr. Khalid Zahri, Penerbit: Dar Kutub Al-Ilmiah (DKI), Tebal: 44 halaman.

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...