بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, alhamdulillah, semakin hari semakin bahagia menikmati tetesan hidayah Allah SWT melalui Kalam Nya, walau kita membaca mungkin hanya satu ayat, tetapi setiap kita membaca dan kita ulang-ulang (repetion) atau kita replikasi kan, kita akan menemukan value baru dan inspirasi baru dari ayat-ayat Allah SWT tersebut.
Sebagaimana hadits riwayat Abdullah Ibnu Mas‘ud:
عَنْ عَبْدَ اللّٰهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ، يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللّٰهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُوْلُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Kata ‘Abdullah ibn Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).
Demikianlah al-Qur’an, satu huruf saja memiliki satu kebaikan dengan pelipat-gandaan (tadh’if) sampai dengan sepuluh kali lipat, bahkan dalam riwayat lain sampai tujuh ratus dan tak terbatas. Artinya setiap huruf memiliki kebaikan, baik itu pahala akhirat maupun inspirasi kehidupan yang menjadi jalan hidayah bagi manusia.
Disini kita akan merasakan betapa bahagianya diri kita selalu dekat dengan al-Qur’an. Mudah-mudahan insan profetis semua merasakan itu sebagaimana penulis rasakan.
Hari ini kita akan membahas surat al-Baqarah ayat 32;
قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Mereka (para malaikat) menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32)
Ayat ini menginspirasi banyak hal yang dapat dipahami. Diantaranya:
Yang pertama, Tidak ada Ilmu Tanpa Allah SWT Ajarkan
Dalam prespektif Islam, tidak pernah dikenal dikotomi ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum. Andaikan ada klasifikasi tersebut itu hanya klasifikasi dalam bidang kajian saja (objek material). Akan tetapi jika dilihat dari awal pengetahuan, maka kesimpulannya adalah Allah SWT.
Semua ilmu berasal dari Allah SWT, Dialah yang menurunkan al-Qur’an sebagai dasar ilmu pengetahuan yang qauliyah (tekstual), dan Dialah yang menciptakan alam semesta serta menetapkan hukum alam (Sunnah kauniyah) dan menjadi dasar ilmu-ilmu ‘alamiyah (kealaman), tajribiyah (eksperimental), maupun tadribiyah (ketrampilan hidup).
Sehingga tidak ada sekularisasi dan dikotomi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu pengetahuan hakikatnya dari Allah SWT.
Program dikotomisasi dan sekularisasi ilmu pengetahuan, hakikatnya agenda untuk menjauhkan kekuasaan Allah SWT, serta melepaskan nilai ketuhanan dari ilmu pengetahuan. Sehingga saat ini yang muncul adalah ilmu yang bebas nilai (value free), yang seharusnya ilmu tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman (value Bond).
Ilmu pengetahuan yang profetis hendaknya menjadikan Allah SWT sebagai pencipta segala pengetahuan, karena itu adalah bentuk tasbihnya seorang hamba yang memang tidak memiliki pengetahuan apapun, kecuali setelah Allah SWT karuniakan.
Sehingga tasbih para malaikat itu adalah hakikat Allah SWT sebagai pemberi ilmu, pengajar ilmu dan pencipta ilmu itu sendiri.
Allah SWT Maha Suci, suci dari segala tuduhan bahwa Dia hanya Tuhan yang disembah pada ruang ritual-ritual ibadah mahdhah saja, tetapi Dia adalah Tuhan yang menguasai segala ilmu pengetahuan, sehingga siapapun yang belajar ilmu Allah SWT maka dia sedang bertasbih dan berzikir kepada Nya.
Tasbih malaikat itu juga harus dilakukan malaikat, sebagai pengakuan kesucian Allah SWT dari segala tuduhan bahwa Allah SWT tidak memiliki kuasa akan alam semesta dan manusia, bahwa alam dan manusia murni berjalan dengan hukumnya. Tuduhan ini adalah sangat buruk, karena Allah SWT menyatakan, sehelai daun yang gugurpun tak lepas dari ilmu Allah SWT.
Allah SWT berfirman: ”dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)“. Teks lengkap ayat tersebut antara lain:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (QS. Al-An’aam: 59).
Kata “Dia mengetahuinya” adalah dalil yang menunjukkan bahwa semua berada pada kuasa ilmu Allah SWT. Tuduhan kaum muktazilah (rasionalis ekstrim) bahwa semua makhluk memiliki kehendak mutlak, Tuhan tidak ada peran sedikitpun, menjadi motivasi yang salah bagi semua manusia, karena mereka selalu mengatakan kesuksesan ada di tangan mereka. Hakikatnya, perlu pelurusan nilai tauhid di dalamnya sehingga kesombongan demi kesombongan dalam ruang akademik semakin tercerahkan.
Sehingga segala ilmu pengetahuan adalah hasil pengajaran ilahi, baik dengan wahyunya jika kepada manusia, insting kepada hewan, hukum alam kepada alam semesta, sehingga seluruh makhluk di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah SWT, karena pengakuan kuasa Allah SWT tersebut.
Yang kedua, Allah Al-‘Alîm dan Al-Hakîm
Dua sifat Allah SWT ini adalah sifat yang menunjukan sumber dan hasil dari ilmu pengetahuan.
Al-‘Alîm artinya Maha Mengetahui, sehingga dapat dipahami bahwa Allah SWT mengetahui atas segala sesuatu yang terjadi di seluruh alam semesta ini. Baik perbuatan yang bisa dilihat oleh mata ataupun yang hanya ada dalam hati dan pikiran manusia.
Sedangkan al-Hakîm adalah Maha Bijaksana. Al-Hakîm artinya Maha Bijaksana, sangat tepat dalam mengukur dan sangat baik dalam mengatur. Allah bersih dari segala perbuatan yang tidak sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya.
Sebagai salah satu dari al-Asmâ al-Husnâ, al-Hakîm menunjukkan bahwa Allah SWT mengetahui setiap tujuan makhluknya, maka perilaku dan perbuatannya terhadap mereka akan berselaras dengan pengetahuan itu.
Oleh sebab itu, sifat al-Hakîm selalu beriringan dengan al-‘Alîm. Al-‘Alîm sebagai sumber atau metode, sedangkan hasilnya adalah al-Hakîm.
Berbeda dengan al-Hakîm dan al-‘Alîm sebagai Nama Allah SWT, maka ‘âlim adalah orang yang berilmu dan hâkim adalah orang yang dipenuhi hikmah. Proses pematangan ‘âlim adalah menjadi hâkim, sehingga akhir dari pengetahuan adalah hikmah atau kebijaksanaan. Seorang yang berilmu masih menjadi ‘âlim saja belum menjadi hâkim, maka ilmunya masih berada dalam ruang akalnya, belum masuk ke dalam hatinya, sehingga menjadikan dirinya bijaksana.
Ada pepatah menyebutkan; “padi semakin tua semakin merunduk”, bahwa semakin banyak ilmu semakin tawadhu, khusyu’. Ini adalah sifat kebijaksanaan, tidak banyak bicara, tetapi setiap kata dan ungkapannya penuh makna, sehingga menabur hikmah kepada orang lain.
Oleh sebab itu, hikmah adalah puncak pengetahuan manusia, ketika manusia mampu mengambil hikmah dalam setiap kajian ilmunya. Mampu mengambil nilai yang akan menerangi kehidupannya di dunia maupun di akhirat.
Dalam perspektif filsafat, ilmu ini adalah tataran berfikir aksiologis, ketika seseorang sudah mampu menjawab hakikat dan manfaat dari setiap pengetahuannya. Atau juga disebut berfikir filosofis yaitu berfikir untuk menemukan hakikat kebenaran dari sesuatu.
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah mengapa manusia sama berfikir akan ilmu, tetapi berbeda hasilnya? Ada yang mengenal Tuhannya dan ada yang semakin jauh. Jawabannya adalah berangkat dari sumber belajar dan metode belajarnya. Jika sumber dan metode yang dipakai bukan berdasar nilai iman, tentu akan semakin jauh dari Allah, tetapi sebaliknya jika sumber dan metodenya benar maka Allah SWT semakin dekat.
Insan profetis adalah mereka yang selalu bertasbih dalam berpengetahuan, karena mengakui mereka hanyalah manusia yang mendapatkan keberuntungan dikaruniai ilmu oleh Allah SWT yang teramat sedikit, dan Allah Maha Mengilmui dan Maha bijaksana.
Insan profetis tidak berhenti menjadi seorang ‘âlim atau ilmuwan, mereka akan terus naik level menjadi hâkim atau ahli hikmah, yang mampu mengambil nilai dalam setiap pengetahuannya dan mengantarkan dirinya menjadi bijaksana dan menikmati kedekatan dengan Allah S.W.T.
Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I.