“Sesungguhnya Ulama adalah Pewaris Para Nabi”
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Dalam kalamnya, Mursyid kami, Abah Guru Sekumpul, menyatakan bahwa ulama adalah pewaris Nabi. Sebagai pewaris Nabi, tentunya kita masih bertanya-tanya, siapa sih ulama yang dimaksudkan dalam hadits itu?
إِنَّ الْعُلُمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَآءِ، إِنَّ اْلأَنْبِيَآءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ « رواه الترمذي »
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi)
Mursyid kami yang mulia menghubungkan hadits tersebut dengan dengan Surah Ãli ‘Imrãn ayat 18:
شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًاۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ۞
Syahidallãhu annahû lã ilãha illã Huwa wal-malã’ikatu wa ûlul ‘ilmi qã’imam bil-qisth, lã ilãha illã Huwal ‘Azîzul Hakîm
“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang berilmu. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Sehingga apabila dicermati dari dakwah Abah Guru Sekumpul bahwa ulama pewaris Nabi itu adalah ulama yang telah menerima syahidallãhu atau pernyataan Allah Ta’ala bahwa tiada tuhan kecuali Dia.
Ulama tersebut sudah bisa melihat, mendengar, merasakan, menghirup dan menyentuh apapun adalah wasilah dari penyampaian Kenyataan Allah Ta’ala.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا بَقِيَّة بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي جُبَيْرُ بْنُ عَمْرُو الْقُرَشِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيْدِ الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِي يَحْيَى مَوْلَى آلِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ « شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًاۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ۞ » ، « وأَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ يَا رَبِّ »
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepadaku Jubair ibnu Amr Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Ansari, dari Abu Yahya Maula keluarga Az-Zubair ibnul ‘Awwam, dari Az-Zubair ibnul ‘Awwam yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi SAW di Arafah membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ali Imran: 18). Sesudah itu beliau SAW mengucapkan: “Dan aku termasuk salah seorang yang mempersaksikan hal tersebut, ya Tuhanku”.
Kesimpulan dari penjelasan ini bahwa Ulama Pewaris Nabi adalah ulama yang betul-betul telah bermusyahadah kepada Allah Ta’ala.
Adapun dalam memaknai kalimah Lã ilãha illã Huwa ataupun Lã ilãha illallãh dapat aku terangkan sebagai berikut:
Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lã ilãha illallãh adalah Lã ma‘bûda bihaqqin illallãh (tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah), bukan Lã ma‘bûda illallãh (tiada tuhan yang disembah selain Allah). Andai makna Lã ilãha illallãh adalah Lã ma‘bûda illallãh (tiada tuhan yang disembah selain Allah), niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yang disembah. Padahal, tuhan-tuhan itu semuanya batil kecuali Allah. Karena itu, perlu dipastikan bahwa makna Lã ilãha illallãh adalah tiada tuhan yang hak kecuali Allah. Tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia (Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).
Secara retorika, kalimat Lã ilãha illallãh disajikan dalam gaya bahasa qashr nafyi dan itsbãt. Artinya, gaya bahasa yang membatasi makna dengan cara menegasikan yang lain dan menetapkan salah satunya. Dinegasikan dengan kalimat Lã ilãha dan ditetapkan oleh kalimat illallãh. Itulah kalimat tauhid untuk mengesakan Allah. Jika yang dipakai hanya itsbãt (penetapan) maka maknanya tidak mencegah keterlibatan tuhan lain. Begitu pula jika yang dipakai adalah nafyi saja, maka yang terjadi ternafikan seluruhnya. Sehingga jika kita mengucapkan Lã ilãha (tiada tuhan), maka ternafikanlah seluruh tuhan termasuk Allah. Demikian pula jika kita mengucapkan allãhu ilãhun (Allah itu tuhan), maka kita belum bertauhid. Karena kalimat ini lemah dan tidak menegasikan keikutsertaan tuhan-tuhan yang lain (Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).
Oleh sebab itu, ketika kalimat penetapan ini dipakai, Al-Qur’an sendiri menguatkannya dengan sifat. Contohnya kalimat, “Wa ilãhukum ilãhun wãhid” (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa), (QS al-Baqarah [2]: 163). Sifatnya adalah “Yang Maha Esa”. Bahkan, kalimat itsbãt itu tak dibiarkan Al-Qur’an begitu saja. Lanjutan ayat tersebut ialah kalimat tauhid, “Lã ilãha illã huwar rahmãnurrahîm” (Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), (QS al-Baqarah [2]: 163).
Selain bermakna Lã ma‘bûda bihaqqin illallãh (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah), Lã ilãha illallãh juga bermakna Lã maujûda bihaqqin illallãh (Tiada maujud yang hak selain Allah) dan Lã masyhûda bihaqqin illallãh (Tiada yang disaksikan dengan hak selain Allah).
Makna Lã ma‘bûda bihaqqin illallãh ini juga ditegaskan Allah dalam surah al-Fãtihah. Iyyãka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah). Lagi-lagi gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa qashr. Bedanya, jika Lã ilãha illallãh dengan qashr nafyi dan itsbãt, sedangkan Iyyãka na‘budu dengan qashr taqdîm mã haqquhu al-ta’khîr (mendahulukan bagian kalimat yang biasa diakhirkan). Tanpa qashr, kalimat itu berbunyi, Na‘buduka (Kami menyembah Engkau). Namun, dalam gaya bahasa qashr, kalimat itu menjadi Iyyãka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah). Karena itu, siapa pun yang telah menyelami makna ini, tidak akan ada yang bisa menghalangi dirinya beribadah, tidak ada yang terpikir saat dirinya beribadah kecuali Allah.
Kemudian Lã maujûda bihaqqin illallãh maksudnya tiada yang maujud—bermakna wujud—dengan hak kecuali Allah. Segala wujud yang terlihat bukan wujud yang hakiki. Wujudnya bumi misalnya. Ia diwujudkan oleh Allah. Selain itu, wujud bumi juga terbatas dan fana. Begitu pula wujud-wujud yang lain. Semuanya wujud karena ada yang mewujudkan. Tetaplah wujud yang hakiki dimiliki oleh Allah, Dzat Yang Maha Wujud, Azali, Qadim, dan Kekal.
Kemudian Lã masyhûda bihaqqin illallãh maksudnya tidak ada yang disaksikan dengan hak kecuali Allah. Apapun yang dilihat dan disaksikannya semata karena wujud dan kebesaran-Nya. Tidak ada yang disaksikan semata rencana, kehendak, kekuasaan, dan hikmah-Nya. Tidak ada yang buruk di sisi-Nya. Sehingga manakala ada seseorang yang melihat perkara buruk oleh mata kepalanya, maka dengan pandangan mata hatinya (bashîrah) terlihat baik dan sejalan dengan hikmah yang hendak diberikan-Nya. Bahkan, seorang yang telah menyelami makna ini, tidak bisa melihat sesuatu di depannya kecuali Allah. Itu pula yang terjadi pada al-Hallaj yang pernah mengatakan, “Ana al-haqq”.
Para ulama tasawuf menyebut makna Lã ma‘bûda ini sebagai makna syariat, makna Lã maujûda sebagai makna tarekat, dan Lã masyhûda sebagai makna hakikat (lihat: Syekh Abu al-Hasan Nuruddin, al-Radd ‘ala al-Qã’ilin bi Wahdatil Wujud, [Damaskus: Darul Ma’mun], 1995, Cet. Pertama, hal. 20).
Turunan dari tiga makna di atas adalah Lã maqshûda bihaqqin illallãh (tiada yang dituju dengan hak selain Allah), Lã maqdûra bihaqqin illallãh (tiada yang dikuasakan dengan hak selain Allah), Lã mas’ûla bihaqqin illallãh (tiada yang diminta dengan hak selain Allah), Lã mahbûba bihaqqin illallãh (tiada yang dicintai dengan hak selain Allah), dan seterusnya.
Demikian yang dapat aku sampaikan untukmu wahai sahabatku. Apabila ada kesalahan dalam menafsir atau merenda penjelasan dari Mursyid kami yang mulia tersebut itu timbul dari kebodohan kami semata dan aku memohon maaf dan ampunan dari Allah SWT.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
_____________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita