“Bekerjalah sesuai fitrah kita sebagai manusia, maka Allah akan membahagiakan kita semua”.
Oleh: H. Derajat*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku yang dikasihi Allah, sesungguhnya Allah SWT melihat hati para hamba-Nya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللّٰهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكْم، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada keadaan badan-badan kalian, ataupun kepada wajah-wajah kalian. Melainkan Allah SWT melihat kepada hati-hati dan seluruh amalan kalian.” (HR. Imam Muslim).
Dengan begitu, walaupun seseorang berasal dari ras kulit putih ataupun hitam, sesungguhnya bukanlah hal itu yang menjadi tolak ukur kebaikan seseorang di sisi Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT melihat kepada isi di dalam hati kita. Apakah hati kita diselimuti oleh keimanan atau kekufuran. Apakah terisi dengan perbuatan ketaatan atau kemaksiatan. Sehingga segala macam penyakit hati tidak bisa menjangkiti, mulai dari kesyirikan, kebid’ahan, kesombongan, dan penyakit hati lainnya. Atau bahkan hati kita terpenuhi dan tertutupi oleh perkara-perkara yang dibenci oleh Allah SWT sehingga segala macam penyakit hati ada di dalamnya.
Mursyid kami yang agung, Syekh Ibnu ‘Athaillah Assakandari, telah menulis dalam kitab Al-Hikam Pasal 58 tentang ‘Kematian Hati’:
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافِقَاتِ، وَتَرْكُ النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ
“Di antara tanda-tanda kematian hati (adalah) tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi-kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (al-muwafiqati). Dan tidak meninggalkan penyesalan atas apa-apa yang telah engkau lakukan berupa ketergelinciran-ketergelinciran (perbuatan-perbuatan yang menyimpang).”
Syarah
Pasal ini banyak menyimpan rahasia yang penting. Tidak sekedar tentang sebuah kesedihan karena meninggalkan perbuatan baik atau menyesal karena berbuat dosa. Seperti halnya ada istilah Al-Muwafiqati, tidak sesederhana diartikan sebagai suatu kebaikan atau amal hasanah, namun terkait istilah teknis dalam suluk. Al-Muwafiqati adalah apa yang sesuai dengan diri kita, yakni fitrah.
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ۞ مُنِيْبِيْنَ اِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ ۞
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (30). (Hadapkanlah wajahmu) dalam keadaan kembali (bertobat) kepada-Nya. Bertakwalah kepada-Nya, laksanakanlah salat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (31).” (Q.S. Ar-Rûm [30]: 30-31)
Menghadapkan wajah kita kepada Agama Allah, itulah fitrah.
Beragama adalah sebuah fitrah. Manusia bisa mengerjakan semua hal, tapi tidak akan bahagia jika tidak menemukan pekerjaan yang sesuai fitrahnya. Karena seperti tertulis di Q.S. Ar-Rûm [30]: 30 itu, manusia didesain sesuai dengan fitrah. Dan menghadapkan wajah kepada Agama Allah adalah fitrah manusia. Seiring hilangnya hijab dan dosa, maka seseorang akan otomatis mencari sebuah orientasi, senantiasa mencari jalan ke hal yang menjadi fitrahnya.
Fitrah manusia, menurut Ibnu Arabi, adalah kecenderungan manusia untuk mencari imam, mencari seorang penuntun, panutan, waliyyan murysidã (lihat Q.S. [18]: 17), sesuatu yang menuntun dirinya ke hadirat Allah Ta’ala. Sebuah simbol, tendensi, untuk mencari hal yang lebih tinggi.
Setiap manusia memiliki fitrahnya. Tidak ada bayi yang lahir kemudian menjadi gay atau lesbi, itu adalah sebuah contoh penyimpangan. Setiap bayi terlahir fitrah, yaitu insan yang menghadapkan wajahnya kepada Agama Allah. Setiap bayi adalah seorang pencari Tuhan. Semua manusia, di mana pun—jika disentuh oleh hal yang ilahiah, akan runtuh hatinya.
Di antara tanda-tanda kematian hati (qalb), adalah tidak adanya kesedihan atas apa-apa yang meninggalkanmu berupa (kondisi/amalan-amalan) yang sesuai (dengan jiwamu).
Kalau orang yang hatinya mati, ia tak akan menjadi sedih dengan kehilangan kekhusyu’an dalam shalat. Tidak menjadi sedih dengan hilangnya kesabaran, kepemurahan, kejujuran dan semua penghias hati.
Adapun orang yang hidup hatinya akan sedih dengan kehilangan kekhusyu’an dalam shalat, kehilangan kemampuan untuk bisa bersabar, bersyukur, berbuat kebaikan—terlebih lagi, kehilangan sesuatu yang sesuai dengan kodrat atau fitrah dirinya.
Allah Ta’ala senantiasa menempatkan kita dalam sebuah momen, selintas, kepada sebuah keadaan yang sesuai dengan fitrah, yang hal itu kemudian menginspirasinya. Apa-apa yang menginspirasi kita yang terkait misi hidup masing-masing akan selalu ada, terkecuali jika hatinya mati. Jika hatinya mati, tidak akan mencari apa-apa yang sesuai dengan kodrat dirinya, dengan fitrahnya.
Allah Ta’ala bisa saja tanpa sebab memberi sebuah kemanisan dalam shalat (khusyu’) dalam sesaat, yang kemudian Allah mengambilnya tanpa sebab, agar kemudian orang tersebut berada dalam kesedihan dan merasa kehilangan yang kemudian membuatnya mencari-Nya.
Perhatikan diri masing-masing. Apakah pernah merindukan kekhusyu’an dalam shalat? Apakah ada sebuah kesedihan dengan kehilangan hal tersebut? Semoga itu menjadi tanda bahwa hatinya tidak mati.
Coba perhatikan lagi pasal 58 Al-Hikam ini. Kalimat yang pertama adalah terkait kehilangan pakaian hati, kekhusyu’an, kepemurahan, kesabaran, kejujuran, dan lain sebagainya.
Yang kedua terkait perbuatan buruk. Seperti halnya ketika kita salah dalam berbicara, terbit sebuah penyesalan di hati. Sebuah rasa berat karena ketergelinciran lantaran perbuatan yang kecil. Jika hatinya mati, maka tidak terasa berat ketika salah bicara, tidak terasa berat ketika memfitnah, menggibah, atau berbuat hal-hal yang tidak pas dengan kondisi jiwanya.
Jika hatinya mati, maka tidak terasa berat ketika salah bicara, tidak terasa berat ketika memfitnah, menggibah, atau berbuat hal-hal yang tidak pas dengan kondisi jiwanya.
Setiap yang kita perbuat akan menjejak di hati. Dalam kehidupan, Allah Ta’ala selalu memberi kesempatan setiap saat kepada kita untuk beramal shalih. Allah Ta’ala menguji dengan hal yang kecil dalam kehidupan. Hati kita bisa menjadi alat ukur akan hal tersebut, di mana dalam pasal Al-Hikam ini: ihwal sebuah kesedihan yang terkait dengan hilangnya kesempatan yang sangat penting dalam kehidupan.
Penting buat kita untuk mengukur tanda kematian hati. Apakah kita tidak merasa sedih jika kehilangan hal-hal yang sesuai dengan bentuk kehidupan kita (fitrah)? Pekerjaan yang sesuai, amal soleh, kekhusyu’an, dan lain sebagainya?
Hati yang sensitif—bukan di level perbuatan—adalah hati yang peka terhadap “perasaan” Allah Ta’ala. Seorang mukmin akan senantiasa mensensitifkan hatinya terhadap “perasaan” Allah. Apakah perbuatanku membuat Allah tersenyum? Apakah Dia ridha? Apakah Dia berkenan dengan apa yang aku perbuat?
Kita bisa mengukur tingkat kematian hati masing-masing.
Seorang yang hatinya mati tidak akan tertarik akan sebuah keshalihan. Tidak akan merindukan untuk menjadi shalih. Kalau tidak berjuang untuk meraih akhlak yang shalih, yakni akhlak Nabi SAW, maka itu tanda matinya hati. Sepanjang kita tidak puas dengan akhlak hari ini, berjuang mengikuti Nabi SAW, itu tanda hati yang hidup.
Semoga Allah mengasihi, merahmati, memberkati, memberi kita kesehatan dan melimpahkan kebahagiaan. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
___________
* Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita