“Eksistensi diri yang ingin diakui adalah kesombongan. Karenanya, kuburlah ia pada tanah ketiadaan dan kerendahan”
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, dalam diri manusia terdapat dua potensi yang saling berlawanan; tinggi hati dan rendah hati. Tinggi hati adalah representasi Iblis yang berasal dari nãr (api) dan rendah hati adalah representasi Malaikat yang berasal dari nûr (cahaya).
Perbedaan kata nãr dan nûr dalam bahasa Arab hanya berada pada huruf tengahnya. Nãr, huruf tengahnya alif (berdiri tegak); dan nûr, huruf tengahnya wau (rukuk membungkuk). Berdiri tegak adalah simbol kesombongan dan rukuk membungkuk adalah simbol kerendahan-hati dan ketawadhu’an. Pohon padi yang masih kosong, biasanya batangnya berdiri tegak menjulang seperti huruf alif. Sedangkan padi yang sudah berisi, biasanya batangnya tunduk membungkuk seperti huruf wau.
Seringkali manusia kesulitan untuk bersikap tawadhu’, namun sangat mudah bersikap sombong atau tinggi hati. Untuk menemukan dirinya yang sombong dan ingin melawannya, sepertinya manusia perlu bimbingan khusus. Sebab rasa sombong senantiasa melekat pada diri seseorang. Kesombongan akan muncul ketika seseorang merasa dirinya ada, lalu butuh pengakuan, kemudian ketenaran dan kemasyhuran.
Sedangkan arti sombong dalam bahasa Inggris disebut pride, menurut bahasa Latin superbia, sedangkan dalam bahasa Arab fakhar, takabbur. Jadi, kesombongan secara terminologis adalah sikap atau tingkah laku yang cenderung memandang diri lebih hebat, merasa memiliki kebesaran dan cenderung memuji diri sendiri.
Salah satu kata yang sering keluar dari pikiran sombong adalah “aku”. Dari kata itu, keluarlah kalimat-kalimat; “akulah yang menafkahimu”, “akulah yang bekerja sehingga sukses”, “aku menjadi kaya karena aku bekerja keras mendapatkannya”, “akulah yang membantumu dengan harta milikku”, “akulah yang telah berbuat baik kepadamu”, dst. Ketahuilah, bahwa Fir’aun mengaku sebagai Tuhan karena sifat sombongnya yang dimulai dari pengakuan-pengakuan tersebut sehingga ia dilaknat Allah SWT.
Dalam Kitab Al-Hikam pasal 11, Guru kami Syaikh Ahmad ibnu ‘Athaillah Assakandariy berkata;
اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى أَرْضِ الْخُمُوْلِ، فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدفَنْ لَا يَتِمُّ نَتَاجُهُ
“Tanamlah ‘wujud’ dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap sesuatu yang tumbuh namun tidak ditanam, maka tidak akan sempurna hasil buahnya.”
Secara bahasa, al-khumûl artinya adalah lemah, tidak dikenal. Sedangkan dalam terminologi al-Hikam ini bermakna “kerendahan”. Sementara wujud atau eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, atau ingin terpandang. Menurut istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yang ada dalam dirinya. Jadi, ardhul khumûl dapat diartikan sebagai tanah kerendahan atau ketiadaan.
Umumnya, manusia tergiring oleh nafsunya untuk memiliki gaya hidup yang tinggi (high style), eksistensi yang ingin dikenal dan kedudukan yang ingin diakui. Padahal Guru kami menyarankan untuk mengubur dalam-dalam keberadaanmu itu dalam tanah kerendahan dan ketiadaan.
Bersuluk dalam sebuah tarekat yang dibimbing oleh seorang Guru Mursyid pada dasarnya adalah proses pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) dari kotoran-kotoran prilaku yang ditujukan selain Allah. Proses pembersihannya dalam kajian hikmah ini adalah dengan cara mengubur dalam-dalam dirimu dalam tanah kerendahan dan ketiadaan. Artinya, munculkan keyakinan bahwa dirimu itu tiada sehingga perbuatan baik apapun yang kamu lakukan bukanlah darimu, tapi dari Yang Maha Wujud, yakni Allah SWT. Dengan begitu, Prilaku-prilaku baik yang ditanam dalam ‘tanah kerendahan/ketiadaan’ akan menghasilkan ‘buah kebaikan’ yang sempurna.
Sebagaimana Allah SWT berfirman:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ۞ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ۞
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25)
Selama ini, kebaikan-kebaikan yang muncul dari diri kita ternyata dihembuskan oleh nafsu keberadaan sehingga apapun yang dilakukan tidak tumbuh seperti tanaman. Kebaikan itu menjadi kering dan layu, hingga akhirnya mati. Mengapa? Lantaran nafsu ingin diakui telah menjebak dirinya mengklaim keberadaan yang hanya milik Tuhan.
Kuburlah dan tanamlah nafsu keberadaanmu dalam ‘tanah kerendahan/ketiadaan’, lalu ‘saksikanlah’ kelemahan, kehinaan, bahkan ketiadaan dirimu.
Dalam kajian ini, Syaikh Ahmad ibnu Atha’illah Assakandariy mengungkapkan sebuah ‘kunci’ agar diri kita dapat menghasilkan buah kebaikan yang sempurna, yakni dengan mengubur eksistensi diri atau ego dalam bumi ketiadaan dan kerendahan (ardhul khumûl).
Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seseorang yang beramal, daripada menginginkan kedudukan dan ketenaran di tengah-tengah masyarakat. Hal ini termasuk keinginan hawa nafsu yang utama. Inilah kunci agar dapat menghasilkan buah kebaikan yang sempurna, yang dengan itu bisa mengantarkan seseorang masuk surga.
Lalu Guru kami, Syaikh Ahmad ibnu Atha’illah Assakandariy menceritakan sebuah kisah seorang budak hitam yang akan menjadi raja di surga.
Dikisahkan, dari Abu Hurairah RA berkata; Ketika kami di majelis Rasulullah SAW, tiba-tiba Nabi Muhammad SAW bersabda: “Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang shalat bersama kamu.”
Abu Hurairah RA berkata: “Aku berharap semoga akulah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW itu. Maka pagi-pagi aku shalat di belakang Rasulullah SAW dan tetap tinggal di majelis setelah orang-orang pulang.”
Tiba-tiba ada seorang budak hitam berpakaian compang-camping datang menjabat tangan Rasulullah SAW sambil berkata: “Wahai Nabi Allah! Doakan semoga aku mati syahid.”
Maka Rasulullah SAW berdoa, sedang kami mencium bau kasturi dari badannya.
Kemudian aku bertanya: “Apakah orang itu wahai Rasulullah?” (seperti diucapkan Rasulullah SAW kemarin).
Nabi SAW menjawab: “Ya benar. Ia seorang budak dari Bani fulan.”
Abu Hurairah berkata: “Mengapa engkau tidak membeli dan memerdekakannya wahai Nabi Allah?”
Nabi SAW menjawab: “Bagaimana aku akan dapat berbuat demikian, sedangkan Allah akan menjadikannya seorang raja di surga. Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka, dan ini salah seorang raja dan terkemuka.”
Kemudian Rasulullah SAW memberitahu kepada sahabat tentang orang-orang yang dimuliakan dan diridhai Allah SWT:
َيا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللّٰهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ مِنْ خَلْقِهِ الْأَصْفِيَآءَ الْأَخْفِيَآءَ الْأَبْرِيَاءَ، الشَّعْثَةَ رُؤُوْسِهِمْ، الْمُغْبِرَةَ وُجُوْهِهِم، الْخِمْصَةَ بُطُوْنِهِمْ مِنْ كَسْبِ الْحَلَالِ، الَّذِيْنَ إِذَا اسْتَأْذَنُوْا عَلَى الْأُمَرَآءِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُمْ، وَإِنْ خَطَبُوْا الْمُنَعَّمَاتِ لَمْ يُنْكِحُوْا، وَإِنْ غَابُوْا لَمْ يُفْقِدُوْا، وَإِنْ حَضَرُوْا لَمْ يُدعَوْا، وَإِنْ طَلِعُوْا لَمْ يُفْرَحْ بِطْلْعَتِهِمْ، وَإِنْ مَرَضُوْا لَمْ يُعَادُوْا، وَإِنْ مَاتُوْا لَمْ يُشْهَدُوْا .
“Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya Allah mencintai makhluk-Nya yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambut, yang kempes perut kecuali dari hasil yang halal. Apabila akan masuk kepada raja tidak diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan ia meninggal tidak dihadiri jenazahnya.”
Para sahabat pun penasaran dan bertanya: “Tunjukkan kepada kami wahai Rasulullah SAW salah seorang dari mereka?”
Jawab Nabi SAW: “Dia adalah Uwais Al-Qorni, seorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, tingginya agak sedang dan selalu menundukkan kepalanya sambil membaca al-Qur’an, tidak terkenal di bumi tetapi terkenal di langit. Andaikan ia bersungguh-sungguh memohon sesuatu kepada Allah pasti diberinya. Di bawah bahu kirinya berbekas. Wahai Umar dan Ali! Jika kamu bertemu padanya, maka mintalah kepadanya supaya memohonkan ampun untukmu. Demikian sabda Nabi SAW kepada para sahabat.”
Menurut Syaikh Ahmad ibnu Atha’illah Assakandariy, seseorang tidak akan mampu mengenal siapa dirinya kecuali Allah SWT memberi petunjuk dan perlindungan kepadanya. Kunci agar dapat menghasilkan buah takwa yang sempurna adalah dengan mengubur eksistensi, ego dan ketenaran.
Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang yang beramal, daripada menginginkan kedudukan, ketenaran dan popularitas dalam pergaulannya di tengah-tengah masyarakat. Dan ini termasuk keinginan hawa nafsu.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلّٰهِ رَفَعَهُ اللّٰهُ وَمَنْ تَكَّبَرَ وَضَعَهُ اللّٰهُ .
“Barang siapa yang tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat)-nya (di dunia dan akhirat). Dan siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.” (HR Imam Ibnu Mandah dan Imam Abu Nu’aim).
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji debu.” (HR. Muslim)
Ibrahim bin Adham RA berkata: “Tidak benar tujuan kepada Allah, siapa yang ingin terkenal.”
Ayyub as-Asakhtiyani RA berkata: “Demi Allah tidak ada seorang hamba yang sungguh-sungguh ikhlas pada Allah, melainkan ia merasa senang, gembira jika ia tidak mengetahui kedudukan dirinya.”
Allah SWT berfirman:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ۞
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)
Saudaraku terkasih, mari kita tutup artikel ini dengan sebuah doa agar diri sendiri terhindar dari sifat-sifat sombong:
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ بَطَرِ الْغِنَى وَمَذَلَّةِ الْفَقْرِ، يَا مَنْ وَعَدَ فَوَفَى وَأَوْعَدَ فَعَفَا، اِغْفِرْ لِمَنْ ظَلَمَ وَآسَى، يَا مَنْ تَسُرُّهُ بِطَاعَتِي وَلَا تَضُرُّهُ مَعْصِيَتِى، هَبْ لِي مَا يَسُرُّكَ وَاغْفِرْ لِي مَا لَا يَضُرُّكَ .
Allãhumma innî a’ûdzu bika min batharil ghinã wa madzallatil faqr, yã man wa’ada fawafã wa aw’ada fa’afã, ighfir liman dzhalama wa ãsã, yã man tasurruhu bithã’atî walã tadhurruhu ma’shiyatî, hablî mã yasurruka waghfir lî mã lã yadhurruk.
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari menyombongkan diri karena kaya, dari kehinaan karena miskin, wahai Dzat yang apabila berjanji pasti memenuhinya, jika mengancam lalu memaafkannya, ampunilah orang yang berbuat dzhalim lalu menyesali diri, wahai Dzat yang merasa senang hati karena ketaatanku. Tidak akan membahayakan karena kemaksiatanku. Berilah kepadaku apa-apa yang menyenangkan-Mu dan ampunilah diriku terhadap apa-apa yang aku lakukan yang memang tidak membahayakan-Mu”.
Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn